Langkah Tegas dan Berani Dari Seorang Presiden

MOH ALI S M
Tim Media Surabaya Academia Forum (SAF) Mahasiswa Pasca Sarjana Pengembangan Sumber Daya Manusia (UNAIR)
Konten dari Pengguna
1 Juli 2022 13:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MOH ALI S M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilutrasi Presiden RI by Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilutrasi Presiden RI by Pixabay
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini presiden republik Indonesia yaitu bapak Jokowi kembali mengambil langkah tegas dan berani untuk melakukan kunjungan ke negara Ukraina, Seperti yang kita tahu negara tersebut masih dalam keadaan konflik dengan negara tetangganya yaitu Rusia. Perlu kita ketahui juga bahwa kunjungan hal seperti ini bukan kali pertama yang dilakukan oleh Jokowi, tepatnya 28 Januari 2018 silam Jokowi juga pernah mengunjungi wilayah konflik yaitu Afghanistan. Kunjungan kali ini, masih dengan misi yang sama yaitu perdamaian dan untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai negara penengah untuk memediasi kedua negara yang sedang berseteru tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal ini semestinya memang perlu dilakukan, sebab Indonesia sendiri memiliki kedekatan dan hubungan diplomatik pada kedua negara tersebut. walaupun pada dasarnya memang agak sulit untuk menemukan titik temu antara kedua negara yang sedang berkonflik, akan tetapi paling tidak memang harus ada negara lain yang menjembatani dari kedua belah pihak. Terlepas nantinya berhasil atau tidak, akan tetapi yang pasti langkah ini perlu di apresiasi oleh kita sebagai warga negara Indonesia.
Pro kontra pasti ada dalam menyikapi kunjungan Jokowi pada kedua negara yaitu Ukraina dan Rusia, karena memang dalam sejarahnya presiden kita yang satu ini memang banyak menuai pro kontra termasuk dalam cara beliau mengambil sebuah kebijakan dan bagaimana kebijakan itu bisa diterapkan, ya salah satunya bagi yang kontra biasa menyebut sebagai pemimpin yang plonga-plongo karena saking seringnya di intervensi oleh pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi jika kita lebih objektif lagi dalam menyikapi langkah tersebut, paling tidak kita harus mendukung dan mengapresiasi langkah kongkret untuk bertemu langsung dengan dua petinggi negara yang sedang berseteru.
Indonesia Sebagai Negara Nonblok
Seperti yang kita tahu setelah terjadinya perang dingin dalam beberapa tahun yang lalu, negara-negara besar dunia mulai membentuk aliansi dengan negara yang mereka anggap sebagai kolega dalam menghadapi ancaman besar terjadinya perang dunia berikutnya, yang salah satunya terdiri dari aliansi blok timur dan blok barat. Dalam perjalanannya Amerika Serikat memegang kendali penuh akan blok barat, sementara blok timur dikendalikan oleh Uni Soviet.
Dari sinilah kita dapat melihat adanya dua kekuatan yang saling berhadapan atau sering disebut sebagai balance power. Selama kekuatan kedua belah pihak imbang, selama itu pula perang tidak akan pernah pecah dan perdamaian akan terjamin, meskipun perdamaian yang sifatnya terselubung atau perdamaian formal. Lalu, dimanakah posisi negara Indonesia?
ADVERTISEMENT
Setelah berdirinya negara raksasa besar yang membentuk aliansi seperti blok timur dan blok barat. Maka, muncullah aliansi ketiga yaitu Negara Nonblok yang salah satunya ada negara Indonesia. Gerakan Nonblok didirikan pada tahun 1961 di Beograd Serbia. Gerakan itu muncul pada puncak Perang Dingin dan banyak negara baru-baru ini melepaskan ikatan kolonial. Sebagian besar dari 25 negara yang tergabung dalam pembentukan awal adalah negara-negara yang tidak ingin ikut sebagai bagian dari konflik atau sebagai negara sudah merdeka.
Ada beberapa prinsip dan tujuan utama dari Negara Nonblok yang salah satunya mencakup penghormatan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Prinsip-Prinsip Bandung. Gerakan Nonblok juga aktif dalam perlucutan senjata nuklir, serta mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai. Negara Nonblok juga mendukung hak asasi manusia untuk semua, tetapi sangat menentang budaya global dan/atau imperialisme budaya.
ADVERTISEMENT
Maka, dari sini kita bisa melihat bagaimana peran Indonesia dalam upaya mendamaikan suatu negara yang sedang berkonflik. Apalagi posisi Jokowi hari ini didukung dengan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 dianggap sebagai nilai lebih. Negara-negara anggota G20 diketahui meliputi 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen PDB dunia. Selain itu, posisi Indonesia yang 'netral' dalam menyikapi konflik Rusia dan Ukraina juga diharapkan bisa menuai kepercayaan dari kedua negara tersebut.
Upaya negosiasi yang dilakukan Jokowi bisa berupa exit strategi karena kedua negara tersebut memiliki alasan untuk menghentikan perang. Senada dengan tanggapan salah satu pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini dalam acara “Satu Meja” dikompas TV Rabu, (29/6/2022), beliau menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya kepada bapak presiden, karena telah berupaya hadir sebagai representasi negara. “Ini sekarang meluruskan bahwa Presiden Jokowi tidak berpihak ke mana pun tapi berpihak pada keputusan non aligned movement itu yang kita pertahankan", ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dampak Kunjungan Jokowi Terhadap kedua Negara yang Berseteru
Kunjungan presiden Indonesia kali ini semakin mempertegas posisi Indonesia di mata dunia khususnya bagi kedua negara yaitu Rusia dan Ukraina. Hal ini tentu akan memberikan dampak pada kedua belah pihak dan itu kemungkinan akan semakin mempengaruhi negara-negara lain seperti Italia yang tidak mendukung NATO dalam memberikan bantuan senjata bagi Ukraina.
Dilihat dari berbagai sektor maka ini sangat merugikan kedua negara yang berseteru, maka hal itu seharusnya mempertegas upaya misi damai yang dibawa Jokowi kepada para petinggi negara tersebut. Terlebih, beberapa ahli dan lembaga internasional memprediksi terjadinya resesi dan stagflasi akibat perang berkepanjangan. Untuk itu, bila kunjungan Jokowi berbuah manis, maka itu merupakan modal besar untuk menindak lanjuti dengan memanfaatkan dirinya sebagai presidensi G2O mendatang.
ADVERTISEMENT
Sayapun masih optimis dengan langkah yang diambil oleh bapak Jokowi ini nantinya sedikit merubah stigma awal para oposisi kepada beliau sebagai pimpinan kepala negara. Iya meskipun tidak banyak. Tapi, paling tidak itu mampu menjelaskan bagaimana sikap seorang kepala negara di mata masyarakat terlebih di mata dunia.