Romantisme Politik: dari Kritikus Tajam Berubah Jadi Pangkuan

MOH ALI S M
Mahasiswa Pascasarjana Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga Surabaya
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 13:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MOH ALI S M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Romantisme Politik dalam lingkaran kekuasaan by Pixels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Romantisme Politik dalam lingkaran kekuasaan by Pixels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam dunia politik, romantisme terkadang bisa menjadi sebuah ironi yang menyedihkan. Ketika suara-suara kritis yang tajam dan penuh semangat bertransformasi menjadi pangkuan empuk bagi kekuasaan yang mereka dulu kritik keras. Ini bukanlah cerita baru, melainkan dinamika politik yang telah terjadi berulang kali di berbagai belahan dunia. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "Romantisme Politik", merupakan ciri khas dari kekuasaan dan oposisi yang terjebak dalam dinamika yang rumit.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh paling mencolok dari romantisme politik adalah ketika seorang tokoh yang awalnya mengkritik penguasa dengan keras, mendadak berubah menjadi pendukung setia ketika diberikan jabatan atau keistimewaan lainnya. Ini menciptakan citra bahwa kritik mereka sebelumnya hanyalah retorika kosong, dan bahwa mereka lebih tertarik pada kekuasaan dan manfaat pribadi daripada prinsip-prinsip yang mereka klaim pertahankan.
Contoh sejarah yang patut dicatat adalah perubahan sikap tokoh politik dalam beberapa negara berkembang. Sebelum diberikan posisi atau keuntungan oleh penguasa, mereka seringkali menjadi suara keras dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, menyoroti korupsi, dan menuntut perubahan dalam sistem politik yang korup dan otoriter. Namun, begitu mereka mendapatkan posisi atau keuntungan politik, sikap mereka secara ajaib berubah, dan mereka mulai membela kebijakan penguasa yang sebelumnya mereka kritik.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah perjalanan politik beberapa tokoh di berbagai negara Afrika. Misalnya, tokoh oposisi yang gigih memperjuangkan demokrasi dan transparansi di masa lalu, seringkali berubah menjadi pendukung setia penguasa yang otoriter ketika mereka diberikan posisi dalam pemerintahan. Mereka yang sebelumnya menyerukan reformasi politik, mendadak menjadi penjaga status quo yang menindas.
Di Amerika Latin, fenomena serupa terjadi di mana tokoh-tokoh yang dulu menjadi vokal dalam kritik terhadap kebijakan ekonomi neoliberal dan intervensi asing, secara tiba-tiba menemukan kepercayaan diri mereka dalam membela kebijakan yang sama ketika mereka sendiri berada di kursi kekuasaan. Ironisnya, semangat mereka dalam memperjuangkan keadilan sosial dan politik tampaknya memudar begitu mereka tergoda oleh keuntungan politik.
ADVERTISEMENT
Tokoh politik seperti ini, yang awalnya dianggap sebagai harapan untuk perubahan yang lebih baik, sering kali menjadi lambang dari kekosongan moral dalam politik modern. Mereka membuktikan bahwa dalam dunia politik, loyalitas lebih sering ditentukan oleh kesempatan daripada prinsip-prinsip yang kokoh. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam di kalangan pemilih dan memperkuat sikap skeptisisme terhadap seluruh sistem politik.
Tidak terkecuali dinamika politik di Indonesia, seringkali menampilkan sebuah paradoks yang menarik perhatian. Banyak tokoh yang awalnya memperlihatkan semangat kritis yang tajam terhadap kebijakan pemerintah, namun berubah menjadi pendukung setia ketika diberikan jabatan atau keistimewaan oleh penguasa. Fenomena ini tidak hanya menandai perubahan sikap individu, tetapi juga menggambarkan kompleksitas politik dan dinamika sosial di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Beberapa tokoh yang mencerminkan romantisme politik di Indonesia adalah mantan aktivis atau pembela hak-hak rakyat yang kemudian berbalik menjadi pendukung pemerintah setelah mendapatkan posisi atau keuntungan politik. Ini menciptakan keraguan dalam pikiran masyarakat tentang integritas dan kejujuran para pemimpin politik.
Sebagai contoh, beberapa tokoh yang awalnya aktif dalam gerakan oposisi, seperti Teten Masduki dan Fajroel Rachman yang terlibat dalam gerakan Malari, kini diketahui mendukung pemerintah setelah mendapat posisi di lingkaran kekuasaan. Ketidakhadiran mereka dalam reuni Malari menunjukkan perubahan sikap yang mencolok, sebetulnya masih banyak nama-nama tokoh yang lain.
Ilustrasi Romantisme Politik By Pixels
Bahkan yang teranyar ini soal Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum Partai Demokrat. Seperti kita tahu, beberapa tahun terakhir Partai Demokrat setia berada dalam barisan oposisi dan mengkritisi pemerintahan Jokowi. Paling fenomenal soal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, memasuki akhir jabatan Jokowi. AHY malah diangkat menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan fenomena yang sudah saya jelaskan di atas. Awalnya mengkritisi, seketika berubah memuji program IKN dan hal itu sangat menggambarkan bahwa romantisme politik dapat mengubah prinsip-prinsip menjadi pamrih kekuasaan. Mereka yang sebelumnya vokal dalam kritik terhadap kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan keadilan, mendadak berubah menjadi pembela setia penguasa. Ini menimbulkan pertanyaan tentang motivasi sebenarnya di balik kritik mereka sebelumnya dan konsistensi moral mereka.
Namun, tidak semua tokoh politik terjebak dalam romantisme politik. Beberapa tetap konsisten dalam kritik mereka terhadap kekuasaan, meskipun tidak lagi mendapat perhatian publik seperti pada masa lalu. Gerakan oposisi, meskipun bergeser ke platform media sosial, masih memiliki peran penting dalam menegakkan akuntabilitas pemerintah dan memperjuangkan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa romantisme politik bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejarah telah mencatat perubahan sikap tokoh politik dari kritikus tajam menjadi pendukung setia penguasa. Bahkan sampai saat ini fenomena itu semakin jelas dan condong terang-terangan diperlihatkan dengan dalih lebih mengutamakan persatuan dan berbagai alasan lainnya. Namun, dengan kesadaran akan kompleksitas politik dan penekanan pada integritas serta konsistensi moral, masyarakat dapat mengharapkan perubahan yang lebih baik dalam dinamika politik Tanah Air.
Sekali lagi, romantisme politik mencerminkan lebih dari sekadar perubahan sikap individu. Ini mencerminkan dinamika sosial-politik yang kompleks dan perlu diperhatikan dengan cermat oleh masyarakat dan pemimpin politik untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan tetap dijunjung tinggi dalam setiap keputusan dan tindakan politik.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi romantisme politik, diperlukan perubahan yang mendasar dalam budaya politik, di mana pemimpin dipilih dan dinilai bukan atas dasar janji-janji kosong atau keuntungan pribadi, tetapi atas dasar integritas, kompetensi, dan dedikasi mereka untuk melayani rakyat. Masyarakat perlu memperkuat tuntutan akan akuntabilitas politik dan menolak pencitraan politik yang kosong.
Dalam sebuah sistem yang sehat, oposisi yang kritis dan konstruktif harus dianggap sebagai bagian penting dari proses demokratis. Namun, romantisme politik telah mengaburkan garis antara oposisi dan kekuasaan, merusak integritas dan kepercayaan publik. Hanya dengan mengakui dan mengatasi fenomena ini, kita bisa bergerak menuju sistem politik yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan berdaya saing.