Melawan Radikalisasi dengan Konsep 'Kembali ke Surau' Ala Minangkabau

Lufti Avianto
Life Story Teller // a man behind Books4Care, Auf Projects dan Kinaraya.com
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2018 6:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lufti Avianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemuda beriktikaf di masjid di Bandung. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
“Sesungguhnya, serigala hanya memakan domba yang tercecer dari kelompoknya.” (Al-Hadits)
ADVERTISEMENT
Hadis di atas seolah memberi "pesan alam" bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang berjalan sendirian. Entah karena sakit, sehingga ia lebih suka beristirahat sehingga tertinggal rombongannya, atau ia terlalu lincah sehingga ia meninggalkan kawan-kawannya. Namun karena kesendirian itulah, serigala berani menerkam domba.
Analogi di atas, rasanya sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya berjamaah, sebuah upaya untuk berkumpul dan membuat barisan tertata rapi dan kokoh. Itu sebab, baginda Nabi Muhammad mengingatkan hal ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, “Dua orang lebih baik dari seorang, tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jemaah. Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah).”
ADVERTISEMENT
Dalam kaitannya dengan isu terorisme, serigala bisa diumpamakan sebagai paham radikalisasi agama, sedangkan domba adalah korbannya. Melihat pola penyebaran terorisme yang selalu berada di ruang ‘gelap’, pendekatan secara personal dan dilakukan sembunyi-sembunyi, tak berlebihan rasanya bila perilaku ini mirip pola serigala menerkam domba yang tercecer tadi.
Yang menarik, pentingnya bersatu (berjemaah) juga ditekankan dalam budaya Minangkabau, yang disebut kembali ka surau. Memang surau dikenal sebagai tempat mendirikan salat seperti musala atau masjid. Namun tak hanya itu, dulu surau juga digunakan sebagai tempat berkumpul dan menjadi pusat kegiatan masyarakat Minang, seperti mengaji, berdiskusi, belajar ilmu agama, bahkan berlatih bela diri.
Semua kegiatan ini merefleksikan kehidupan masyarakat Islam dalam sebuah tatanan kelompok (jemaah) solid dan masif, yang merupakan cerminan dari teosofi adat dan agama, yakni “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kita-bullah” atau adat bersendikan agama, agama bersendikan Alquran. Itu sebab, ajakan kembali ka surau sesungguhnya memiliki dimensi sosial dan personal sekaligus.
ADVERTISEMENT
Secara sosial, seruan ini bertujuan untuk menguatkan jemaah umat Islam dengan kesadaran penuh untuk bergotong-royong, bersatu dan tidak tercerai-berai. Secara personal, kembali ka surau secara simultan juga menyeru pribadi-pribadi untuk berbuat baik dalam mencintai dan memakmurkan surau, mencintai ilmu, dan mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Kalau-lah iman dan ilmu dipadukan dengan jemaah yang kokoh, saya yakin mampu meminimalisasi munculnya paham radikalisasi agama yang menjurus pada perbuatan teror.
Di Sumatra Barat, seruan ini telah diformalkan melalui Keputusan Gubernur No. 4 Tahun 2002 tentang Kembali ke Surau, di mana pemerintah daerah bersama kalangan adat dan agama bersepakat untuk memulihkan kondisi kehidupan keagamaan, adat, sosial, dan kemasyarakatan.
Munculnya gagasan “kembali ke surau” ini, didasari pada fenomena pergeseran budaya ke arah hedonisasi, ditambah demoralisasi generasi muda dengan berbagai kerusakan yang disebabkan pergaulan bebas, pornografi, narkoba, mabuk-mabukan, dan kekerasan serta radikalisme agama yang berujung pada tindak terorisme.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sejatinya telah lama diprediksi oleh AA. Navis melalui karyanya “Robohnya Surau Kami”, di mana nilai-nilai adat dan keagamaan melemah dan tidak lagi dipedulikan, dan surau sebagai basis sosialisasi dan institusionalisasi nilai-nilai adat keagamaan, hanya tinggal sebagai cerita legenda.
Yang menarik, dalam konsep kembali ke surau milik masyarakat Minangkabau ini, saya kira dapat direduplikasi pada masyarakat di mana saja dan dengan agama apa saja. Karena sejatinya, konsep kebersamaan dan optimalisasi masjid atau tempat ibadah sebagai basis pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan di mana saja.
Untuk itu, saya mengusulkan beberapa hal agar masyarakat dapat kembali bersatu dan merapatkan barisan untuk menangkal hal-hal negatif, termasuk di antaranya radikalisasi agama dan terorisme.
Aktivitas ngabuburit di Masjid Tua Katanga Gowa. (Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang)
Pertama, Pemberdayaan Masyarakat adalah Kunci
ADVERTISEMENT
Pemerintah tentu memiliki keterbatasan dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat di seluruh Nusantara. Baik keterbatasan anggaran, jumlah personel, dan sebagainya. Karena itu, sebagai masyarakat yang baik, tentu saja kita harus berinisiatif dan terlibat dalam melakukan upaya pencegahan radikalisasi agama.
Saya bersyukur, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah melakukannya dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta organisasi kepemudaan dan organisasi masyarakat. Mereka menjadi ujung tombak pencegahan terorisme di masing-masing daerah. Sepak terjangnya perlu terus didukung agar manfaatnya bisa dirasakan masyarakat hingga ke pelosok.
Kedua, Revitalisasi Fungsi Tempat Ibadah Lainnya
Kalau di Minangkabau, kembali ka surau menjadi sebuah ajakan yang berdimensi sosial, budaya, dan keimanan, maka ini merupakan kearifan lokal yang patut ditiru. Mereka menjadikan surau atau masjid sebagai pusat kegiatan yang komplet dalam melayani masyarakat di semua bidang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan yang sama, saya kira hal ini bisa direplikasi pada masyarakat lain dengan menggunakan tempat ibadah setiap agama untuk menjadikan basis utama kegiatan umatnya. Saya membayangkan, tidak hanya kegiatan keagamaan melainkan juga diskusi intelektual yang mencerahkan, pelayanan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu, pembekalan kewirausahaan, kegiatan positif para pemuda, dan lain sebagainya. Sehingga tempat ibadah tidak hanya dikunjungi pada waktu-waktu tertentu saja, melainkan menjadi basis utama kegiatan masyarakat yang berperan penting.
Prinsipnya, kita harus menjadikan tempat ibadah sebagai pusat kegiatan masyarakat dengan prinsip, “Kita harus sibuk dengan kebaikan, agar kita tidak sibuk dalam keburukan.”
Anak kecil di Masjid Babah Alun. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Ketiga, Regenerasi
Semua aktivitas positif tadi, menurut saya, harus melibatkan pemuda. Sebagaimana pidato Presiden Soekarno yang mengatakan, “Berikan aku 10 pemuda, akan kuguncangkan dunia.” Hal ini menyiratkan pesan bahwa potensi perubahan dan perbaikan bangsa ini, ada pada generasi muda.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, bahwa tempat ibadah terkadang didominasi oleh golongan tua, sedangkan rintangan zaman telah beradaptasi sedemikian cepat dan canggih. Karena itu, golongan tua harus bersikap arif dan bijaksana untuk memberikan kesempatan secara bertahap kepada para pemuda untuk membuktikan perannya.
Keempat, Memperluas Jaringan
Meski di mayoritas daerah sudah terbentuk FKPT, namun ini harus diperkuat dan diperluas dengan merangkul lebih banyak elemen masyarakat yang belum tersentuh, misalnya komunitas seni, budaya, sosial, dan lainnya. Saya meyakini, karena terorisme dan radikalisasi adalah musuh bersama, maka kita harus melawannya secara bersama-sama. Tak peduli profesi, suku, agama, golongan, dan komunitasnya, kita semua harus mengambil peran dalam tugas besar ini.
Semakin banyak yang terlibat, semakin bagus. Langkah selanjutnya adalah berkoordinasi dan bersinergi dengan BNPT melalui FKPT agar kinerja pencegahan terorisme dan radikalisasi ini terarah dan berkesinambungan sehingga memberi dampak positif yang nyata.
ADVERTISEMENT
Kelima, Literasi dan Optimalisasi Internet
Menurut dua jurnalis kenamaan Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme dan Blur, saat ini kita tengah menghadapi tsunami informasi, terutama melalui media internet. Semua informasi berseliweran dan dapat dengan mudah diakses, termasuk informasi dan upaya radikalisasi agama.
Tidak hanya informasi positif nan bermanfaat, melainkan juga informasi negatif yang merusak dan menyesatkan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus kekuatan untuk melawan radikalisasi dan terorisme di dunia maya.
Karenanya, kalau koordinasi dan konsolidasi jaringan ‘dunia nyata’ telah terbentuk melalui FKPT, jaringan kerja-kerja pencegahan itu juga harus dibentuk di dunia maya, melalui media massa online, blog, dan media sosial. Bentuk informasinya juga harus beragam dan semenarik mungkin, seperti kartun, infografis, video, artikel, feature, meme, bahkan karya sastra, sehingga dapat dengan mudah dicerna masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Ini semua harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi. Bahwa radikalisasi pada agama apapun yang berpotensi memunculkan terorisme, adalah musuh kita bersama. Karena tugas besar itu harus dilakukan oleh kita semua. Seperti kata pepatah, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tentu sebatang lidi tidak akan optimal menyingkirkan persoalan, sedangkan lidi-lidi yang dihimpun menjadi sapu lidi, bisa berbuat banyak.
Semoga.