news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kearifan Lokal Meningkatkan Kerukunan, Mampukah?

Lufti Avianto
Life Story Teller // a man behind Books4Care, Auf Projects dan Kinaraya.com
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2018 8:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lufti Avianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kearifan Lokal Meningkatkan Kerukunan, Mampukah?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
September lalu, institusi tempat saya bekerja berkolaborasi dengan sebuah kampus Katolik di Yogyakarta. Kami mengadakan sebuah kegiatan diskusi dan pelatihan untuk mengkampanyekan budaya literasi. Saat jeda istirahat, saya pamit kepada pihak panitia kampus untuk melaksanakan shalat zhuhur. Karena tempat shalat terdekat berada di lantai dasar, sedangkan kegiatan saya berada di lantai tiga, maka panitia menyiapkan sebuah ruangan di salah satu sudut di gedung perpustakaan kampus tersebut.
ADVERTISEMENT
Ruangan itu bersih dan nyaman, di mana sudah terdapat sajadah dan mukena. Di dalam ruangan tersebut, terdapat salib besar. Saya sangat memaklumi, sebagai ‘minoritas’ di lingkungan kampus Katolik, di mana atribut keagamaan tentu saja akan mudah ditemukan di banyak sudut. Saya kemudian merenung, bila hal sebaliknya terjadi, tentu toleransi yang sama bisa dilakukan nonmuslim ketika berada di lingkungan mayoritas muslim.
Renungan saya kemudian sampai pada nilai budaya dan falsafah Jawa yang mengedepankan toleransi, yakni tepa salira dan nguwongke wong. Mulder (2001) dikutip Hana Panggabean dalam bukunya Kearifan Lokal Keunggulan Global, membahas nilai tepa salira sebagai nilai penting dalam interaksi sosial yang mengdepankan sikap pengendalian diri dan sikap tahu diri, yaitu menempatkan diri sendiri dalam suatu tatanan sosial yang bermuara pada keselarasan sosial. Sedangkan nguwongke wong bermakna bahwa setiap kita harus saling menghargai dan menghormati, atau dalam istilah lain saling memanusiakan.
ADVERTISEMENT
Jadi, dalam pengalaman tadi, saya diperlakukan begitu baik dengan diberikan tempat dan perlengkapan beribadah yang bersih dan nyaman. Di sisi lain, saya juga harus menghormati dan menghargai bantuan tersebut dengan menjadi tamu yang baik. Saya kira itu akan menjadi hubungan sosial yang menyenangkan di antara kami bila toleransi terbangun.
Bersalaman (Foto: Johnhain (Pixabay))
zoom-in-whitePerbesar
Bersalaman (Foto: Johnhain (Pixabay))
Beberapa waktu kemudian, saya unggah pengalaman tersebut di media sosial dan menunjukkan kebanggaan saya tentang indahnya sikap toleransi antarumat beragama bila dijalankan dengan ikhlas. Kemudian, ada seorang kawan Katolik yang mengomentari, bahwa di rumahnya, ia juga menyediakan mukena dan sajadah bagi tamu muslimnya.
Saya tambah bahagia dan optimistis, bahwa masyarakat kita yang majemuk ini, akan lebih bahagia dan harmoni, bila kita saling menghormati dan bersikap toleran satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Semoga saja, sikap saling menghormati kami di atas, merupakan bentuk Anerkennung, yaitu mengakui dan menghargai keanekaragaman –sebuah sikap toleransi tingkat tertinggi-, sebagaimana disebut Rainer Forst dalam buku Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs (Toleransi dalam konflik: Sejarah, konten, dan kehadiran istilah yang kontroversial) (2003) yang menyebutkan empat tingkatan toleransi.
Tiga tingkatan toleransi di bawahnya, yaitu Achtung, sikap saling menghormati antarsesama di dalam suatu lingkungan hidup. Kemudian, Koexistenz, berada bersama dengan orang-orang yang berbeda, hidup berdampingan. Sedangkan toleransi yang paling dasar, Erlaubnis, yaitu sekadar membiarkan ada orang-orang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang majemuk, terutama dalam hal agama, seharusnya negeri ini memiliki modal sosio-kultural yang luar biasa untuk memajukan bangsa. Dari Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, negeri ini dihuni oleh penduduk yang beragama Islam sebanyak 87,18 persen, Kristen sebanyak 6,96 persen, Katolik 2,91 persen, Hindu 1,69 persen, Budha 0,72 persen, dan Khong Hu Cu sebesar 0,05 persen.
Kemajemukan ini masih ditambah jenis etnis dan suku bangsa yang sangat bervariasi. Masih menurut data BPS tersebut, suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa merupakan kelompok suku bangsa yang terbesar dengan populasi sebanyak 95,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Suku Jawa ini merupakan gabungan dari Suku Jawa, Osing, Tengger, samin, Bawean/Boyan, naga, nagaring, dan suku-suku lainnya di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Suku bangsa terbesar berikutnya secara berturut-turut adalah Suku Sunda dengan jumlah sebanyak 36,7 juta jiwa (15,5 persen), suku Batak sebanyak 8,5 juta (3,6 persen), dan suku asal Sulawesi lainnya sebanyak 7,6 juta jiwa (3,2 persen). Suku Batak mecakup Suku Batak angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak dairi, Batak Simalungun, Batak Tapanuli, Batak Toba dan dairi. Sedangkan kelompok suku bangsa asal Sulawesi lainnya merupakan gabungan dari sebanyak 208 jenis suku bangsa asal sulawesi tidak termasuk Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo.
Saya yakin, kemajemukan suku dan etnis itu sejatinya memiliki saripati kearifan lokal dan nilai budaya yang bisa berperan secara optimal dalam meningkatkan kerukunan umat beragama. Misalnya, penelitian I Made Purna tentang kearifan lokal desa Mbawa Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, dalam mewujudkan toleransi beragama. Di desa ini, tak pernah terjadi konflik dalam empat dasawarsa terakhir.
ADVERTISEMENT
Kearifan lokal yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mbawa adalah pada sistem penamaan. Mereka terbiasa memberikan nama dari dua bahkan tiga agama sekaligus. Ini dilakukan sebagai wujud toleransi dan bentuk penghormatan terhadap agama yang ada di desa tersebut. Seseorang akan menjadikan referensi nama tokoh-tokoh maupun nabi-nabi dari agama yang berbeda.
Maka tak heran, bila akan terlihat perpaduan nama dengan nuansa dua agama, seperti Yohanes Ibrahim, Anderias Ahmad, Bernadus Abu Bakar, Ignatius Ismail, Markus Jafar, Kristin Siti Hawa, Marta Maemunah, Marta Hadijah, Anastasia Nuraini dan lainnya.
Ilustrasi Keberagaman Indonesia (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Keberagaman Indonesia (Foto: Istimewa)
Toleransi serupa juga dapat ditemui pada keanggotaan organisasi Subak yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnik dan agama, seperti di Desa Sinduwati, Desa Angantiga, dan Desa Ekasari, Bali. Menurut pandangan anggota Subak yang beragama Hindu, pelaksanaan upacara di Pura Subak merupakan kewajiban semua anggota yang beragama Hindu. Sebagai bentuk toleransi, anggota Subak non-Hindu secara sukarela turut menyumbang sejumlah dana tanpa ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam agama Islam yang saya anut, pengalaman di atas merupakan perwujudan dari konsep muamalah (berinteraksi sosial) terhadap manusia yang baik, dan konsep ibadah kepada Allah Swt yang tegas. Artinya, dalam hubungan dengan Tuhan, umat Islam, dan umat Hindu dapat secara toleran menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang diyakininya, namun secara simultan dalam hubungan sosial, mereka dapat saling membantu, saling memahami dan menghargai dalam menjalani kehidupan yang harmonis.
Kalau toleransi terus menguat, saya yakin, kasus intoleransi kebebasan beragama, yang menurut Setara Institute terjadi 155 kasus pada 2017 terjadi di 29 provinsi di Indonesia, mampu diminimalisasi sehingga tercipta kerukunan di antara masyarakat yang berbhineka namun tetap tunggal ika.
ADVERTISEMENT