Yang Harus Kita Pahami Tentang Kejujuran; Sebuah Studi KPK

Lufti Avianto
Life Story Teller // a man behind Books4Care, Auf Projects dan Kinaraya.com
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2018 10:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lufti Avianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Orang Tua Kompak Dukung Anak Sekolah (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Orang Tua Kompak Dukung Anak Sekolah (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Mungkin kita lupa tentang Siami, tapi tidak baginya.
Siami takkan lupa peristiwa yang menimpanya pada pertengahan Mei, tujuh tahun lalu. Sambil menangis, AI, anaknya bercerita bahwa ia dipaksa gurunya untuk memberi contekan bagi teman sekelasnya saat Ujian Nasional di SDN Gadel 2, Surabaya pada 10-11 Mei 2011. Meski awalnya enggan, akhirnya AI menyanggupinya.
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui hal itu empat hari setelah UN, Siami memprotes kepada sang kepala sekolah. Hanya menerima permintaan maaf, Siami tak puas. Ia curiga apakah skenario menyontek massal itu, inisiatif wali kelas, atau bahkan desain dari pihak sekolah.
Kemudian ia melapor ke komite sekolah, tapi juga tak mendapat tanggapan. Hingga akhirnya, ia melaporkan dugaan kasus kecurangan itu ke dinas pendidikan setempat dan curhat ke media massa.
Kasus ini pun menghentak publik. Puncaknya, justru tak pernah dibayangkan Siami. Maksud hati ingin menegakkan kejujuran, Siami malah mendapat cemoohan dari wali murid yang lain, bahkan berujung pengusiran dari para tetangga sekitar.
"Sok pahlawan," mereka menyebut Siami begitu.
Kisah perjuangan menegakkan kejujuran seperti ini, kemudian juga terjadi di tahun-tahun berikutnya di sejumlah daerah. Masih ingat kisah tentang Tsaqif, pelajar SMA di Yogyakarta yang melaporkan kebocoran soal UN pada 2015 lalu? Seolah menjadi cermin yang memprihatinkan, kejujuran seperti barang langka nan mahal di negara ini.
ADVERTISEMENT
Cermin ironis lainnya, juga menunjukkan betapa negeri ini masih jauh dari predikat “negara jujur”. Hal ini bisa kita lihat dari hasil survey Transparency International yang dirilis tiap tahun, yaitu Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptian Index/CPI) 2017. Dengan skor 37 pada skala 0-100, menempatkan Indonesia pada urutan ke-96 dari 180 negara di dunia. Semakin besar skor suatu negara, dianggap bersih dan bebas dari korupsi, begitupun sebaliknya.
Meski menunjukkan tren yang cenderung positif, tetapi skor IPK Indonesia dalam enam tahun terakhir, bisa dikatakan masih mengkhawatirkan. Dengan rerata 34,6 poin, ini mencerminkan pemberantasan korupsi di Indonesia ‘jalan di tempat’.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Yang Harus Kita Pahami Tentang Kejujuran; Sebuah Studi KPK (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Transparency International
Dengan fakta ini, tentu saja harus menjadi perhatian bagaimana upaya kita menjadi negara yang lebih bersih di kemudian hari? Dalam 10 atau 20 tahun ke depan, wajah Indonesia akan ditentukan oleh anak-anak kita. Karenanya, menanamkan nilai kejujuran pada mereka, menjadi hal yang sangat krusial untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kalau korupsi dianggap sebagai masalah dan kejahatan luar biasa, tentu saja kita memerlukan upaya pemberantasan yang luar biasa pula. Sosiolog Soejono Soekanto berpendapat, pemberantasan korupsi lebih efektif dilakukan melalui gerakan sosial sebagai suatu bentuk perubahan sosial budaya.
Tujuan akhir dari gerakan sosial menurut DiRenzo, tidak hanya terbatas pada perubahan sikap dan perilaku individu, melainkan sebuah perubahan tatanan sosial baru yang lebih baik. Dalam hal mencegah korupsi, gerakan sosial menjadikan masyarakat sebagai sasaran utama sekaligus penggeraknya.
Siapa entitas masyarakat yang memiliki peran signifikan dalam membangun budaya? Jawabannya adalah keluarga.
ADVERTISEMENT
Menurut Sosiolog Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, keluarga memiliki tujuh fungsi strategis, yakni fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi identitas sosial, fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini peran keluarga sangat penting dalam menanamkan integritas dan kejujuran bagi anak. Karena itu, pada 2013 KPK melakukan grounded research untuk mengetahui sejauh mana peran keluarga dalam menanamkan kejujuran bagi anak, yang kemudian dijadikan dasar dalam menyusun program antikorupsi yang akan dijalankan keluarga Indonesia.
Studi ini dilakukan di dua kota, yakni Yogyakarta dan Solo dengan melibatkan 1.206 responden. Dengan metode stratified sampling, terpilih 402 keluarga sebagai responden yang masing-masing terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
ADVERTISEMENT
Ketiganya diwawancara secara terpisah. Ada tiga tipe keluarga A, B, dan C dimana tipe ini dibedakan berdasarkan usia anak, yakni anak berusia 4-9 tahun (tipe A), 10-15 tahun (B), dan lebih dari 15 tahun hingga sebelum menikah (tipe C).
Hasil riset menunjukkan ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan renungan bagi keluarga di Indonesia.
Pertama, tingkat pengetahuan orang tua terhadap fungsi strategis keluarga masih rendah. Pada riset ini, KPK hanya mengukur tiga fungsi keluarga yakni fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, dan fungsi identitas sosial.
Hasilnya, sebanyak 52,2% orang tua yang mengetahui fungsi sosialisasi, sebanyak 55,7% orang tua yang mengetahui fungsi afeksi dan hanya 37,6% orang tua yang mengetahui fungsi identitas sosial. Secara keseluruhan, sebanyak 71% orang tua sama-sama tidak tahu bahwa fungsi sosialisasi merupakan fungsi utama dalam keluarga. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap penanaman nilai kepada anak di dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Riset ini berargumen bahwa keluarga adalah agen sosialisasi primer dalam kehidupan anak. Anak terlahir tanpa tendensi apapun layaknya sebuah kertas putih, dimana anak akan mempelajari nilai-nilai yang akan diinternalisasi dalam kehidupannya dari keluarga.
Karena itu pemahaman terhadap pentingnya fungsi sosialisasi dalam keluarga menjadi penting agar proses sosialisasi anak dapat berjalan dengan baik dan orang tua dapat sukses membentuk anaknya sebagaimana yang diinginkan.
Kedua, Ayah dan Ibu tidak memiliki kesepakatan konsep yang baik terkait pendidikan anak. Hanya 42% ayah-ibu yang memiliki kesepakatan konsep tentang nilai yang akan diinternalisasi kepada anak, selebihnya memiliki konsep sendiri-sendiri dalam mendidik anak.
Mereka juga tak memiliki konsep yang jelas tentang bentuk keluarga yang diidealkan. Harapan yang ada bersifat personal, samar, jangka pendek, serta tidak didiskusikan dengan pasangan. Ketika mereka memiliki gambaran nilai-nilai yang dipandang penting, namun sayang tidak diformulasikan dengan jelas dan tidak disepakati bersama pasangan. Nilai-nilai ini bisa ditanamkan kepada anak dengan harapan tahu-sama-tahu.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga mengindikasikan kebanyakan orang tua memiliki pola komunikasi yang kurang baik dengan pasangannya. Mereka cenderung mengasumsikan sendiri-sendiri saja, dan tidak saling mendiskusikannya secara rutin.
Turunan dari konsep keluarga ini adalah pembagian peran antara ayah dan ibu dalam keluarga.
Survey ini mengungkap, ternyata peran sebagai pendidik/pengasuhan lebih tinggi diperankan oleh Ibu (77.9%) dibandingkan Ayah (5%) dan peran ini disadari oleh anak. Hal ini dikarenakan Ibu terbiasa di rumah menemani dalam belajar dan mengasuh anak-anaknya sehari-hari.
Sedangkan peran penting seorang Ayah, sebanyak 74% responden Ayah menyatakan sebagai pencari nafkah. Kondisi ini diungkapkan oleh anak sebesar 80.1%. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak selalu melihat Ayah mereka keluar rumah untuk bekerja atau mencari uang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kejujuran hanya dimaknai hanya sebatas lisan, belum sampai tindakan.
Jujur memiliki makna bermacam-macam baik dari ucapan maupun tindakan. Jujur, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (hal. 479), artinya: a 1. lurus hati; tidak berbohong; 2. tidak curang; 3. tulus; ikhlas. Sedangkan kata kejujuran, artinya: n sifat (keadaan) jujur; ketulusan (hati); kelurusan (hati). Sedangkan kejujuran, artinya: sifat (keadaan) jujur yang kadang dilematis; ketulusan (hati) yang kadang tak berbuah manis; kelurusan (hati) yang bisa jadi berbuah tragis.
Dari hasil penelitian, ternyata Ayah, Ibu, dan anak memakai definisi kejujuran yang sama yaitu berkata apa adanya dan perbuatan yang benar sesuai dengan yang seharusnya. Definisi kejujuran yang disampaikan oleh responden relatif sama dengan definisi jujur dalam KBBI.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya pada survey ini juga menjawab, nilai utama apa yang diinternalisasikan orang tua pada anak mereka?
Di dua kota tersebut, responden Ayah dan Ibu sepakat bahwa shaleh/shalehah sebagai nilai utama yang harus diinternalisasikan kepada anak (Responden ayah 34%, responden ibu 35%), diikuti kejujuran (responden ayah 27%, responden ibu 28%) serta nilai berbakti kepada orang tua (responden ayah 8%, responden ibu 7%).
Dua dari tiga besar dari nilai utama yang diajarkan tersebut, dikonfirmasi oleh anak. Hasilnya, untuk nilai ke-3 utama, anak memilih rajin belajar bukan berbakti kepada orang tua. Mungkin hal ini disebabkan karena rajin belajar merupakan nilai yang diterapkan oleh Ibu dirumah dan didorong oleh ajaran/tuntutan di sekolah.
ADVERTISEMENT
Namun, apabila data ini dilihat dari area survey, ditemukan fakta yang menarik.
Para orang tua di Kota Yogyakarta menempatkan sholeh/sholehah sebagai nilai utama yang harus diinternalisasikan, yakni responden ayah 41% dan responden ibu 43%, sedangkan orang tua di Kota Solo lebih memilih kejujuran sebagai nilai utama, yakni responden ayah sebanyak 32% dan responden ibu sebanyak 37%.
Hal ini tidak mengherankan, sebab nilai religius yang merupakan cerminan dari nilai antikorupsi, merupakan salah satu nilai yang melekat pada budaya Yogyakarta yang tercantum pada Peraturan Daerah (Perda No. 4/2011). Namun yang perlu dicatat, nilai religiusitas yang dimaksud pada survey ini diatasi dengan ritual keagamaan saja, bukan pada nilai keagamaan secara umum.
Sayangnya, dalam hal perkembangan anak, sebagian besar orang tua juga tidak memiliki perangkat nilai yang jelas. Nilai-nilai yang ditanamkan pada anak masih bersifat normatif dan di awang-awang, serta tidak ditanamkan secara sistematis kepada anak. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang secara umum diharapkan ada pada anak.
ADVERTISEMENT
Religiusitas masih dianggap sebagai sumber karakter yang paling penting, namun banyak orang tua tidak dapat memberikan penjelasan, religiusitas seperti apa yang diharapkan ada pada diri anak, selain terkait kegiatan ritual keagamaan.
Dari temuan di atas, ada satu simpulan penting untuk didiskusikan lebih lanjut. Bahwa orang tua belum mampu menghubungkan antara ketidakjujuran yang dilakukan anak saat ini dengan potensi korupsi di masa depan. Tindakan atau perilaku buruk anak dianggap hanya merugikan kenakalan anak yang dianggap biasa saja dan tidak dapat merugikan orang lain.
Kalau kita mulai menoleransi ketidakjujuran sejak kecil, pantaskah kita berharap anak kita menjadi jujur di kemudian hari?
Referensi
Laporan Baseline Studi Pembangunan Budaya Anti Korupsi Berbasis Keluarga, KPK, 2012-2013
ADVERTISEMENT
Laporan Indeks Persepsi Korupsi, Transparency International, 2017