Anak dan Dinasti: Apa Selalu Menelurkan yang Terbaik?

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
23 Juli 2020 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Google Doodle rayakan Hari Anak Nasional. Foto: Google
zoom-in-whitePerbesar
Google Doodle rayakan Hari Anak Nasional. Foto: Google
ADVERTISEMENT
Soal anak dan pembentukan dinasti politik jadi perdebatan hangat di Indonesia akhir-akhir ini. Presiden Joko Widodo, yang selalu mengesankan diri sebagai teknokrat pemegang mandat dan bukan pemburu kekuasaan tak berbatas, mengizinkan anak dan menantunya, yang tak punya latarbelakang politik atau administrasi negara, untuk ikut pemilihan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Banyak yang membela, bahwa dinasti politik adalah hal lumrah di dunia-- bahkan di Amerika Serikat, negara yang senang mencitrakan diri sebagai simbol demokrasi. Namun yang sering dilupakan orang Indonesia saat memakai dalih ini adalah bahwa para "dinasti" di luar Indonesia jarang melupakan bekal pendidikan dan pengalaman bagi bibit yang mereka pelihara.
Gloria Macapagal Arroyo, presiden ke-14 Filipina, bukan sekadar putri Diosdado Macapagal, presiden ke-9. Walau ayahnya sudah menjadi Presiden pada tahun 1961, saat Gloria berusia 14 tahun, "pintu" kekuasaan ini tidak lalu mengesampingkan pendidikan formal. Selain menyelesaikan sekolah ekonomi sampai strata S-3, Gloria sempat berguru di Walsh School of Foreign Service milik Universitas Georgetown di Amerika Serikat-- sekelas dengan Bill Clinton yang kelak akan menjadi presiden juga. Pulang ke Filipina, Gloria lama membangun karier akademis sebelum pada tahun 1987 ditunjuk Presiden Corazon Aquino sebagai asisten Menteri Perdagangan dan Industri. Seusai masa tugasnya pada tahun 1992 Gloria membangun karier politik sebagai senator dulu, sebelum 6 tahun kemudian terpilih sebagai Wakil Presiden. Masih butuh 3 tahun lagi sebelum ia menggantikan Presiden Joseph Estrada.
ADVERTISEMENT
Latar-belakang setara juga ditemui dalam sejarah Benazir Bhutto dan Indira Gandhi, putri pemimpin tertinggi negaranya masing-masing. Saat menjadi mahasiswi Universitas Oxford di Inggris, Indira Gandhi sudah aktif di Oxford Majlis Asian Society, persatuan mahasiswa Asia di universitas tersebut. Benazir Bhutto bahkan mengetuai komunitas debat Oxford Union Society. Apa saja bidang studi yang mereka ambil? Ekonomi, politik, filsafat dan kepemerintahan.
Pengusaha dan politisi Joseph Kennedy Sr. memang tidak pernah menyembunyikan ambisi besar untuk anak-anaknya, dan ia membentuk jejaring kuat dari perjalanan karier sebagai ketua komisi sekuritas (SEC), ketua komisi kelautan, dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Inggris. Tapi Joe Kennedy Sr. juga membekali anak-anaknya dengan serius. Baik John (Presiden AS ke-35), Robert (Jaksa Agung AS ke-64), dan Edward (Senator AS 1962-2009), selain alumni Universitas Harvard juga diarahkan sejak muda untuk berkarier sebagai abdi negara, baik sipil maupun militer.
Pesta pelantikan Kennedy sebagai presiden USA. Foto: Reuters
Justin Trudeau, perdana menteri ke-23 Kanada, memang tak berbekal sekolah ilmu-ilmu klasik calon politisi, namun ia terlibat dalam organisasi politik sejak masih kuliah, dan makin aktif justru setelah sang ayah, Pierre Trudeau, perdana menteri ke-15 Kanada, sudah wafat. Dua tahun sebelum memenangkan pemilihan sebagai Perdana Menteri pada tahun 2015, Justin Trudeau sudah terpilih sebagai pemimpin partainya.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau. Foto: Adam Scotti/Prime Minister's Office/Handout via REUTERS
Apakah ijazah sekolah bagus adalah jaminan alumninya akan menjadi pemimpin berkualitas? Memang tidak. Gloria Macapagal Arroyo digayuti isu korupsi, dan setelah menjabat sempat ditahan bertahun-tahun. Aung San Suu Kyi berbekal pendidikan dari Oxford, namun beberapa tahun ini tercoreng reputasinya sebagai pemimpin Myanmar karena membiarkan persekusi terhadap etnis Rohingya.
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi saat di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda. Foto: REUTERS / Yves Herman
Namun bagaimanapun, tidak dipungkiri bahwa pendidikan formal yang baik menyiapkan fondasi struktur berpikir dan rentang wawasan, modal penting bagi seseorang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak. Apalagi pendidikan tinggi dalam ilmu-ilmu seperti ekonomi, politik dan kepemerintahan-- itu perangkat penting dalam membentuk kebijakan sebagai pemimpin publik. Meniti karier politik dari bawah, termasuk pernah tersandung, biasanya akan menajamkan kemampuan mengatasi masalah selain tentunya memperkaya wawasan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan privilege, sebuah konsep yang akhir-akhir ini banyak dipertengkarkan di media sosial? Ya, naif untuk berasumsi bahwa nama-nama yang disebut di atas sukses semata bermodalkan pendidikan tinggi dan penitian karier tanpa karbitan. Tak dipungkiri ada privilege, hak keistimewaan, yang menguntungkan dalam langkah panjang mereka ke pucuk pimpinan. Tapi paling tidak anak-anak ini tidak masuk gelanggang cuma mengantongi nama dan tips manuver kekuasaan dari orangtuanya; kepala mereka berisi ilmu untuk menjadi pemimpin yang mumpuni saat kekuasaan sudah di tangan. Pada akhirnya, apa pemerintahan kalau bukan pembentukan dan pelaksanaan kebijakan demi memperbaiki hajat hidup rakyatnya?
Apalagi di republik yang berlandaskan demokrasi, rakyatnya harusnya diedukasi dan didewasakan dengan pilihan yang tidak melulu berdasarkan kepopuleran nama keluarga. Kalaupun para elite terlalu malas untuk keluar dari jebakan dinasti, paling tidak sodorkan bibit yang sudah dipupuk dengan optimal-- bukan sejadi dan seketemunya. Pemuja setia Soekarno sering membanggakan kecerdasan tulisan-tulisan Sang Proklamator yang bersumber dari kelahapannya membaca berbagai buku klasik-- mengapa bukan aspek intelektual ini, dan bukannya sekadar aspek filial dan primordial, yang dipakai untuk mengukur kepiawaian politisi Indonesia?
ADVERTISEMENT
Kalau tidak, bukan saja Indonesia malu pada sesama negara demokrasi, kita juga malu pada beberapa negara monarki absolut yang mulai serius menempa pewaris dinasti. Sebelum naik tahta Hashemite, dinasti yang bisa mengurut garis keturunannya ke abad ke-10 di Timur Tengah, Raja Abdullah II dari Yordania mengenyam pendidikan di Walsh School of Foreign Service yang disebut di atas dan Akademi Militer Sandhurst di Inggris. Raja Khesar Wangchuck dari Bhutan, kerajaan kecil berpopulasi kurang dari 1 juta, menyelesaikan pendidikan politik dan hubungan internasional di Oxford. Masa Indonesia, demokrasi berpopulasi 265 juta manusia, berpuas diri dengan "dinasti" berbekal karisma dan kartu keluarga? Pelajaran moral apa yang mau kita sampaikan kepada anak-anak bangsa?
Masih soal anak, selain dalam monarki, apa anak pemimpin negara cuma punya pilihan karier sebagai politisi atau pejabat publik? Jelas tidak.
ADVERTISEMENT
JFK Jr., terlepas mewarisi nama dan ketampanan ayahnya, mengecap pendidikan di Universitas Brown, dibesarkan di antara kaum intelektual relasi ibunya sejak di White House, dan didukung dana klan Kennedy, memilih merintis majalah politik. Saat majalahnya, sebagai produk jurnalisme, dikritisi kalangan jurnalis dan penerbit AS, ia terima.
Zindzi Mandela, putri Nelson Mandela. Foto: ALEXANDER JOE / AFP
Patricia Reagan berganti nama menjadi Patti Davis untuk mengejar karier di dunia hiburan. Mark Thatcher menjadi pengusaha, seperti juga putra-putra Helmut Kohl, Kanselir Jerman Barat yang dikenang dunia sebagai Kanselir pertama Jerman setelah bersatu. Hanya 2 putri Nelson Mandela yang berkarier sebagai diplomat, termasuk Zindzi Mandela-Hlongwane yang wafat bulan ini setelah positif COVID-19, namun selebihnya berkarier sesuai hasrat dan kapasitas masing-masing. Bukankah ini contoh yang lebih luhur untuk anak-anak bangsa?
ADVERTISEMENT
Pada hari anak 23 Juli ini, sekali lagi, pelajaran moral apa yang mau kita jadikan panutan anak-anak Indonesia?