Dari Cheongsam hingga China Blue

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
5 Februari 2019 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Atasan busana Ao Foto: Sumber: Buku Chinese Dress karya Valery Garrett
zoom-in-whitePerbesar
Atasan busana Ao Foto: Sumber: Buku Chinese Dress karya Valery Garrett
ADVERTISEMENT
Setiap Tahun Baru Lunar menjelang, mode terinspirasi budaya China terlihat tiap pandangan dilayangkan. Mulai dari butik desainer, toko serba-ada, sampai toko ITC. Bagaimana sebenarnya asal-usul gaun yang sekarang disebut cheongsam ini?
ADVERTISEMENT
Pada era Dinasti Ming (1368-1644), pakaian China terdiri dari atasan longgar disilang ke kanan bernama "ao", dan bawahan. Pria dari berbagai kelas sosial dan wanita kelas pekerja memakai bawahan celana longgar, sedangkan wanita kelas atas yang tidak bermobilitas tinggi, terutama karena kakinya dibebat sejak kecil, memakai rok panjang.
Bentuk dasar atasan silang kanan ini diadaptasi menjadi terusan sepanjang tubuh oleh bangsa Jepang, disebut sebagai yukata dan kimono. Setelan ao dan celana longgar wanita sepenuhnya terlestarikan sampai saat ini di Vietnam, koloni Kekaisaran China berabad-abad, dan disebut sebagai "ao dai"-- dengan ao yang melewati lutut.
Kembali ke Dinasti Ming. Dinasti terakhir etnis mayoritas Han ini memiliki 5 warna utama; kuning perlambang Bumi dan pusat semesta, merah penanda musim panas dan Selatan, hitam perwakilan musim dingin dan Utara, biru bagi musim semi dan Timur, dan putih untuk musim gugur dan Barat.
ADVERTISEMENT
Merah dipilih sebagai simbol resmi Dinasti Ming. Harimau adalah hewan yang umum dipakai dalam karya seni dan busana, sedangkan naga, favorit Dinasti Yuan (etnis Mongol penguasa China sebelumnya), dijauhi oleh Dinasti Ming.
Potret wanita China mengenakan Setelan Ao. Foto: Sumber: twitter.com/@potretlawas
Saat Dinasti Qing (etnis Manchu) naik ke tampuk kekuasaan antara 1644-1911, setelan ao dipertahankan, hanya potongannya lebih pas tubuh untuk mengakomodasi kebutuhan busana praktis etnis Manchu sebagai pemburu ulung. Rambut pria dicukur di depan dan dikepang memanjang ke belakang, disebut tocang.
Warna favorit Dinasti Manchu adalah biru, yang diaplikasikan pada tembikar halus yang saat itu tekniknya hanya dimiliki China dan jadi dambaan kaum elite Eropa. Ekspor eksklusif porselen putih-biru ini melahirkan nama warna China Blue (masih dipakai oleh Marks & Spencer untuk lini perawatan tubuh) dan sebutan "china" dengan huruf "c" kecil untuk perabotan porselen dalam Bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Setelah Republik China berdiri dan pengaruh Barat mulai menguat, terutama di sekitar Shanghai yang dijadikan pangkalan komunitas asing, gaun terusan modern a la Barat mulai dilirik wanita China sebagai inspirasi mode. Lahirlah "qi pao" (arti harafiah: gaun umbul-umbul), busana yang pada dasarnya adalah penyatuan atasan ao dan rok panjang menjadi gaun panjang yang sekilas mirip umbul-umbul kalau digantung memanjang.
Dari sini pula istilah kerah Shanghai masuk dalam kosakata mode modern, termasuk dipakai penjahit Indonesia sampai sekarang, untuk bentuk kerah tinggi. Motif naga hidup kembali, bersaing dengan bunga lotus dan burung hong.
Busana Qi Pao Foto: Sumber: Buku Chinese Dress karya Valery Garrett
Sejak awal, qi pao sudah dianggap provokatif karena, walaupun penuh menutup betis, siluetnya gamblang menunjukkan lekuk tubuh wanita. Kritikan makin menggema saat di dekade 1920-an, bersamaan dengan tren mode Barat "flapper", qi pao makin mengetat dan memendek, menunjukkan betis dan lengan atas pemakai. Versi ketat dan pendek ini kemudian lebih dikenal sebagai cheongsam dan akhirnya mendunia, membungkam semua kritik, saat perfilman Hong Kong meledak di era 1970-an.
ADVERTISEMENT
Sosok gadis bermata sayu, bergaun ketat, dan berbelahan tinggi menjadi stereotip perempuan oriental yang sexy tapi penurut. Kemudian, dimunculkan dalam produk-produk budaya Barat dan dimantapkan oleh tradisi patriarki China yang mencari profil feminin ideal baru setelah pembebatan kaki wanita dianggap penyiksaan dan dilarang.
Potret wanita mengenakan busana Cheongsam 1950 & 1960. Foto: Sumber: Buku Chinese Dress karangan Valery Garrett
Cheongsam saat ini amat mudah ditemui di Indonesia, bahkan sampai yang berbahan batik atau tenun. Kancing kait dari benang ulir sudah jarang dipakai, diganti dengan kancing jepret atau ritsluiting demi kepraktisan. Sayangnya, banyak produsen pakaian jadi yang tidak paham pakem dasar ao dan menyilang cheongsam ke kiri, seperti ketidaktahuan banyak wanita Indonesia saat mengatupkan kain batik panjang ke kiri walau seharusnya ke kanan.
Sejak awal peradaban manusia, busana adalah salahsatu produk budaya, sarat dengan nilai dan penanda sejarah. Apakah selalu harus paham sejarah busana yang dikenakan? Mungkin tidak. Tapi ada kenikmatan tersendiri yang didapat saat sang pemakai memahami bahwa selembar kain itu tak sekadar penutup badan, tapi simbol manusia dalam perjalanannya.
ADVERTISEMENT
Selamat memilih Cheongsam! Gong Xi Fa Cai, Xin Nian Kuai Le!