news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kamala Harris: Tonggak Baru Perjuangan Panjang Perempuan Amerika Serikat

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
10 November 2020 9:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon wakil presiden AS dari Partai Demokrat 2020 Kamala Harris berbicara di panggung pidato di Wilmington, Delaware, pada Sabtu (7/11) malam waktu setempat sekitar pukul 20.00 atau pukul 08.00 WIB. 
 Foto: JIM BOURG/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Calon wakil presiden AS dari Partai Demokrat 2020 Kamala Harris berbicara di panggung pidato di Wilmington, Delaware, pada Sabtu (7/11) malam waktu setempat sekitar pukul 20.00 atau pukul 08.00 WIB. Foto: JIM BOURG/REUTERS
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Itu adalah jawaban Alice Paul, aktivis kesetaraan hak Amerika Serikat, saat dibombardir pertanyaan oleh kaum pria mengapa ia menuntut hak pilih politik untuk wanita (women’s suffrage). Alice Paul bertanya balik, mengapa perlu dijelaskan bahwa, sama seperti pria, wanita ingin pekerjaan yang menghasilkan, wahana untuk mengekspresikan diri, dan perwakilan suara dalam Pemerintah tempat tinggalnya?
Hak Pilih Perempuan Amerika Serikat
Kutipan di atas diambil dari Iron Jawed Angels, film 2004 tentang perjuangan Alice Paul dan rekan-rekannya di awal abad ke-20 agar perempuan Amerika Serikat (AS) boleh memilih dalam Pemilu. Alice Paul diperankan Hillary Swank, sementara Anjelica Houston dan Julia Ormond memerankan tokoh lainnya. Walau beberapa detail “disesuaikan” dengan sistem nilai abad ke-21, film ini cukup menggambarkan getirnya perjuangan saat itu. Sulit menafikan adegan para aktivis berdemo dalam bekunya musim dingin sambil dicerca orang lewat, dicekoki sipir saat mogok makan di penjara, atau bahwa salah satu aktivis akhirnya wafat karena kecapaian tur mengedukasi terutama kepada wanita yang malah menentang perjuangan ini.
ADVERTISEMENT
Alice Paul adalah generasi kesekian aktivis women’s suffrage, karena perjuangan telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Baru pada 26 Agustus 1920 lah Amandemen ke-19 Konstitusi AS, yang melarang diskriminasi hak pilih berdasarkan gender, sukses disahkan. 144 tahun setelah negaranya merdeka, baru warga negara perempuan AS dijamin hak pilihnya secara hukum. Dan baru 100 tahun setelah perempuan AS bebas mencoblos di Pemilu, perempuan terpilih sebagai Wakil Presiden. Fakta terakhir ini disebut oleh Kamala Harris di awal pidato kemenangannya pada 7 November 2020 lalu.
Kamala Harris
Kamala Devi Harris lahir di negara bagian California pada Oktober 1964 dari pasangan akademisi imigran. Donald Harris adalah pria berkulit hitam dari Jamaika yang menuntut ilmu ekonomi di UC Berkeley, di mana ia bertemu Shyamala Gopalan, wanita India yang sedang belajar endokrinologi. Setelah keduanya mendapatkan gelar PhD sang ayah menjadi dosen sementara sang ibu menjadi peneliti. Perceraian orangtuanya saat Kamala masih kecil membawanya mengikuti pekerjaan baru sang ibu di Montreal, Kanada. Kamala memilih kuliah S1 jurusan Politik dan Ekonomi di Universitas Howard, universitas legendaris di Washington DC yang telah menelurkan Thurgood Marshall, hakim agung pertama keturunan Amerika-Afrika, Vernon Jordan, aktivis HAM yang kemudian menjadi penasihat Barack Obama, dan Toni Morrison, penulis pemenang Pulitzer dan keturunan Amerika-Afrika pertama yang memenangkan Nobel untuk Sastra.
ADVERTISEMENT
Lulus dari Howard, Kamala kembali ke California untuk mengejar gelar S2 di bidang hukum di UC Hastings. Meniti karier pelayanan publik sejak 1990 di California, Kamala mulai dari dewan banding asuransi pengangguran dan komisi bantuan kesehatan sebelum menjadi asisten jaksa penuntut wilayah.
Antara 2004-2011 Kamala Harris adalah perempuan dan non-Kaukasia pertama yang menjadi jaksa wilayah San Francisco, antara 2011-2017 ia perempuan sekaligus keturunan Afrika dan Asia Selatan pertama yang menjadi jaksa negara bagian, sebelum pada tahun 2017 menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang mewakili California di Senat AS dan keturunan Asia Selatan pertama yang berhasil duduk di sana. Dalam karirnya sebagai jaksa, Kamala dianggap mengambil sikap tengah; setuju hukuman berat dan maksimal untuk kriminalitas besar, tak setuju pemenjaraan masif atas kasus yang bisa direhabilitasi.
ADVERTISEMENT
Dari perjalanan karirnya ini juga, terlepas dari kritikan bahwa tatanan politik California terbias nepotisme, terlihat Kamala Harris sering menjadi perempuan dan orang non-Kaukasia pertama dalam jabatannya. Ras dan etnis adalah sesuatu yang ia sendiri angkat dalam memoarnya, The Truths We Hold, di mana Kamala mengisahkan bagaimana anak tetangga dilarang main dengannya karena perbedaan warna kulit walau tetangga tahu ayah Kamala dosen di universitas terkenal, atau bahwa ibu Kamala yang ilmuwan kanker sering dikira asisten rumah-tangga. Kamala menulis bahwa walau dibesarkan dalam aliran Gereja Baptis seperti ayahnya, ia sering mengikuti ibunya ke kuil Hindu untuk menyanyi. Pemilihan Universitas Howard yang mengakar di masyarakat Afrika-Amerika juga diceritakan sebagai keputusan sadar demi menggali identitasnya sebagai perempuan berkulit hitam, agak mirip dengan yang ditulis Barack Obama dalam memoarnya (termasuk permintaan untuk dipanggil sebagai “Barack” dan bukan “Barry” lagi).
Faktor ras dan etnis tetap secara terbuka dibicarakan Kamala Harris dalam perjuangannya menuju Gedung Putih sejak akhir 2018, kontras dengan Obama yang secara sadar tak memainkan kartu ras saat kampanye Pemilu 2008. Bisa jadi perbedaan situasi sosial-politik AS dalam dekade terakhir ini membuat identitas minoritas menjadi kartu menguntungkan. 12 tahun setelah Barack Obama menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang menang Pemilu sebagai Presiden, Kamala Harris memancang tonggak baru sebagai perempuan pertama, orang Afrika-Amerika pertama, dan keturunan Asia Selatan pertama yang terpilih sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat. Keduanya datang dari Partai Demokrat.
ADVERTISEMENT
Tonggak Baru Perempuan dan Minoritas
Kamala Harris bukan perempuan atau minoritas pertama yang pernah maju menjadi pemimpin negara AS. Pada tahun 1884, 36 tahun sebelum perempuan AS bebas memilih, Belva Ann Lockwood dan Marietta Stow dari partai Kesetaraan Hak Nasional sudah mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Belva adalah pengacara perempuan pertama AS yang berhasil mendapatkan persetujuan Kongres AS untuk membawakan kasus di hadapan Mahkamah Agung AS.
Pada tahun 1952 Charlotte Bass, perempuan Afrika-Amerika pertama yang memiliki koran di AS, menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden dari Partai Progresif. Dua dekade kemudian Shirley Chisholm menjadi politisi Afrika-Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden dalam pemilihan internal Partai Demokrat. Pada tahun 1984 Emma Wong Mar menjadi perempuan Asia-Amerika pertama yang maju sebagai Wakil Presiden dari Partai Kedamaian dan Kebebasan, walau tonggak ini sering dilupakan karena pada tahun yang sama Partai Demokrat, partai nasional utama, memasangkan Geraldine Ferraro sebagai calon Wakil Presiden dari Walter Mondale. Pasangan Mondale-Gerraro kalah dari petahana Partai Republik, Ronald Reagan dan George H W Bush.
Gweraldine Ferraro. Dokumentasi: Wikimedi Commons
Walau memupuskan jalan Geraldine Ferraro, 3 tahun sebelumnya Presiden Ronald Reagan mencatat sejarah karena menominasikan perempuan pertama untuk Mahkamah Agung, ahli hukum Sandra Day O’Connor. Butuh 24 tahun lagi sebelum Presiden dari Partai Republik mengangkat perempuan untuk posisi strategis, yaitu saat Condoleeza Rice diangkat pada tahun 2005 oleh Presiden George W Bush menjadi Menteri Luar Negeri, perempuan Afrika-Amerika pertama dalam jabatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari sisi etnis Asia Selatan, Partai Republik juga punya politisi seperi Bobby Jindal atau Neel Kashkari yang sempat menjabat sebagai asisten Menteri Keuangan di penghujung era George W Bush. Pemerhati keuangan yang menonton Too Big To Fail, film HBO 2011 tentang krisis finansial global 2008, akan menjumpai sosok Neel Kashkari di sana.
Namun tetap, bila dibandingkan, Partai Demokrat memiliki jejak-rekam yang lebih menarik dalam kesetaraan bagi perempuan dan minoritas untuk mengukir karier publik.
Sembilan tahun setelah Geraldine Ferraro gagal terpilih sebagai Wakil Presiden, praktisi hukum Carol Moseley Braun menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang terpilih masuk Senat AS sebagai perwakilan negara bagian Illinois dari Partai Demokrat.
Presiden Bill Clinton, terlepas dari perilaku privatnya sebagai suami, mendukung pejabat publik wanita melalui penunjukan Janet Reno sebagai Jaksa Agung perempuan pertama pada 1993, Ruth Bader Ginsburg sebagai perempuan kedua di Mahkamah Agung (MA) pada tahun yang sama, dan Madeleine Albright sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama pada 1997.
Ruth Bader Ginsburg. Dokumentasi: Wikimedi Commons
Salah satu prestasi Janet Reno di awal karirnya adalah membentuk sistem persidangan dan pengawasan untuk kasus ketergantungan obat dan penyakit mental. Setelah diangkat sebagai Jaksa Agung, Janet mengusulkan Ruth Bader Ginsburg kepada Presiden Clinton untuk kursi MA. Ruth adalah profesor hukum yang melegenda sejak 1970-an karena memenangkan kasus-kasus kesetaraan gender. Baru wafat September lalu dalam usia 87 tahun, karier panjang Ruth yang dipenuhi diskriminasi berdasar jenis kelamin diabadikan dalam film On the Basis of Sex pada tahun 2018, di mana Ruth diperankan Felicity Jones.
Madeleine Albright adalah imigran Ceko dan putri diplomat yang tumbuh menjadi pakar hubungan internasional yang terkenal lugas—pada sidang Dewan Keamanan PBB di masa awal tugasnya, Madeleine sigap menukas sesumbar pilot Kuba dengan menyebut tindakan si pilot sebagai kebalikan dari “cojones” (buah pelir dalam bahasa Spanyol), mengagetkan seisi sidang yang didominasi delegasi pria. Sebagai Menteri Luar Negeri, saat itu Madeleine Albright adalah perempuan dengan jabatan tertinggi di jajaran pemerintahan federal AS.
Madeleine Albright. Dokumentasi: Wikimedi Comons.
Di masa kepresidenan Obama, pakar hukum Sonia Sotomayor masuk ke jajaran MA pada tahun 2009, perempuan ketiga dan keturunan Hispanik pertama di posisi tinggi itu. Setahun kemudian, Obama menunjuk Elena Kagan ke posisi yang sama, sehingga pertama kalinya dalam sejarah sepertiga dari hakim agung AS adalah perempuan. Sebelumnya, Elena Kagan adalah dekan perempuan pertama Harvard Law School, sekolah hukum yang telah mencetak banyak presiden AS. Thurgood Marshall yang disebut di awal tulisan ini, keturunan Afrika-Amerika pertama yang duduk di MA, ditunjuk pada tahun 1967 oleh Presiden Lyndon B. Johnson yang juga dari Demokrat.
Sonia Sotomayor. Dokuentasi: Wikimedia Commons.
Obama juga mengangkat ekonom Janet Yellen untuk mengepalai Bank Sentral AS pada tahun 2014, perempuan pertama pada jabatan itu. Janet adalah salah satu dari sedikit pejabat era Obama yang tidak seketika diganti Trump sampai kontraknya berakhir secara resmi.
ADVERTISEMENT
Nancy Pelosi, politisi negara bagian California dari Demokrat, adalah wanita pertama yang menjadi ketua House of Representatives, dewan legislatif AS. Berusia 80 tahun, Nancy masih menunaikan tugasnya sampai hari ini. Dalam tatanan pemerintahan federal AS, ini jabatan tertinggi setelah Presiden dan Wakil Presiden.
Nancy Pelosi. Dokumentasi: Wikimedia Commons.
Dan tentu saja kita belum lupakan bahwa empat tahun lalu, Hillary Clinton, adalah perempuan pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden AS. Bukan sekadar istri mantan Presiden, Hillary adalah pengacara pandai dengan bekal pendidikan elite dari Wellesley dan Princeton. Setelah masa jabatan suaminya selesai, Hillary berhasil terpilih sebagai senator perempuan pertama untuk negara bagian New York pada 2000. Ia ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri oleh Barack Obama delapan tahun kemudian. Walau dikalahkan secara elektoral oleh Donald Trump dari Partai Republik pada Pemilu 2016, Hillary meraup suara langsung (popular vote) 3 juta lebih banyak dari Trump.
Buku Living History, karya Hillary Rodham Clinton. Koleksi Lynda Ibrahim
Di luar 2 nama yang diulas di atas, Partai Republik acap tersandung saat mempromosikan perempuan untuk jabatan publik.
ADVERTISEMENT
Senator John McCain memilih Sarah Palin, Gubernur Alaska, sebagai calon Wakil Presiden pada Pemilu 2008. Secara bertahap sepanjang kampanye terlihat keterbatasan pengetahuan politik dan ekonomi Sarah, walau ia berhasil menarik simpati kaum konservatif dengan citranya sebagai pemeluk Kristen taat, ibu rumah tangga beranak banyak dan pemakai senjata-api yang giat. Setelah pasangan McCain-Palin dilibas Obama-Biden, McCain langsung menarik jarak dari Palin. Dalam Game Change, film HBO tahun 2012, Julianne Moore sukses mengilustrasikan Sarah Palin sebagai kandidat yang lemah secara intelektual dan emosional, sebuah pilihan yang dipaksakan partai kepada McCain untuk dikontraskan dengan Obama yang dianggap pria hitam bernuansa Islam.
Bulan lalu, hanya sebulan setelah wafatnya Ruth Bader Ginsburg, Trump secara kilat memulai proses hukum untuk mengangkat Amy Coney Barrett sebagai pengganti. Karena latar belakang politik dan pribadinya yang tak sejalan dengan nilai kesetaraan gender, nominasinya ditentang oleh seluruh perwakilan Partai Demokrat dan juga seorang senator perempuan Partai Republik. Pencalonan Amy akhirnya gol dengan selisih tipis dan ramai dikecam pegiat kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Apalagi bila ditarik ke dekade 1970-an. Saat itu aktivis perempuan setelah generasi Alice Paul masih melanjutkan perjuangan untuk pengesahan amandemen kesetaraan hak (ERA), sebuah gerakan perempuan lintas partai yang dimotori oleh tokoh seperti Shirley Chisholm (Demokrat) yang disebut di atas dan Jill Ruckelshaus (Republik). Namun, langkah hukumnya sukses dijegal oleh faksi garis keras Partai Republik yang dikomando Phyllis Schlafly. Perempuan berpendidikan tinggi dari universitas elit yang bersuamikan pengacara kaya ini berhasil menakut-nakuti dengan hoaks bahwa ERA akan menghapus “hak-hak istimewa perempuan”. Di depan publik, Phyllis yang selalu mengidentifikasikan diri sebagai ibu rumah tangga beranak enam, enteng mengejek status cerai Betty Friedan dan pilihan melajang Gloria Steinem—dua aktivis ternama di balik ERA. Pertarungan penuh drama ini dinukilkan dalam miniseri Mrs America yang dirilis di awal tahun ini, di mana Phyllis diperankan Cate Blanchett.
ADVERTISEMENT
Dunia memang sudah sedikit maju. Paling tidak, selama kampanye menjelang Pemilu 2020 ini, tiada terdengar usaha keji lawan untuk mempermasalahkan bahwa Kamala Harris, perempuan karier sukses yang baru memutuskan menikah 6 tahun lalu, belum pernah melahirkan anak. Tapi bukan berarti Kamala sepi diterjang isu ras dan etnis. Bahkan ada politisi Partai Republik yang mempermainkan pelafalan Kamala untuk menggarisbawahi asingnya nama itu bagi orang Amerika “asli”, sebuah kenorakan yang ironis mengingat 158 tahun lalu perbudakan kulit hitam dihapuskan oleh seorang presiden legendaris dari Partai Republik, Abraham Lincoln.
Apakah Kamala Harris akan berhasil menjadi Wakil Presiden yang efektif bagi Joe Biden atau lokomotif pendorong perempuan dan minoritas AS, atau sekadar pemanis Gedung Putih, ada 4 tahun untuk membuktikannya. Sulit untuk berharap muluk mengingat betapa panjang, terjal dan berlikunya jalan perempuan dalam peta politik AS sejak menuntut kesetaraan hak pilih pada pertengahan 1800-an. Tapi paling tidak, tambur boleh dibunyikan kencang dan kaki boleh diayun riang karena bukan saja selapis lagi langit kaca sudah dipecahkan, tapi dipecahkan oleh perempuan minoritas berbekal karier dan pendidikan, sebuah teladan bagi bangsa Indonesia yang mudah memajukan calon semata berdasar garis keturunan.
ADVERTISEMENT
“But while I may be the first woman in this office, I will not be the last.” Saya boleh yang pertama di jabatan ini, tapi saya tidak akan menjadi yang terakhir. Dan jutaan perempuan di seluruh dunia yang mendengar kalimat itu dalam pidato kemenangan Kamala, sangat mungkin semua mengamininya.
Semoga Kamala mengamalkan pesan ibunya untuk menahan pintu terbuka bagi perempuan lain setelah ia sukses mendobraknya. Selamat, Kamala Harris, kami ikut bangga dan berharap.