Kartini, Phyllis Schlafly, dan Indonesia Masa Kini

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
21 April 2020 9:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
“Memangnya Phyllis Schlafly itu siapa?”
Mungkin itu pertanyaan yang seketika terbersit saat membaca judul di atas.
ADVERTISEMENT
Raden Ajeng Kartini, semua orang Indonesia tahu garis-besar profilnya. Putri dari istri pertama birokrat Jepara yang diijinkan ayahnya bersekolah dalam bahasa Belanda sampai usia akil-balik, meneruskan membaca sastra dan berkorespondensi saat dipingit, dan akhirnya mendirikan sekolah anak-anak perempuan. Sejarah juga mencatat bahwa, terlepas keleluasaan dari ayahnya, Kartini tetap dijodohkan sebagai istri kesekian pria berpangkat yang jauh lebih tua dan akhirnya wafat pada usia 25 tahun setelah melahirkan.
Kartini bukan satu-satunya penggagas sekolah untuk perempuan Nusantara—Dewi Sartika di Jawa Barat sudah mendahului, lalu Roehana Koeddoes di Sumatera Barat menyusul setelah Kartini wafat. Status sosial Kartini dan kesediaannya dipoligami juga jadi polemik tersendiri.
Di luar perdebatan sengit dan sahih tentang kelayakan Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan Indonesia, tak dipungkiri bahwa untuk ukuran zamannya, Kartini termasuk sedikit perempuan terdidik yang berusaha membagikan privilesenya kepada sesama perempuan. Mungkin kalau Kartini tak wafat terlalu cepat, mungkin kalau ia sempat menyaksikan suaminya kawin lagi, mungkin kita akan bisa membaca pandangan Kartini tentang emansipasi perempuan seutuhnya.
Dewi Sartika. Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Phyllis Stewart Schlafly justru tak lahir seberuntung Kartini. Putri masinis John Stewart yang menganggur bertahun-tahun setelah Depresi Besar melanda Amerika Serikat pada tahun 1929, Phyllis kecil menyaksikan ibunya kembali bekerja sebagai guru demi kelangsungan hidup keluarga. Kecerdasannya membuat Phyllis memenangkan beasiswa dan mendapatkan Master dalam ilmu Kepemerintahan pada tahun 1945 dari Radcliff College, universitas afiliasi Harvard untuk mahasiswa perempuan saat itu (Harvard baru menerima mahasiswa perempuan pada tahun 1950). Phyllis lalu menikah dengan John Fred Schlafly Jr., pengacara dan pengusaha kaya.
Setelah menikah pun, Phyllis tetap menulis tentang isu pertahanan nasional melawan komunisme Uni Soviet dan aktif berorganisasi di Partai Republik. Walaupun kalah, Phyllis bahkan pernah mencalonkan diri sebagai anggota Kongres Amerika untuk negara bagian Illinois.
Phyllis Schlafly. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Dari latar belakangnya, harusnya Phyllis menjadi penyokong undang-undang kesetaraan gender (Equal Rights Amendment, sering disingkat ERA) di Amerika Serikat, Nyatanya tidak. Justru kepandaiannya menulis, berorasi dan berorganisasi dipakai memobilisasi perempuan konservatif, sesuai jalur ideologi Partai Republik, untuk menjegal pengesahan ERA yang diperjuangkan kelompok perempuan progresif pada era 1970-an.
ADVERTISEMENT
Memakai alasan nilai tradisional keluarga, Phyllis membangkitkan ketakutan bahwa ERA akan menghapus privilese perempuan seperti tunjangan cerai, pengecualian wajib militer, dan kamar mandi terpisah dari pria—hal-hal yang berbeda dari titik-berat ERA pada kesetaraan hak dalam pekerjaan, pernikahan dan kepemilikan aset. Dan karena Gelombang Kedua Feminisme (Second Wave Feminism) di balik ERA saat itu juga menyoal kedaulatan perempuan atas sistem reproduksinya sendiri, termasuk keputusan aborsi, Katolik taat seperti Phyllis Schlafly makin mendapat amunisi.
Banyak sekali perempuan yang termakan ketakutan ini, dan kemudian sukses dimobilisasi Phyllis melalui gerakan STOP (Stop Taking Our Privileges) untuk menekan politisi setempat. Aktif berkampanye keliling berbagai negara bagian bertahun-tahun, STOP berhasil menyetop ERA. Pada tenggat 22 Maret 1979, ERA hanya mendapatkan 35 ratifikasi negara bagian dari 38 yang disyaratkan untuk perubahan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Panasnya pertempuran ERA digambarkan dengan kuat dalam miniseri Mrs. America yang diputar di kanal Hulu dan FX mulai minggu lalu. Diperankan oleh talenta sekaliber Cate Blanchett, sosok Phyllis Schlafly bukan karikatur miskin dimensi. Ia ibu yang menyayangi keenam anaknya, istri yang berdialog serius dengan suaminya, aktivis yang mampu mendebat politisi pria, dan anak yang mengurus ibu lansianya. Makin ditonton, makin membingungkan mengapa Phyllis yang berpendidikan tinggi, dibesarkan perempuan pekerja dan sendirinya menikmati peran publik berskala nasional, begitu anti kesetaraan hak perempuan.
Foto: Dok. instagram.com/mrsam_fxonhulu
Mrs. America juga dengan menarik mengkontraskan perilaku privat Phyllis saat menghibur ipar perempuannya yang masih lajang, Eleanor Schlafly, dengan sikap publiknya menertawakan aktivis progresif seperti Gloria Steinem yang memilih melajang.
ADVERTISEMENT
Mengapa semua ini jadi relevan untuk Indonesia? Karena pada tahun 2020 ini Indonesia masih mirip Amerika pada 1970-an. Perempuan memang bebas bersekolah seperti yang diimpikan Kartini 130-an tahun lalu, tapi sikap masyarakat umum masih mirip Phyllis Schlafly yang tetap tidak sudi perempuan mendapat kesempatan setara lelaki.
Boleh sekolah, tapi tidak “terlalu” tinggi sampai menakuti lelaki. Boleh berkarier, tapi tidak melebihi lelaki. Boleh berduit, tapi jangan melampaui rejeki lelaki. Boleh jadi segalanya, tapi hanya lengkap kalau sudah dikawini lelaki dan melahirkan bayi. Boleh dikawin-siri, dipoligami, atau bahkan segera dicerai, yang penting pernah dikawini lelaki.
Ancaman terhadap keutuhan keluarga yang diteriakkan STOP di Amerika pada dekade 1970-an juga digenderangkan di sini oleh pihak seperti Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Pada tahun 2016 AILA mengajukan uji materi pasal susila dalam KUHP ke Mahkamah Konstitusi, yang bila dikabulkan membuka pintu campur-tangan Negara dalam kehidupan seksual privat warga dan mengesahkan diskriminasi pada kelompok LGBTQ. Walau tak berhasil saat itu AILA tetap gencar bergerilya dan sekarang mulai menyasar paham feminisme memakai definisi sempit nilai keluarga dan sepetik-dua dogma agama, dan mendulang dukungan para wanita yang terpancing ketakutan.
ADVERTISEMENT
Sama seperti STOP, AILA didukung kaum terpelajar yang berpikiran konservatif dan ingin memaksakan selera moralnya pada publik. Persis seperti STOP, aktivis AILA tidak menyadari ironi bahwa kebebasan mereka berorganisasi adalah buah langsung dari prinsip anti diskriminasi yang mereka salah-pahami. Bila mereka makin menggeser fokus dari isu LGBTQ ke kesetaraan gender, maka AILA dan para perempuan yang sepemahaman dengannya bisa menjadi seperti STOP-- senjata teruncing yang alih-alih ditembakkan pria, ditusuk dari belakang oleh sesama wanita.
Bila masih hidup, Kartini akan berusia 141 hari ini. Sulit menduga pandangan emansipasi Kartini dalam kekompleksan abad ke-21 ini. Tapi sampai Phyllis Schlafly wafat pada usia 92 tahun pada tahun 2016, tahun yang sama AILA mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Indonesia, ia mempertahankan penolakan definisi kesetaraan gender di Amerika Serikat. ERA pun tetap belum disahkan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat, walau sekarang ada harapan dengan maraknya kampanye MeToo tentang pelecehan seksual sejak 2018, sejumlah negara bagian akan mau ikut mengesahkannya.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Kartini. Perjuangan kesetaraan masih jauh dan mendaki. Bila sempat, tengok catatan sejarah tetangga lewat Mrs. America minggu ini.