Kekelaman Sejarah dan Kekuatan Perempuan dalam Karya Jeihan

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
9 April 2019 18:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mata sekelam malam, tanpa bola mata atau kelopak beririsan. "Jeihan", kata yang umum dilontarkan pecinta seni saat menemui ciri khas ini dalam sebuah lukisan.
ADVERTISEMENT
Jeihan Sukmantoro adalah salah satu pelukis Indonesia yang paling dikenali karyanya dan dikagumi. Namun banyak yang tidak tahu, mengapa Jeihan menggambar mata obyek lukisannya sedemikian kelam?
Dekade 1960-an menyaksikan situasi Indonesia yang cukup buruk. Pemerintahan saat itu terlalu terpaku pada perselisihan politik dan kebanggaan nasionalisme semu, melupakan pengembangan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Novel tahun 1978 The Year of Living Dangerously yang kemudian dijadikan film populer Hollywood di tahun 1984, dibintangi Mel Gibson dan Sigourney Weaver, memberikan gambaran betapa kemiskinan bahkan meliputi sebagian besar Ibukota saat itu.
Jeihan Sukmantoro di pameran lukisannya di Museum Macan Foto: Museum Macan
Jeihan Sukmantoro menyaksikan keterpurukan yang sama di kediamannya saat itu di Cicadas, Jawa Barat. Banyak orang yang terpaksa menjadi copet atau bahkan pelacur untuk bertahan hidup. Sedemikian miskinnya penduduk sekitar sehingga TV yang dimiliki Jeihan menjadi sumber hiburan utama bagi para tetangga. Saat mereka datang menonton, Jeihan mengamati suasana hati dan raut muka mereka.
ADVERTISEMENT
Lalu pada tahun 1963, lahirlah sang mata kelam. Dan saat kericuhan sosial-politik 1965 berlangsung, di mana Jeihan terlibat langsung usaha penyembunyian rekan-rekan Tionghoanya di rumah-rumah teman-teman Melayu, lukisan sosok bermata kelam makin mengalir keluar.
Bukan berarti si mata-kelam seketika diterima publik dan kritikus seni. Pada pameran awalnya pada tahun 1968, Jeihan dikecam atau ditertawakan. Butuh sekitar 8 kali pameran sebelum Jeihan berhasil menjual sebuah lukisan sosok bermata kelam.
Apa yang membuat pameran di Museum Macan kali ini berbeda dengan karya Jeihan serupa yang sudah banyak menjadi koleksi tetap beberapa museum domestik dan asing?
Lukisan Jeihan Sukmantoro di pameran Jeihan : Hari-hari di Cicadas di Museum Macan Foto: Museum Macan
Pertama, 30 potret ini berasal dari masa Jeihan berdomisili di Cicadas (1963-1981). Kedua, semua karya ini ditemukan di studio pribadi Jeihan, yang menyiratkan bahwa belum terjadi perpindahan kepemilikan. Ketiga, berbeda dengan obyek wanita tunggal yang dikenal publik selama ini, Museum Macan mengkurasi lukisan-lukisan dengan obyek pria, anak-anak, dan pasangan.
Lukisan Jeihan Sukmantoro di pameran Jeihan : Hari-hari di Cicadas di Museum Macan Foto: Museum Macan
"Jeihan: Hari-hari di Cicadas" digelar di Museum Macan sampai dengan 26 Mei 2019. Foto: Museum Macan
Lahir pada tahun 1938 dan dalam keadaan kesehatan yang kurang baik, Jeihan Sukmantoro tetap tajam melihat dinamika kehidupan dan tidak menolak perubahan zaman. Tentang gender, Jeihan menganggap perempuan adalah spesies kuat perlambang peradaban dan masa depan, karena dari perempuan lah hidup baru dimunculkan.
ADVERTISEMENT
Soal seni, Jeihan melihat batas antara seni murni dan kontemporer makin menipis dan kian tak relevan. Bukan saja menyambut baik gerakan ekonomi kreatif, Jeihan sudah membuktikan dengan berkolaborasi dengan desainer mode Mel Ahyar untuk koleksi Spring-Summer-- lukisan mata kelam ditorehkan langsung ke gaun-gaun adibusana elegan yang layak dikoleksi museum berkualitas.
Pagelaran busana kolaborasi Jeihan x Mel Ahyar Spring-Summer 2017 Foto: Lynda Ibrahim
Kolaborasi Mel Ahyar x Jeihan itu utk Spring-Summer 2017 Foto: Lynda Ibrahim
"Jeihan: Hari-hari di Cicadas" digelar di Museum Macan sampai dengan 26 Mei 2019. Sebuah kapsul kisah kelamnya Indonesia pada suatu masa, jendela pengingat agar bangsa ini tidak lagi terjebak dalam kesalahan semu yang sama.