Menuju Asian Games 2018: Nukilan Kisah Jawara Bulu Tangkis Indonesia

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
25 Juli 2018 11:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Praveen Jordan bersama Debby Susanto (Foto: ANTARA FOTO/Handout/Humas PBSI)
zoom-in-whitePerbesar
Praveen Jordan bersama Debby Susanto (Foto: ANTARA FOTO/Handout/Humas PBSI)
ADVERTISEMENT
Salah satu cerita yang paling saya ingat dari Olimpiade Rio 2016 adalah bagaimana Katie Ledecky, perenang putri unggulan Amerika Serikat, mempersiapkan diri secara intensif 6-9 bulan sebelumnya. Tiap hari kecuali Minggu, tak peduli cuaca di luar atau cuaca di hati, ia bangun sebelum fajar untuk berlatih.
ADVERTISEMENT
Selesai latihan pagi program ketat bergulir terus mengatur waktu makan, jenis dan kuantitas makanan, durasi dan kategori latihan, dan bahkan tidur siang. Tiada ruang untuk malas, menyimpang, mengeluh, atau jenuh. Hasilnya? Dari 1 emas pada Olimpiade London 2012, Katie Ledecky menyabet 4 emas dan 1 perak pada Olimpiade Rio 2016.
Ternyata, walau mungkin tidak se-Sparta itu, pelatnas bulutangkis Indonesia juga membingkai kehidupan atlet dengan program ketat. 4-5 jam latihan pagi 6 hari seminggu, 3 jam latihan sore 4 hari seminggu, dan libur penuh hanya pada Minggu.
Makanan sehat disajikan prasmanan, walau porsi nasi (campuran nasi putih dan nasi merah berserat tinggi) langsung ditakar. Asupan kalori dijaga salah satunya dengan meniadakan lemak tinggi seperti kulit ayam. Atlet-atlet yang sedang berkondisi khusus mendapat menu tersendiri.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi ini dikisahkan langsung oleh Debby Susanto, juara ganda campuran All England 2016, dan Apriyani Rahayu, juara ganda putri Perancis Open 2017 dan India Open 2018, dalam tatap muka dengan sekelompok fans bulutangkis di Jakarta hari ini.
Sebagai penggemar petai dan jengkol Debby beruntung karena kedua penganan berprotein tinggi tersebut tidak dilarang. Saat ditanya apa yang dipantang mutlak, keduanya menjawab serempak, "Gorengan!"
Ternyata itulah harga untuk menjadi atlet serius; jengkol oke, makanan yang digoreng haram.
Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon (Foto: Humas PBSI)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon (Foto: Humas PBSI)
Disiplin itu terlihat dipertahankan di luar Pelatnas oleh Kevin Sanjaya Sukomuljo dan Marcus Fernandi Gideon, pasangan ganda putra juara All England 2018 dan peringkat satu dunia saat ini. Tampak mereka menyantap ayam panggang dan sayuran sambil menjawab pertanyaan para fans.
ADVERTISEMENT
Namun, hidup tidak selamanya keras dan dingin selama pelatihan. Gregoria Mariska Tunjung, juara dunia tunggal putri junior 2017 yang dalam usia 18 tahun menjadi salah satu anggota termuda Pelatnas, bersantai dengan tontonan Korea. Tontowi "Owi" Ahmad, yang bersama Lilyana Natsir mempersembahkan medali emas ganda campuran Olimpiade Rio 2016 sebagai hadiah terbaik Hari Kemerdekaan Indonesia tahun itu, naik motor untuk hiburan. Ada yang bertunangan, menikah, dan berkeluarga.
Walau mulai latihan serius sejak usia 5-10 tahun, ternyata tidak semua dari delapan atlet yang hadir ini sejak awal bercita-cita menjadi pebulutangkis. Ada yang ingin jadi pilot, atlet jetski, atau pebisnis.
Bagaimana memusatkan konsentrasi menjelang hari-H? Kedelapan atlet bulutangkis kelas dunia ini sepakat: mengulang menonton rekaman pertandingan calon lawan, dan berdoa. Tidak dinyana, Lilyana "Butet" Natsir punya ritual 10 menit tersendiri menata poni pendeknya dengan gel agar tak menghalangi pandangan selama pertandingan, walaupun nantinya cepat dibuyarkan oleh keringat juga. "Kalau saja ada cermin di samping lapangan," cetus Butet setengah memelas, yang disambut gelak fans.
ADVERTISEMENT
Hobi mengutak-atik rambut ini ternyata juga ada pada Apriyani, yang bergontaganti cat rambut saat bosan tidak bertanding.
Greysia/Apriyani di Uber Cup 2018. (Foto: Antara/ Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Greysia/Apriyani di Uber Cup 2018. (Foto: Antara/ Puspa Perwitasari)
Kembali ke pertandingan, selalu ada pihak yang menang dan yang kalah. Mewakili rekan-rekannya, Owi bercerita bahwa setelah dikalahkan seseorang, alih-alih merasa trauma, ia justru lebih semangat untuk menghadapi sang lawan lagi agar bisa membalaskan kekalahan. Selain fisik, mental seorang atlet memang rupanya lebih kokoh dari manusia biasa. Bisa jadi karena hampir semuanya mulai ditempa sejak usia 5-10 tahun.
Bagaimana dengan reaksi publik? Saat menang, semua menyanjung. Ketika kalah, banyak yang mengutuk. Kedelapan atlet bulutangkis kelas dunia ini menyatakan selalu siap menerima kritik terhadap kinerja di lapangan, tapi seringkali yang datang adalah semata cercaan.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka ingat akan lemparan botol mineral kosong ke lapangan, atau bantingan kaki ke kursi stadion penuh amarah. Greysia Polii, pasangan ganda Apriyani, mengenang pilunya hati saat "Goblok!" dilontarkan lantang oleh fans sesaat setelah kekalahannya. Rupanya, di antara gemuruh suara dalam stadion, dinamika tribun tetap terdengar sampai lapangan.
Di era media sosial sekarang, caci-maki bisa deras datang bahkan jauh setelah pertandingan. Sebagai senior yang lebih lama tertempa, Butet mengaku kadang prihatin melihat juniornya diserbu komentar sembarangan seperti "Kalah melulu!" saat mungkin sang yunior baru sekali kalah.
Owi tegas menghapus komentar yang kasar, sedangkan Gregoria, mungkin sebagai mekanisme pertahanan psikologis, malah memberikan like pada komentar jahat pada profil media sosialnya. "Kita tidak bisa mengendalikan komentar orang, jadi saya cuma bisa mengontrol seberapa saya terpengaruh komentar mereka," pungkas Greysia yang disambut anggukan seluruh rekannya.
ADVERTISEMENT
Mungkin sudah waktunya Pelatnas juga menugaskan pelatih media untuk membantu para atlet ini dalam menghadapi fans yang kian tidak berjarak, suatu aspek ketenaran yang lahir dari era media sosial dan Internet 24/7.
Sosialisasi Asian Games 2018 di Palembang (Foto: ANTARA FOTO/Feny Selly)
zoom-in-whitePerbesar
Sosialisasi Asian Games 2018 di Palembang (Foto: ANTARA FOTO/Feny Selly)
Ironisnya, itu justru salah satu kritik terbesar terhadap INASGOC sebagai penyelenggara, bahwa dalam dunia media 24/7 ini, gaung Asian Games 2018 masih kecil terdengar. Kurang sebulan dari pembukaan 18 Agustus 2018, nama resmi atlet Indonesia dan jadwal tandingnya belum dirilis, menyulitkan fans yang ingin datang mendukung atlet pujaannya.
Stasiun televisi penayang resmi belum banyak diketahui massa. Tiket acara pembukaan lebih sulit dicari dari tiket konser artis mancanegara atau Piala Dunia, bukan karena diborong tapi karena minimnya informasi cara pembelian.
ADVERTISEMENT
Promosi yang dilakukan INASGOC terkesan jarang dan sporadis. Acara ramah-tamah hari ini digagas seorang donor pribadi. Penayangan profil atlet Indonesia di Twitter dilakukan oleh beberapa fans yang peduli.
Saat Asian Games 2018 ramai diperbincangkan adalah karena dampak penanganan lalin dan sungai berlimbah di Jakarta, bukan karena profil atlet bangsa yang seharusnya menjadi bintang utama perhelatan olahraga terbesar Asia ini.
Seharusnya panitia Asian Games 2018 dari dini berkolaborasi dengan komunitas olahraga, sekolah, dan universitas. Komunitas olahraga dipenuhi insan yang paham beratnya mengolah fisik, sehingga bisa menghargai perjuangan atlet. Sekolah dan universitas dipenuhi tunas-tunas muda yang haus sosok idola.
Beberapa ribu tiket gratis yang disebar ke beberapa sekolah adalah langkah terpuji, namun lebih efektif bila panitia memberikan akses khusus dan terjangkau kepada semua pelajar. Bila dikoordinasikan, Asian Games bisa menjadi obyek karyawisata bagi banyak institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Akhir tahun lalu Kementerian Pekerjaan Umum mengeluarkan video singkat untuk menunjukkan betapa jernih dan birunya kolam renang Gelora Bung Karno setelah direnovasi. Langkah cerdik ini harusnya bisa dilakukan seluruh instansi terkait di bawah koordinasi Humas Asian Games 2018. Bila harus mempekerjakan barisan pendengung profesional, harusnya panitia mengambil sosok yang memang dekat dengan segmen olahraga.
Setelah 56 tahun, Asian Games kembali mempercayakan Indonesia sebagai tuan rumah. Setelah dikoyak banyak pertikaian politik dan sosial, sebenarnya ini adalah momentum pemersatu bangsa. Sambil mendoakan tulus semua atlet Indonesia yang akan berlaga, saya gugah panitia Asian Games 2018--mudahkan ini menjadi Asian Games kami juga.