news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tara Basro: Jendela Percakapan di Hari Perempuan

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
8 Maret 2020 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tara Basro untuk Women on Top. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Michael Aji. Pro Artist Estee Lauder, Hairdo: Nik Alex by The Parlour. Busana: Topshop. Foto: Norman Fideli
zoom-in-whitePerbesar
Tara Basro untuk Women on Top. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Michael Aji. Pro Artist Estee Lauder, Hairdo: Nik Alex by The Parlour. Busana: Topshop. Foto: Norman Fideli
ADVERTISEMENT
Dulu di negara Paman Sam, saya berkeluh-kesah kepada seorang kawan saya tentang susahnya mendapatkan pekerjaan. Perempuan, Asia, bernama-belakang Muslim, saya triple minority di masa resesi setelah 9/11 di mana perusahaan-perusahaan Amerika amat selektif dalam mensponsori visa kerja.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah mengeluh, saya mendadak teringat bahwa teman saya itu, Malika, adalah imigran Asia berkulit cokelat dan ibu tunggal dari 2 remaja yang juga sedang mencari pekerjaan. Walau sama-sama marjinal, pertaruhan hidup Malika jauh lebih besar. Saya terdiam dan meminta maaf. Apa jawab Malika?
Your misery is yours, Lynda. My misery, even if you think is relatively more than yours, doesn’t make yours feels less to you.”
Malika mengatakan bahwa walau mungkin masalah saya relatif lebih kecil dibanding masalahnya, bukan berarti penderitaan saya terasa lebih ringan.
Walau saya lalu setop mengeluh di depan Malika, namun lebih dari itu, saya belajar tentang kesadaran untuk tidak mengecilkan penderitaan orang lain.
Mudahkah? Oooh, tidak. Saya masih suka terpancing membanding-bandingkan “penderitaan”, apalagi kalau isunya sudah sepelik diskriminasi dan marginalisasi.
ADVERTISEMENT
Mungkin itu yang terjadi di sekelompok masyarakat setelah pelakon Tara Basro memasang foto diri di Instagram untuk menunjukkan bahwa setelah melalui masa panjang dikritisi dan mengkritisi, ia akhirnya menerima tubuhnya seutuhnya.
Lekas sekali datang suara-suara yang menolak foto Tara Basro sebagai perwakilan pesan tubuh positif (body positivity) karena badan Tara masih tergolong “ideal” dan konon tidak termarginalkan oleh standar umum kecantikan. Cuma self-love, tampik sebagian orang. Seorang Tara Basro tak butuh membuktikan diri berpandangan positif, sentil lainnya.
Saya tidak punya selembar pun ijazah ilmu psikologi, jadi maafkan bila saya terdengar bodoh di sini. Namun pemahaman saya dari beberapa bacaan, tujuan utama gerakan body positivity adalah penerimaan diri terhadap apa pun bentuk tubuh kita terlepas dari konstruksi sosial yang ada.
ADVERTISEMENT
Apa standar umum kecantikan di Indonesia saat ini? Kulit terang bertengger di tempat teratas. Bila dikerucutkan ke dunia lakon tempat Tara berkiprah, standar itu juga meliputi tubuh “bebas” lemak.
Tara Basro untuk Women on Top. Stylist: Anantama Putra, Makeup: Michael Aji. Pro Artist Estee Lauder, Hairdo: Nik Alex by The Parlour. Busana: Kate Spade. Foto: Norman Fideli
Dalam dunia kerjanya ini Tara mengakui mengalami diskriminasi dan body-shaming karena kulit coklat dan badan yang dianggap kurang kurus. Termarginalisasi saat ditolak “halus” di ruangan casting sebelum sempat mengucapkan dialog apa pun.
Apakah sekarang setelah dikagumi publik dan menang Piala Citra lantas ia pasti bebas diskriminasi dan marginalisasi? Siapa yang jamin walau mungkin Tara tak lagi ditolak saat casting tapi malah disingkirkan lebih awal, saat naskah dikirimkan ke pelakon berkulit lebih terang dan berperut lebih rata? Mengapa tidak mencoba melihat bahwa dalam konteks industri hiburan, salah satu dunia yang paling sempit mendefinisikan keindahan raga, foto Tara adalah pesan tubuh positif yang lugas?
ADVERTISEMENT
Begitu kompleksnya masalah warna kulit ini sampai dalam wawancara Tara mengakui bahwa setelah warna kulitnya diterima, ia malah sempat takut kehilangan tempat kalau kadar kegelapan kulitnya berkurang. Yang artinya Tara merasa cuma pindah dari satu sudut ke sudut lain, tanpa masuk ke arus tengah. Bisa keluar dari jebakan psikologis sudut-sudut kejam ini saja harusnya sudah memvalidasi suara Tara dalam isu tubuh positif.
Lihat saja komentar-komentar awal di unggahan tersebut; bernada positif dan datang dari sesama perempuan pekerja film dan modelling, kalangan yang mafhum realita industri dan bisa membayangkan keberanian yang harus dihimpun Tara untuk sejujur itu.
Lebih menarik lagi adalah komentar dari masyarakat di luar industri hiburan. Hangat, merasa dirangkul, merasa senasib dengan bintang tenar yang dalam konstruksi sosial harusnya bernasib lebih mujur. Dari yang menjawab langsung atau membuat Instagram Story dan diunggah-ulang oleh Tara, beramai-ramai orang menunjukkan tubuhnya yang tak selaras standar kecantikan— mulai dari gadis berpunggung berjerawat, pria muda tambun sampai akun ilustrasi komik. Tanpa mengutip teori-teori rumit, Tara sukses mengajak publik untuk mulai melihat raga dengan lebih positif, dalam nada gembira ketimbang sengit.
Tara Basro. Foto: M. Haikal/kumparan
Segulung lemak bintang layar perak memang tidak akan meruntuhkan pola penghakiman yang lama berakar, namun menafikan perannya dalam percakapan publik sungguh kontra-produktif. Lebih efisien dan efektif bila momentum ini justru digunakan untuk mengenalkan rupa-ragam tubuh yang selama ini terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Bila gerakan body positivity memang masih jauh dari merevolusi sistem, bukankah lebih masuk akal untuk bersikap inklusif ketimbang eksklusif? Mumpung publik secara organik ditarik jendela kecil percakapan ini, bukankah lebih baik memperbesar atau mereplikasi si jendela ketimbang membantingnya karena bukan gerbang besar yang diidealkan? Lebih baik mempertebal jalinan tali pemahaman ketimbang mengurainya?
Apa Winnie Harlow kurang cocok bicara perombakan standar kecantikan karena “sekadar” mengidap vitiligo, sedang posturnya model internasional? Atau, Laverne Cox tak layak bicara marginalisasi komunitas trans karena sudah dipatungkan di Madame Tussauds? Kalau begini caranya, pada suatu hari Lizzie Velasquez pun akan dianggap tidak pantas mengkampanyekan tubuh positif karena mendunia lewat TEDTalk, Youtube dan dokumenter TV.
Dan saat itu, saat mungkin semua virus sudah ditemukan vaksinnya dan jumlah bulan Jupiter sudah sampai 99, kita masih di sini membelah benang ketimbang menjalin tambang, membentengi jendela namun tak kunjung kuat membuka gerbang.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Perempuan Internasional. Sungguh perjuangan kita menerima sesama masih panjang.