news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Yayoi Kusama: Halusinasi & Seni yang Lebih dari Sekadar Wahana Selfie

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2018 4:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
ADVERTISEMENT
Orang sering mengaku tidak memahami seni, yang dianggap terlalu jauh bermain dalam imajinasi. Menariknya, ada karya seni yang cepat menarik minat publik walaupun bersumber dari keliaran imajinasi, atau bahkan halusinasi.
ADVERTISEMENT
Sering dipelesetkan sebagai "halu" dalam percakapan, bahkan saat lebih tepat disebut sebagai "delusi", halusinasi adalah proses panca indra mengalami hal yang sebenarnya tidak ada dan tergantung diagnosa dokter, dapat menjadi pertanda dari beberapa penyakit mental. Terdengar seperti kemalangan? Mungkin tidak, bagi seorang Yayoi Kusama.
Dilahirkan 89 tahun lalu dari keluarga mapan di Jepang, Yayoi mengalami halusinasi sejak pra-remaja. Mulai dari melihat berbagai warna sinar dan bintik-bintik, lalu berkembang menjadi pola geometris dan bunga yang berbicara.
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
Mengakrabi seni sedari kecil, halusinasi ini mulai menginspirasi karyanya. Merasa tercekik oleh kakunya budaya Jepang, Yayoi pindah ke Amerika Serikat pada akhir 1950-an, di mana halusinasinya makin bebas mewarnai proses kreatifnya.
Yayoi ambil bagian dalam gerakan seni avant-garde yang mengedepankan kebebasan, kesederajatan, dan anti-Perang Vietnam. Karya-karyanya yang bergaris tegas, penuh warna, kadang diimbuhi kebugilan, makin diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Jepang pada awal 1970-an, Yayoi sempat berkiprah dalam kesusasteraan sebelum memutuskan untuk hidup dalam sebuah sanatorium. Layaknya orang yang ke luar rumah menuju kantor, sejak 1977 Yayoi meninggalkan sanatorium tiap hari menuju studionya untuk bekerja. Dan karyanya makin digilai.
Apa saja buah karyanya? Lukisan, patung, video, dan instalasi seni yang menghiasi banyak museum terkemuka dan rumah kolektor seni terpandang termasuk di Indonesia. Patung labu raksasa dengan motif polkadot hitam-kuning menghiasi Gandaria City sejak awal, walau banyak pengunjung tidak mengenalinya sebagai salah satu karya khas Yayoi.
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
Tahun 2012, kolaborasi terbatasnya diluncurkan oleh Louis Vuitton, walau konon tidak terlalu digemari pasar Indonesia karena tidak menonjolkan logo LV dalam desainnya.
ADVERTISEMENT
Tahun 2016, Museum Madame Tussaud Hong Kong menampilkan The Infinity Room, instalasi khas Yayoi yang menggunakan cermin dan polkadot untuk menciptakan ilusi kesinambungan, tidak jauh dari patung lilin Soekarno dan Obama.
Namun secara umum Yayoi Kusama makin dikenal publik Indonesia. Tahun lalu pameran tunggalnya di National Gallery Singapore diliput media Indonesia dan dikunjungi banyak turis Indonesia yang perlahan mulai hijrah dari pusat perbelanjaan ke pusat kebudayaan.
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
Kepopuleran ini pula yang mungkin menjadikan polkadot khas Yayoi Kusama, yang ia sebut "jaring tanpa batas", sebagai salah satu sasaran jiplak Rabbittown di Bandung--dianggap Instagrammable dan dijadikan wahana selfie, tanpa memberi pengakuan apalagi edukasi seni.
Penikmat seni Indonesia bisa bergembira, karena minggu ini, untuk pertama kalinya, karya-karya asli Yayoi Kusama bisa diakses di Tanah Air. Digelar oleh The Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN), museum pribadi di Jakarta Barat yang dibuka untuk umum sejak November lalu, 130 karya-karya monumental Yayoi disebar dalam dua lantai luas.
ADVERTISEMENT
Bertajuk "Life is the Heart of A Rainbow", sebagian telah dipamerkan di Singapura dan Brisbane, namun ditambahi beberapa karya milik kolektor Indonesia dan Museum MACAN sendiri (pengunjung setia Museum MACAN pasti ingat dua instalasi yang pernah dipamerkan).
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
zoom-in-whitePerbesar
Museum MACAN x Yayoi Kusama (Foto: Dok. Museum MACAN)
Menarikkah? Sangat. Bukan semata karena warna dan bentuknya yang indah sebagai latar foto, tapi karena rasa yang tercipta saat menatap atau memasuki instalasinya.
Selami lukisan diri yang demikian abstrak, atau pahatan Venus de Milo yang justru akurat. Nikmati bintik berangsur berubah dari percikan persegi, oval berkaki bak benih manusia, sampai bulat sempurna. Lupakan sekeliling, biarkan warna, suara, dan komposisi karya menggelitik sensasi Anda.
Berfoto atau selfie tidak haram, namun luangkan dulu waktu untuk membaca caption di samping karya. Sempatkan untuk menonton utuh video nyanyian Yayoi Kusama di ujung lantai pertama untuk memahami keliaran jenius yang menghasilkan karya seikonik ini.
Menempel stiker di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menempel stiker di Museum MACAN (Foto: Bella Cynthia Ratnasari/kumparan)
Cherry on the top? Lantai kedua, lokasi The Obliteration Room, instalasi yang dimaksudkan sebagai pemusnahan batasan. Bukan hanya luasnya, namun juga berbagai benda khas Indonesia seperti kaleng kerupuk, tampah dan wayang kulit yang mengisinya.
ADVERTISEMENT
Dari pemirsa, pengunjung dialihkan menjadi pelaku. Bebaskan imajinasi, dan gunakan stiker-stiker polkadot itu untuk meninggalkan jejak pribadi dalam karya yang Yayoi Kusama undang Anda untuk berbagi. Mungkin itu halusinasi, boleh tidak diartikan sebagai seni, tapi makin jelas bahwa ini lebih dari sekadar wahana selfie.