Berbeda atau Bersatu?

Lyra Puspa
President Vanaya Coaching Institute. Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology Canterbury University, UK.
Konten dari Pengguna
3 Juni 2017 11:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyra Puspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Patung tugu Pancasila (Foto: Flickr)
Ramadhan bulan mulia. Jika konon Indonesia masih dihuni 80 persen umat muslim, maka perhitungan sederhananya masih ada 80 persen warga Indonesia yang memuliakan Ramadhan. Mulia bermakna derajat yang tinggi. Maka bulan ini seharusnya adalah masa ketika kita berlomba-lomba meningkatkan derajat di mata Tuhan YME. Kalau masih percaya Tuhan itu ada.
ADVERTISEMENT
Kemuliaan diri terpancar dari seluruh perbuatan kita. Termasuk ungkapan kata di media sosial.
Menyimak banyak status dan percakapan dunia maya sekarang sepertinya kemuliaan ini masih menjadi tanda tanya. Perang kata masih terjadi, belum lelah mempersoalkan perbedaan.
Saya pernah menulis dengan tajuk : "Bhinneka atau Tunggal Ika?" karena jangan-jangan kita lebih rajin mengedepankan kata "Bhinneka", tapi lupa bahwa ujungnya ada "Tunggal Ika".
Kalau hanya sekadar berbeda, untuk apa?
Negara ada karena kesepakatan. Bangsa ada karena punya kehendak untuk bersama. Bahwa ada yang berbeda ya jelas saja. Kalau kita persis sama, justru kehendak bersatu dan kesepakatan itu tidak perlu ada.
Kita merayakan Pekan Pancasila. Tapi kita lupa bahwa kata "perbedaan" atau "berbeda" tidak ada di dalam seluruh sila Pancasila. Yang ada:
ADVERTISEMENT
Ketuhanan. Kemanusiaan. Beradab. Persatuan. Kerakyatan. Permusyawaratan. Keadilan.
Jadi di mana perbedaan? Di mana kekuasaan? Di mana kemenangan? Di mana kekayaan? Di mana kejayaan?
Pancasila adalah sosialisme dan nasionalisme berlandaskan keyakinan pada Tuhan. Tapi sepertinya bangsa kita semakin melebar deviasinya dari makna terdalam Pancasila.
Ketika kita menyatakan #SayaPancasila, masihkah kata-kata kita di media sosial lebih banyak klaim kebenaran dan saling menyalahkan, dan bukan saling menyatukan?
Ketika kita menyatakan #SayaPancasila, sadarkah bahwa saat GDP kita meningkat justru Gini Index kita semakin tinggi alias ketimpangan sosial bangsa semakin melebar?
Ketika kita menyatakan #SayaPancasila, sadarkah bahwa pembangunan bangsa bukan hanya ekonomi semata, tapi juga karakter, jiwa, dan martabat mulia?
Jangan-jangan musuh terbesar Pancasila bukan ideologi tertentu, bukan lawan politik, bukan suatu negara, tapi semata ego diri kita. Ego menolak saling mengalah dan menahan diri agar bersatu, demi pengakuan bahwa kita berbeda.
ADVERTISEMENT
Kalau hanya sekedar berbeda, untuk apa?
#RamadhanKareem #SemogaIndonesiaTerusAda