news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Coaching Reflection: Kekinian Kemiskinan

Lyra Puspa
President Vanaya Coaching Institute. Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology Canterbury University, UK.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2017 15:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyra Puspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Coaching reflection adalah berisi opini dan refleksi seorang coach atas kejadian keseharian dari beragam fenomena.
Potret pengemis kreatif (Foto: Media Equalizer)
Di suatu sudut kota Boston, musim gugur 2016 lalu, seorang pengemis membuat saya terkejut. Bukan karena penampilannya, karena penampilannya ya standar pengemis biasa. Bukan juga karena kaget semakin banyak orang miskin di AS, karena di London, Lisbon, Paris, Roma, Barcelona, dan berbagai kota belahan Barat lainnya kemiskinan memang semakin bertambah nyata.
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah bagaimana sang pengemis ini mengekspresikan dirinya dalam menjual kemiskinannya.
Saat itu, tengah putaran terakhir debat kandidat presiden dalam Pilpres AS. Di tangannya, terangkat sebuah karton kardus bekas besar bertuliskan:
"Give Me One Dollar or I am Voting Trump."
Saya tertawa padanya. Dan dia tertawa balik.
"Narasi yang cerdas," pikir saya. Betapa satir digunakan untuk memunculkan humor politik tingkat tinggi dalam meminta-minta.
Saya mendekat sambil bertanya, "I will give you two dollars if you can show me the same statement about Hillary."
Surprise, dia juga punya!
"Give Me One Dollar or I am Voting Hillary."
Dan lembaran 2 dolar pun berpindah ke tangannya. Sang pengemis tertawa lebar ketika saya meminta dia berpose (lengkap dengan gaya menderita) memegang kedua tulisan kocak itu pada foto yang menyertai tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Ini betul-betul potret kekinian dari kemiskinan.
Mulut saya tertawa, tetapi hati saya prihatin. Mengapa? Paradoks begitu nyata.
Kreativitas berekspresi penting dalam mengemis (Foto: Dok. Lyra Puspa)
Di AS, para pengemis ini miskin tapi tidak buta politik. Mereka miskin tapi tidak lupa berhumor. Mereka miskin, tapi mampu menyindir negara di tingkat satir kritis. Mereka miskin, tapi mampu menciptakan copywriting berbobot untuk meminta-minta dengan konten aktual kekinian. Mereka miskin, tapi tidak bodoh.
Di Indonesia, para pedagang asongan, apalagi pengemis kita, entah berapa banyak yang melek humor politik seperti itu. Jangankan menyusun copywriting, menulis saja mungkin tidak bisa.
Lha, kok, sibuk menyoroti saudara-saudara yang dhuafa. Kita yang kelas menengah ini saja masih terbawa emosi pro-kontra kok. Kita para jamaah facebookiyah ini saja masih penuh temperamen tinggi saling menyerang status yang berlawanan. Padahal katanya kita berpendidikan.
ADVERTISEMENT
Ternyata kemiskinan ternyata belum tentu berbanding lurus dengan kemampuan berpikir. Ternyata menjadi sarjana juga belum tentu membuat kita dewasa dalam berkata.
Tumpukan gelar kita sepertinya masih belum mampu membuat kita sanggup dikritisi dan mengkritisi tanpa membawa sakit hati. Sekolah kita tampaknya belum cukup kuat untuk membentuk kita menjadi bangsa yang mampu mentertawakan diri sendiri.
Sedikit-sedikit emosi. Sedikit-sedikit maki-maki. Sedikit-sedikit tangkap. Sedikit-sedikit ribut. Sedikit-sedikit bawa ayat. Sedikit-sedikit menuduh anti Pancasila.
Mana tertawa kita? Mana rasa humor kita?
Bukankah pendidikan sepantasnya menjadikan kita mampu dewasa? Dan bukankah kedewasaan yang hakiki salah satunya adalah kemampuan mentertawakan diri sendiri?
Sekolah dan pendidikan memang beda.
Jadi, siapa yang lebih kurang piknik sebenarnya : kita, atau sang pengemis di sudut Boston sana?
ADVERTISEMENT
**Penulis adalah Master Brain-based Coach Asia