Nurturing Izzah Digital Bangsa

Lyra Puspa
President Vanaya Coaching Institute. Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology Canterbury University, UK.
Konten dari Pengguna
10 Februari 2018 19:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyra Puspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Digital Disruption (Foto: macquarie.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Digital Disruption (Foto: macquarie.com)
ADVERTISEMENT
Jikalau China menjadi digdaya memenangi pertempuran industri dan pasar global di era digital nan disruptif ini, itu bukan sihir semalam ala kisah Roro Jonggrang.
ADVERTISEMENT
China menyadari betul akan makna dua hal : "Nature" dan "Nurture". Nature, berbekal kekayaan sumberdaya manusia yang terlatih dan beretos kerja tinggi. Nurture, membangun infrastruktur dan berbagai kebijakan yang mendorong industrinya untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan raksasa dunia.
Membaca sinyal China, sebagai seorang coach saya otomatis bertanya. Pertanyaan untuk kita bangsa Indonesia adalah:
What is our nature? And What is our nurture?
Jangan-jangan kita justru terlalu banyak menerima anugerah nature, sehingga lupa bersyukur untuk fokus pada nurture. Kita kadang suka lupa bahwa bangsa kita kaya.
Dulu kita belajar dari Barat, bukan berarti kita harus jadi kebarat-baratan. Kini kita harus belajar dari China, bukan berarti kita harus kechina-chinaan. Digitalisasi adalah keniscayaan perkembangan teknologi. Globalisasi juga adalah keniscayaan nafsu ekspansi perdagangan dunia.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya, Apa bentuk globalisasi dan digitalisasi ala Indonesia?
China sudah menemukan jawabannya, dengan melakukan nurture yang bertumpu pada nature-nya. Kita? Sesungguhnya kita sudah begitu kaya.
Bukan hanya kekayaan alam yang tiada tara di darat, laut, dan udara. Pun kekayaan kreativitas bangsa dengan aneka ragam budayanya. Maka, bukankah ini tumpukan bekal surgawi bagi bangsa ini untuk menjadi pemimpin digitalisasi industri agro, maritim, dirgantara, kreatif, dan pariwisata?
Tapi kita memang sering lupa, karena lebih suka berpikir instan. Lalu mau cepat kaya, malas berpikir panjang, dan memilih ikut-ikutan. Kita sudah dikaruniai kerukunan dan keguyuban warisan nenek moyang sejak dahulu kala. Lantas ketika digitalisasi datang mengapa justru kita sibuk menghujat dan terpecah belah?
ADVERTISEMENT
Kita memiliki Pancasila yang memuat adab dan nilai-nilai keTuhanan. Lantas, mengapa arus digitalisasi justru membuat anak-anak kita terpapar adiksi digital yang menjerat dan menyesatkan?
Seyogyanya digital menyatukan. Bukan memisahkan. Membangkitkan kesadaran. Bukan melenakan.
Sungguh, kalau ada satu nurture yang paling penting dan daruat kita lakukan saat ini, jangan-jangan harus dimulai dengan me-nurture kesadaran diri kita, pada pelaku digital, akan kebanggaan dan izzah sebagai bangsa.
Karena kalau tidak, untuk apa bangsa sebesar Indonesia perlu ada?
Wallahu'alam bishshawwab.
*Penulis adalah Sekjen Asosiasi Tech Startup Indonesia (ATSINDO), Dewan Pembina Asosiasi Digital Enterpreneur Indonesia (ADEI), dan Dewan Pakar Himpunan Alumni IPB.
#selfcoachingseries
#coachingfordignity
#izzahbangsa