Menjadi Penonton di Masa Krisis

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Penonton, Sumber: Choose.co.uk
Sudah 2 bulan lebih sejak pemberitaan COVID-19 di Indonesia membuat masyarakat berada dalam ancaman krisis yang amat serius. Mulai dari krisis ekonomi sampai krisis mental sedang menghantui masyarakat indonesia bahkan dunia, Bukan saja krisis ditengah pandemi seperti ini, melainkan krisis-krisis yang akan kita hadapi kedepannya. Dan dengan hanya menjadi penonton tidaklah membuat saya, anda dan kita semua terlepas dari krisis seperti ini.
ADVERTISEMENT
Menjadi penonton dimasa pandemi sekarang bukanlah tanpa alasan. Dengan menjadi penonton kita paling tidak sudah memotong penyebaran virus dengan melakukan segala aktivitas dirumah Bagi yang mampu akan hal itu, karena tidak semua orang bisa berdiam diri melakukan aktivitasnya dirumah saja, ada ‘buah simalakama’ yang siap termakan bila mereka hanya berdiam sembari menggaungkan hastag #dirumahaja.
Tetapi, banyak orang diluar sana seakan resah hanya menjadi penonton saja di masa-masa seperti ini. Rasa iba dan simpati dari masyarakat mencuat kepermukaan. berbagai cara mereka lakukan dan mungkin sebagian dari kita melakukannya, mulai dari ikut berdonasi, menjadi relawan, sampai turut serta menjadi bagian dari pencegahan virus ini.
Hal tersebut umumnya terjadi karena adanya persamaan paradigma di masyarakat terkait pandemi COVID-19. Masyarakat beranggapan kiranya COVID-19 ini bukan sekedar persoalan individu, melainkan persoalan bersama, sehingga harus dihadapi bersama pula. Asumsi tersebut tercermin dalam masifnya gerakan solidaritas sosial yang terus akan tumbuh secara inovatif merespons kebutuhan masyarakat yang terdampak COVID-19.
Salah satu poster aksi solidaritas ditengah ketidakpastian kebijakan kala itu. Sumber: Facebook WALHI Jawa Timur
Tapi, bukankah menyenangkan hanya sekedar menjadi penonton saja? Ya, jawabannya. Menjadi penonton memanglah menyenangkan, selagi tidak repot dan mengeluarkan biaya, juga resiko terpapar COVID-19 rendah. Sepatutnya kita para 'Penonton' tidak sampai perlu untuk turun tangan dalam masalah ini. Di masa krisis sedimikian rupa dan apapun bentuknya, ada peran pemerintah yang menjadi garda terdepan dalam hal ini. Sudah menjadi tugas dan fungsi pokok negara dalam melindungi para rakyat di masa sekarang ini. tetapi, kadang rasa empati dan simpati manusia akan muncul dalam situasi semacam ini dan hal seperti ini membuat ‘Menjadi Penonton’ berubah ‘Menjadi Penolong’.
ADVERTISEMENT
Jadi, judul tulisan ini kiranya diubah saja? Tidak, jawabannya. Sekedar 'Menjadi Penonton' bukanlah sesuatu yang salah tetapi juga tidak boleh dibenarkan dalam rangkaian kehidupan bermasyarakat. Sulit rasanya 'Menjadi penonton' di tengah masyarakat yang sudah terjalin erat solidaritasnya sedari dulu, apa lagi masyarakat indonesia terkenal dengan modal sosialnya kuat. Pernyataan tadi bukan bualan semata, terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh World Giving Index 2018, yang disusun lembaga amal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF) yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling dermawan di dunia.
Aksi solidaritas yang terbangun dimasyarakat akhir-akhir ini membuat beberapa kalangan optimis badai COVID-19 ini akan berlalu. Namun, kenyataan hari ini malah berbanding terbalik dengan apa yang kita harapkan. Pelonggaran PSBB dibeberapa wilayah, wacana New Normal yang bergulir dimasyarakat, pembukaan pusat-pusat kegiatan perniagaan, dsb. Keseluruhan kegiatan tersebut dilaksanakan dalam waktu dekat tanpa mengindahkan lagi curva yang seharusnya turun terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sepenuhnya tidak disalahkan dalam keriuhan saat ini. Modal sosial yang terbangun tidaklah cukup menahan ego masing-masing manusia. Mengutip dari Adger (2003) menyebutkan bahwa modal sosial berkaitan dengan kapasitas adaptif masyarakat sebagai respons dari adanya perubahan dalam lingkungan hidupnya. Masyarakat merespons perubahan secara variatif, tapi mereka berusaha untuk beradaptasi sebagai sebuah strategi untuk bertahan hidup. Masyarakat tidak bisa hanya 'Menjadi Penonton' dalam jangka waktu yang lama, ada kebutuhan yang mereka perlu penuhi, mereka harus bisa survive dalam masa krisis seperti ini.
Sumber : Kumparan.com
Krisis yang ada di depan mata, akan lebih buas dari yang kita kira. Mulai dari Krisis pangan, iklim, moralitas, dll. Keseluruhannya akan dianggap sebagai berita sehari-hari atau topik seminar oleh beberapa kalangan yang acuh. Tapi kiranya krisis yang kita alami seperti sekarang merupakan cerminan bencana global yang mungkin saja kita sering saksikan di layar kaca, sebatas fiksi ilmiah saja. Ancaman krisis adalah kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan. Sudah banyak prediksi ilmuwan, perhitungan secara matematis dan saintis, bahkan tafsir kitab suci tentang marabahaya yang akan menjumpai setiap insan manusia di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Tapi apakah masyarakat Indonesia sudah siap ‘Menjadi Penolong’ bagi krisis-krisis yang akan datang dikemudian hari? Atau malah ‘Menjadi Penonton’ merupakan pilihan yang mereka ambil nantinya? Jawaban pertanyaan seperti ini bergantung pada apa yang masyarakat kita lakukan dan sampai kapan bertahan di masa seperti ini. Hal tersebut memberikan prediksi kasar apakah ketika ada krisis di masyatakat dapat menumbuhkan harapan agar bisa survive atau malah sebaliknya, kehancuran didepan mata siap menanti.
Menakar sejauh mana kolektivitas dan solidaritas masyarakat Indonesia diwaktu yang akan datang merupakan hal yang cukup sulit, karena kesimpulan sementara yang kita amini bersama atas timbulnya kekompakan bersama ini adalah efek dari lamban dan gagapnya pemerintah saat ini dalam mengahadpi krisis. timbulnya gerakan seperti #Rakyatbanturakyat, merefleksikan kekecewaan masyarakat yang merasa terabaikan oleh pemerintah. Hipotesa yang mengatakan semakin tinggi solidaritas masyarakat dalam menghadapi situasi pelik maka peran negara dapat dikatakan lemah, ada benarnya dikemudian hari.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara kasus pandemi seperti ini, kita kembali mempertanyakan peran negara. Apakah negara sudah hadir disetiap lorong rumah warga? Ataukah hanya duduk, dibelakang meja mengontrol semuanya melalui perangkat elektronik tanpa melihat fakta yang terjadi dimasyarakat luas. Miskomunikasi dan tidak kompaknya pemerintah saat ini membuat solidaritas di masyarakat menjadi semakin kuat. Jangan sampai ‘Menjadi Penonton’ adalah mereka yang sepatutnya ‘Menjadi Penolong’ di masa-masa krisis seperti ini.