Cegah Peningkatan Emisi Karbon dengan Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab

M Bijaksana Junerosano
Founder dan Managing Director Waste4Change
Konten dari Pengguna
6 Mei 2021 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Bijaksana Junerosano tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: M. Imran, Waste4Change
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: M. Imran, Waste4Change

Benarkah Pandemi Mengurangi Emisi CO2 Secara Signifikan?

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat dunia untuk tinggal di rumah dan membatasi pergerakan di luar selama tahun 2020 telah mendorong penurunan emisi karbondioksida (CO2) terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Menurut studi dari Global Carbon Budget 2020 yang disusun oleh Pierre Friedlingstein et al., emisi karbon di tahun 2020 turun sekitar 7 persen atau sebanyak 2,4 miliar ton.
ADVERTISEMENT
Tren serupa juga diungkapkan oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) dalam penelitian yang diterbitkan pada 19 Mei 2020 di Nature Climate Change. Penelitian tersebut mencatat penurunan emisi karbondioksida hingga 17 persen di bulan April 2020 jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain itu menurut CREA, di Indonesia sendiri penurunan emisi maksimum mencapai 18,2 persen. Adanya penurunan emisi ini tidak serta merta menyebabkan bumi terbebas dari ancaman krisis iklim. Pasalnya, untuk bisa memenuhi tuntutan Perjanjian Iklim Paris, dunia perlu memangkas dua miliar ton emisi setiap tahunnya selama satu dekade ke depan.

Penanganan Krisis Iklim Kian Kompleks Pasca Pandemi

Pandemi COVID-19 dianggap memberikan dampak positif pada kondisi lingkungan secara global, terlihat dari adanya penurunan tingkat emisi dan juga polusi di kota-kota besar akibat penerapan isolasi wilayah dan pembatasan kegiatan dan mobilitas masyarakat. Namun demikian, faktanya permasalahan lingkungan tetap terjadi dan bahkan menjadi lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari BBC.com pada 8 Juni 2020, beberapa negara seperti Brasil, Kolombia, Venezuela, dan Madagaskar melaporkan adanya peningkatan kasus perambahan hutan ilegal selama pandemi. Presiden eksekutif Conservation International Sebastian Troeng mengungkapkan tren ini bisa terjadi karena dua hal, yang pertama akibat karantina wilayah dan menurunnya pengawasan hutan dan jumlah petugas pemerintah, serta kondisi ekonomi masyarakat daerah pedesaan yang memaksa mereka untuk merambah hutan.
Tidak hanya perambahan hutan, pembangunan global pasca pandemi yang diperkirakan akan memprioritaskan pemulihan sektor ekonomi, memunculkan kekhawatiran bahwa upaya pemulihan ekonomi akan menghidupkan kembali sektor-sektor industri ekstraktif secara masif dan agresif. Hal ini tentu berpotensi memicu kerusakan lingkungan yang lebih luas dan menyebabkan lonjakan emisi karbon secara signifikan. Kondisi ini membuat upaya penurunan emisi yang telah dilakukan sebelumnya menjadi sia-sia.
ADVERTISEMENT

Darurat Pengelolaan Sampah Saat Pandemi COVID-19

Selain perambahan hutan dan potensi eksploitasi lingkungan secara besar-besaran sebagai upaya pemulihan sektor ekonomi pasca pandemi, permasalahan lingkungan lain yang juga muncul adalah penanganan sampah. Isu persampahan seringkali tidak tersentuh, padahal timbulan sampah yang tidak terkelola dan menumpuk akan menghasilkan gas rumah kaca yang mempengaruhi laju lonjakan emisi karbon dan memicu pemanasan global.
Hasil survei online yang dilakukan oleh LIPI pada April-Mei 2020 di wilayah Jabodetabek menunjukkan bahwa, sebelum implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia, terdapat 32,9 persen sampah yang didaur ulang (recycle), 50,9 persen sampah yang dimanfaatkan ulang (reuse), dan 44,8 persen sampah yang dibuang tanpa dipilah.
Pasca implementasi PSBB, angka sampah daur ulang di Jabodetabek mengalami penurunan menjadi 31.6 persen, sampah yang dimanfaatkan (reuse) juga berkurang menjadi 46,2 persen, dan sampah yang dibuang tanpa dipilah mengalami peningkatan signifikan menjadi 50,0 persen. Hasil survei ini menunjukkan bahwa pandemi membuat orang lebih enggan memilah sampah dan berdampak pada penurunan jumlah sampah yang bisa didaur ulang dan dimanfaatkan ulang.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, studi LIPI juga menyebutkan jumlah timbulan sampah medis (masker dan APD) di Indonesia selama periode Maret sampai September 2020 yang diperkirakan mencapai 1.662,75 ton. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan karena limbah medis merupakan limbah infeksius yang memerlukan penanganan khusus agar tidak menjadi sumber penyebaran penyakit dan pencemaran lingkungan.
Timbulan sampah medis akibat pandemi COVID-19 yang tidak terkelola dengan bijak tidak hanya berbahaya untuk lingkungan, tetapi juga manusia, terutama kelompok rentan seperti pemulung dan petugas persampahan.
Di Indonesia, pekerja pengelola sampah diperkirakan berjumlah sekitar 300.000 orang, sedangkan jumlah pemulung mencapai dua kali lipatnya, yaitu sekitar 600,000 orang. Artinya, ada sekitar 1,8 hingga 2,4 juta keluarga pemulung sampah yang memiliki risiko tinggi terpapar virus COVID-19.
ADVERTISEMENT

Tantangan Implementasi Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab di Indonesia

Kondisi darurat pengelolaan sampah di kala pandemi COVID-19 diperparah oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah mereka secara bertanggung jawab, khususnya sampah rumah tangga. Padahal, salah satu faktor kunci dalam pengelolaan sampah adalah pemilahan dari sumber. Nyatanya, sampah-sampah masih banyak yang bercampur sehingga sulit untuk didaur ulang.
Selain itu, biaya pengelolaan sampah di Indonesia umumnya masih rendah dan tidak berbasis pada volume sampah yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan produksi sampah yang tidak terkendali. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan biaya sampah berbasis volume seperti yang telah diterapkan oleh masyarakat di beberapa negara maju seperti Korea untuk mengurangi produksi sampah baik di sektor rumah tangga maupun industri.
ADVERTISEMENT

Aksi dan Kolaborasi dalam Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab di Indonesia

Lantas apa yang harus dilakukan? Secara mendasar, diperlukan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dari skala kecil hingga skala besar. Untuk skala kecil seperti di tingkat rumah tangga, pengelolaan sampah bisa dimulai dari pemilahan sampah dari sumber, mengompos sampah organik di rumah, kerja sama dengan bank sampah, hingga pengelolaan sampah minyak jelantah.
Sedangkan untuk pengelolaan sampah skala besar, para pelaku industri bisa memanfaatkan jasa-jasa perusahaan pengelolaan sampah bertanggung jawab serta turut aktif melaksanakan program edukasi masyarakat mengenai pentingnya mengelola sampah secara bijak.
Solusi-solusi tersebut tentunya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, pelaku industri, organisasi-organisasi terkait, dan media yang juga berperan penting dalam proses edukasi masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan sampah secara bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kolaborasi semua pihak, permasalahan persampahan akan lebih mudah ditangani dengan segera. Penerapan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab mulai dari tingkat rumah tangga hingga tingkat industri dapat membantu mencegah peningkatan emisi karbon dan turut mengakselerasi kemajuan ekonomi sirkuler pasca pandemi.