Sulitnya Memilih Cawapres Jokowi

Konten dari Pengguna
21 April 2018 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Najib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Walau batas akhir pendaftaran pasangan capres-cawapres untuk Pemilu 2019 masih lama (lebih dari tiga bulan), akan tetapi serunya persaingan di antara capres maupun cawapres sudah terasa.
ADVERTISEMENT
Jokowi sebagai capres petahana yang sudah mengantongi tiket untuk maju, tentu memiliki magnet paling kuat dibanding calon penantangnya yang belum jelas, di samping belum memiliki kepastian untuk mendapatkan tiket.
Mendukung petahana bagi partai-partai politik jauh lebih aman, dan lebih nyaman. Jaminan dukungan logistik, dukungan aparatur negara, ditambah dukungan media utama, serta elektabilitas Jokowi masih tertinggi berdasarkan sejumlah survei dibanding kandidat lain. Meskipun demikian, posisinya masih belum aman.
Alasan-alasan inilah yang menyebabkan Nasdem, Hanura, PKB, PPP, Golkar, dan PDI Perjuangan kini berada di sisi petahana. Mungkin saja ada alasan lain bagi tiap-tiap partai untuk merapat ke Istana yang bisa saja ditambahkan.
Banyaknya partai yang sejak dini mendukung Jokowi untuk maju yang kedua kalinya, mengakibatkan sulitnya memilih calon wakil presiden yang ideal. Yang dimaksud ideal di sini adalah cawapres yang memiliki basis berbeda dari Jokowi. Jika Jokowi berasal dari basis Nasionalis Sekuler, maka idealnya cawapresnya berasal dari basis Nasionalis Religius.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat, kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu tidak bisa dilepaskan dari figur Yusuf Kalla (JK) yang diterima oleh kelompok NU, Muhammadiyah, dan HMI. Figur JK waktu itu yang berperan meredam isu PKI yang cukup merepotkan. Kini isunya bertambah lagi seperti pro China, dan anti-Islam.
Pada saat bersamaan gelombang populisme yang dipicu, dan dipacu oleh masifnya penggunaan media sosial yang mengakibatkan besarnya pengaruh isu SARA dalam Pilpres mendatang. Karena itu, masalah ini tidak boleh dianggap enteng.
Setidaknya, aspirasi kelompok NU, Muhammadiyah, dan HMI perlu diakomodir, mengingat bukan saja mereka besar dalam jumlah, akan tetapi juga punya organisasi, dan networking yang rapi yang dapat digerakkan dengan efektif.
Lalu bagaimana Jokowi seharusnya memilih JK baru atau JK junior yang akan menolongnya meraih kemenangan?
ADVERTISEMENT
Ada tiga hal yang tidak boleh dilakukan: Pertama jangan memilih cawapres dari partai pendukung. Sampai kini PKB, PPP, Golkar, dan Hanura sudah menyodorkan nama untuk dipinang sebagai cawapres, meskipun PDI Perjuangan, dan Nasdem belum berbicara ke publik terkait masalah ini, bukan berarti mereka tidak menyiapkan.
Saling kritik di antara partai pendukung jagonya masing-masing sudah muncul ke publik, dan semakin lama akan semakin keras. Jika Jokowi memilih satu di antaranya, maka dapat menimbulkan kekecewaan bahkan luka yang dalam bagi mereka yang tidak dipilih.
Kedua, jangan memilih cawapres dari kelompok yang sama, karena hal ini tidak akan memberikan konstribusi suara tambahan. Perlu disadari bahwa Jokowi dipandang berasal dari kelompok Nasionalis Sekuler, karena itu ia harus memilih cawapres yang berasal dari kalangan Nasionalis Religius.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain pasangannya harus berasal dari komunitas santri mengingat Jokowi berasal dari kelompok 'abangan' jika menggunakan istilah antropologi yang dikenalkan oleh Clifford Geertz. Lebih ideal lagi sang cawapres berasal dari luar Jawa, mengingat Jokowi sendiri sudah mewakili Jawa.
Ketiga, jangan buru-buru menetapkan pasangan. Jika terlalu dini diputuskan, hal ini akan memiliki dua resiko. Resiko pertama, partai-partai yang kini sudah berada di sisinya, bisa balik badan karena kecewa. Resiko kedua, calon lawannya akan mengubah strategi dengan cara mengubah pasangan capres, dan cawapresnya.
Hal inilah yang sejatinya terjadi di DKI Jakarta. Sandiaga Uno yang semula dipersiapkan menjadi cagub oleh Gerindra, pada detik-detik terakhir ditarik menjadi cawagub, sementara Anies Baswedan didorong sebagai cagubnya. Apa yang terjadi pada Pilgub di DKI Jakarta, bisa saja terulang pada Pilpres mendatang.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada kalkulasi politik di atas, maka suasana saling menunggu tidak terhindarkan. Hal ini akan mengakibatkan lambannya keputusan capres-cawapres hingga di hari-hari atau bahkan menit-menit terakhir batas pendaftaran. Karena itu, publik harus bersabar menanti sampai awal Agustus mendatang.