Sensasi dan Persepsi Masyarakat Indonesia Mendekati Pesta Demokrasi 2024

M RAYNOR RAZZAN
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 6:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M RAYNOR RAZZAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : Freepik.com
ADVERTISEMENT
Halo sobat kumparan! Kita semua tahu bahwa kita akan menuju ajang demokrasi pada tahun 2024. Pernyataan penting ini dapat menentukan arah berbangsa dan bernegara dalam lima tahun ke depan. Bagaimana jika persepsi manusia sedang dipermainkan sekarang? Tentu saja, bukan itu yang direncanakan. Dan hingga saat ini semakin banyak informasi yang beredar yang dapat mengubah masyarakat menjadi ranah politik pragmatis atau bahkan terpolarisasi dalam pemilihan pemimpin di pesta demokrasi 2024. Menanggapi fenomena yang berbeda tersebut, penulis tertarik dan mencoba mengkajinya dari segi psikologis
ADVERTISEMENT
Gambaran Umum
Masyarakat pastinya juga memiliki perbedaan pilihan terhadap kandidat pemimpin yang akan berkontestasi dalam pesta demokrasi 2024 dengan alasan yang berbeda-beda, namun nilai yang dibawa tiap kandidat pemimpin yang akan berkontestasi juga berbeda,benar begitu bukan? Nah sobat, tanpa kita sadari nilai itu menjadi dasar memutuskan berbagai sesuatu berdasarkan kemungkinan akibat nilai yang dipercaya. Juga dibutuhkan kesadaran untuk mempertimbangkan nilai dengan nilai yang lain, yang dampaknya bisa bertentangan dengan nilai yang dipercaya. Nah, nilai itu pula sobat yang akan menyebabkan polarisasi dalam pesta demokrasi 2024. Contohnya, jika nilai yang dibawa oleh kandidat pemimpin berinisial Z memiliki dampak baik untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah sedangkan nilai yang dibawa oleh kandidat pemimpin berinisial Y berdampak sebaliknya maka nilai tersebut akan memasuki kesadaran dan akan dipertimbangkan. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik sobat, jika ada intoleransi penilaian oleh orang lain dalam mempertimbangkan nilai yang dibawa oleh kandidat masing-masing pemimpin.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana sensasi dan persepsi nanti ketika berlangsungnya pesta demokrasi 2024?
Nah, seperti yang kita tahu banyak sekali sensasi yang dapat kita tangkap, seperti audio, visual maupun audio-visual dari kegiatan kandidat pemimpin yang akan maju nanti di Pesta Demokrasi 2024. Contohnya, ada seorang kandidat pemimpin berinisial Z mendekati tokoh pemuka agama atau melebur dengan masyarakat di pasar. Dari contoh yang disebutkan tadi sobat, maka pastinya kita akan menangkap sensasi pemandangan tersebut dengan mata kita dan mempersepsikan sebagai “kandidat pemimpin berinisial Z adalah contoh seorang pemimpin yang baik”. Hasil persepsi kita tentang kandidat pemimpin berinisial Z tadi, dapat ditarik ke Prinsip Gestalt yakni prinsip kedekatan (proximity). Lebih dalam lagi, prinsip kedekatan itu lebih condong mengelompokkan sesuatu yang berdekatan. Contoh lain, jika ada kandidat pemimpin berinisial Y dia memaparkan visi dan misi nya, tetapi di lain tempat dan waktu kader dari partainya sendiri melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan visi misi nya. Dari contoh ini sobat, otak manusia akan memulai kecenderungan untuk menutupi kesempurnaan, hal ini disebut dengan prinsip ketertutupan. Dalam konteks yang lebih luas, publik akan melihat dengan persepsi bahwa visi misi oleh kandidat pemimpin berinisial Y akan menutupi segala kekurangan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya sobat, pastinya kita mendapatkan banyak sensasi ketika pesta demokrasi 2024 berlangsung. Dari sensasi yang kita dapat, pasti kita mempersepsikan satu kandidat pemimpin lebih baik dari kandidat lainnya, hal yang ditimbulkan oleh sensasi yang terlalu banyak kita tangkap dapat menimbulkan bias. Bias dapat diketahui dengan melihat bukti nyata tidak terlepas persepsi yang ada, jika bukti berlawanan dengan persepsi, maka dapat dipastikan persepsi yang salah. Bias yang bertahan disebabkan salah satu contohnya adalah fanatisme, dari hal tersebut dapat mencederai kognisi seorang karena bias, tidak peduli seberapa baik kandidat pemimpin lain pasti dianggap buruk juga. Bias juga berperan mengacaukan persepsi seseorang terhadap kandidat pemimpin lain.
Bagaimana penjelasan dari segi psikologis nya?
Pernah dilakukan riset pada tahun 2006 yang dilakukan Mitchel, yang tercantum di buku Haas, meneliti tentang kecenderungan orang memiliki kesamaan mental secara politis. Dalam penelitiannya, peneliti mempunyai partisipan dan disandingkan dengan orang lain yang memiliki pandangan politik yang sama dan berbeda. Alhasil VMPFC (ventromedial prefrontal cortex) lebih aktif untuk pandangan politik yang sama sedangkan untuk yang berbeda DMPFC (dorsal medial prefrontal cortex) menjadi lebih aktif. Sebelum lanjut, pasti dari kita bertanya apa itu VMPFC dan DMPFC beserta fungsinya? VMPFC dan DMPFC adalah bagian yang terdapat pada prefrontal cortex, untuk fungsi dari kedua bagian tersebut sangat berbeda sobat. VMPFC adalah bagian dari prefrontal cortex yang berfungsi sebagai pengambilan keputusan dari sinyal emosional. Sedangkan DMPFC adalah bagian dari prefrontal cortex yang berfungsi mendukung nalar tentang niat. Dari hasil penelitian tadi, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa partisipan akan membuat keputusan sebut saja bercerita terkait persepsi tentang salah satu kandidat bukan berdasarkan nilai yang dibawa tapi lebih ke hal yang lebih bersifat emosional. Berbanding terbalik jika dihadapkan dengan pandangan yang berbeda yang disebabkan oleh pandangan politik yang berlawanan. Partisipan akan lebih kritis dalam menanggapi sebut saja persepsi orang lain tentang salah satu kandidat pemimpin dan menyelidiki apa dibaliknya.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Bechara, A., Damasio, H., Damasio, A. R., & Lee, G. P. (1999). Different Contributions of the Human Amygdala and Ventromedial Prefrontal Cortex to Decision-Making. The Journal of Neuroscience, 19(13), 5473. doi:10.1523/JNEUROSCI.19-13-05473.1999
Haas, I. J. (2016). Political Neuroscience. (J. R. Absher, & J. Cloutier, Eds.) Lincoln: Faculty Publications: Political Science. doi:10.1016/B978-0-12-800935-2.00019-1
Lipps, J. H. (2004, January/February). Judging Authority. Retrieved from Skeptical Inquirer: https://skepticalinquirer.org/2004/01/judging_authority/
Schwartz, S. H. (2012). An Overview of the Schwartz Theory of Basic. Online Readings in Psychology and Culture, 2(1), 4. doi:https://doi.org/10.9707/2307-0919.1116
Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (2016). Psikologi, Edisi Kesebelas Jilid 1. (O. M. Dwiasri, C. G.P.H, A. Maulana, Eds., B. Widyasinta, I. D. Juwono, & N. V. Santika, Trans.) Jakarta: Penerbit Erlangga.
ADVERTISEMENT
Wagner, D. D., Kelley, W. M., Haxby, J. V., & Heatherton, T. F. (2016). The Dorsal Medial Prefrontal Cortex Responds Preferentially to Social Interactions during Natural Viewing. The Journal of Neuroscience, 36(26), 6917. doi:10.1523/JNEUROSCI.4220-15.2016