Jurang Kualitas Antara Jepang dan Korea Selatan di Piala Dunia 2018

Konten dari Pengguna
25 Juni 2018 14:50 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky Agustyananto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang kawan, yang merupakan penggemar kasual sepak bola (dalam artian sering menonton pertandingan sepakbola namun tidak benar-benar menyelaminya), mengunggah sebuah twit bernada kagum: mengapa Jepang bisa bermain sebagus ketika melawan Senegal (24/6), padahal selain Shinji Kagawa, tidak ada pemain yang benar-benar dia kenal.
ADVERTISEMENT
Saya lantas menjelaskan, kalau sebagian besar pemain Jepang bermain di Eropa juga, seperti Takashi Inui, sang pencetak gol pertama, yang bermain di SD Eibar (sebelum pindah ke Real Betis pada musim panas ini) di La Liga. Ada Shinji Okazaki yang masih di Leicester City walau tak reguler bermain. Lalu ada juga Maya Yoshida di Southampton, dan banyak pemain lain yang bermain di Bundesliga, seperti sang kapten Makoto Hasebe (Eintracht Frankfurt) dan sang penyerang tengah, Yuya Osako (Werder Bremen).
Kawan saya itu pun akhirnya mengerti mengapa Jepang bisa bermain begitu bagus secara teknik dan kerja sama tim. Ia cukup terkejut ketika melihat Jepang bermain, apalagi jika membandingkannya dengan Korea Selatan yang gagal merebut angka di dua pertandingan pertama mereka dan kini berpeluang besar tersingkir di fase grup.
ADVERTISEMENT
Jika dua tim dari Asia Timur itu dibandingkan, Jepang memang seperti berada di level yang berbeda daripada Korea Selatan. Pergantian posisi pelatih dari Vahid Halilhodžić ke Akira Nishino dua bulan sebelum turnamen rasanya cukup berpengaruh, karena di masa kualifikasi, Jepang tidak bermain sebagus di putaran final Piala Dunia.
Hal yang paling menonjol tentu saja urusan kualitas teknik tiap pemain yang benar-benar di atas kualitas timnas tetangga: lihat bagaimana pemain-pemain Jepang mengumpan bola dan merancang serangan, dan Anda akan melihat perbedaannya dengan Korea.
Memang, Korea punya Son Heung-min, sang bintang utama yang kualitas tekniknya benar-benar membuat para penggemar Premier League Inggris terkagum-kagum. Itu adalah sesuatu yang jelas tidak pernah bisa ditampilkan Okazaki, Kagawa, atau pemain Jepang lainnya di EPL.
ADVERTISEMENT
Namun, bisa dibilang, Son memang memiliki level yang berbeda dengan pemain-pemain Korea lainnya. Mungkin hanya Lee Seung-woo, jebolan La Masia-nya Barcelona yang kini bermain di Hellas Verona, yang memiliki kualitas teknik individu sebaik Son.
Ini berbeda dengan kondisi di timnas Jepang. Hampir semua pemainnya memiliki kualitas teknik yang setara, tidak ada yang benar-benar menonjol. Level teknik mereka pun sudah tidak lagi seperti tim-tim Asia. Apa rahasianya?
Mungkin, kuncinya ada di perbandingan status pemain-pemain Jepang dan Korea yang sudah saya sebutkan di atas. Mayoritas pemain Jepang bermain di kompetisi level atas di Eropa, sebagian besar pemain Korea bermain di kompetisi lokal atau kompetisi tetangga seperti di J.League atau Chinese Super League.
ADVERTISEMENT
Mari kita bandingkan dengan lebih detail: saat berhasil menahan Senegal 2-2 dalam salah satu pertandingan terbaik di Piala Dunia 2018 sejauh ini, 10 dari 11 pemain starter Jepang bermain di Eropa; hanya Gen Shoji (Kashima Antlers) yang merupakan satu-satunya pemain J.League di line-up Nippon. Tiga pemain pengganti Jepang juga bermain di luar negeri: dua di Eropa (Okazaki, EPL; Takashi Usami, Bundesliga), dan satu di Meksiko (Keisuke Honda).
Sementara di line-up Korea Selatan, saat mereka kalah menyakitkan dari Meksiko, enam pemain starter mereka bermain di liga lokal, satu di Chinese Super League, satu di J.League, dan hanya tiga yang bermain di Eropa. Dari tiga pemain pengganti pun, komposisinya terbagi rata: satu pemain lokal, satu pemain J.League, dan satu pemain Eropa.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tim-tim non-Eropa yang punya banyak pemain Eropa akan bermain bagus di Piala Dunia?
Tentu saja tidak ada jaminan seperti itu. Ada banyak aspek yang mempengaruhi performa sebuah tim di Piala Dunia. Lihat saja, misalnya, Mesir, yang 10 dari 23 pemain mereka bermain di kompetisi Eropa. Persiapan yang tidak ideal karena cederanya sang andalan utama, Mohamed Salah, ikut merusak rencana tim, dan berujung pada ambruknya Sang Pharaoh di Grup A.
Begitu juga dengan Maroko yang gagal merebut satu poin pun di Grup B walaupun 18 pemainnya bermain di Eropa. Demikian juga dengan Kosta Rika, yang tidak punya satu poin pun di Grup E padahal punya 10 pemain yang bermain di Eropa. Atau Argentina, yang punya Lionel Messi tapi jadi penghuni dasar klasemen Grup D.
ADVERTISEMENT
Tim-tim itu jelas punya masalahnya sendiri-sendiri yang membuat mereka tidak mampu tampil maksimal meski punya banyak pemain Eropa. Maroko sebetulnya bermain dengan intensitas tinggi dan bisa saja meraih kemenangan di laga perdana melawan Iran, tetapi kegigihan Sardar Azmoun dkk, dan fakta bahwa mereka harus berada satu grup dengan Portugal dan Spanyol membuat Maroko harus terpuruk di dasar klasemen.
Sementara Kosta Rika sebetulnya memiliki pertahanan impresif. Dan melihat penampilan mereka, Kosta Rika sebetulnya bisa saja mengulangi pencapaian empat tahun lalu ketika mereka sukses membuat kejutan dengan lolos hingga perempat final Piala Dunia.
Namun, faktor tumpulnya lini depan membuat Kosta Rika merugi, sehingga mereka harus kebobolan lewat tendangan bebas impresif Aleksandar Kolarov di laga perdana dan kebobolan dua gol setelah digempur habis-habisan di sepanjang laga oleh Brasil.
ADVERTISEMENT
Sekarang, mari bandingkan dengan beberapa tim non-Eropa yang lebih banyak mengandalkan pemain dari kompetisi lokal mereka: Arab Saudi, Korea Selatan, Peru, dan Panama. Keempatnya hanya punya kurang dari 10 pemain yang bermain di Eropa, lebih sedikit dibanding tim-tim lainnya.
Lalu bagaimana performa mereka di Piala Dunia 2018 ini? Jauh dari meyakinkan. Secara kualitas teknik pun tim-tim ini bisa dibilang tertinggal dibanding tim-tim lainnya. Rasanya cukup wajar jika kita kemudian mengaitkan performa dan level teknik tim-tim tersebut yang kalah kelas dibandingkan tim-tim peserta Piala Dunia lainnya dengan minimnya jumlah pemain mereka yang bermain di kompetisi level atas Eropa.
Hal ini sebetulnya sempat disadari oleh Arab Saudi, yang pada akhir tahun 2017 lalu menandatangani kerja sama dengan La Liga dan pada Januari, “mengirim” sembilan pemainnya untuk bermain di Liga Spanyol, baik di kasta tertinggi maupun ke divisi di bawahnya. Hasilnya, di skuat Arab Saudi saat ini ada tiga pemain yang bermain di Spanyol, dan hanya tiga pemain inilah pemain Saudi yang bermain di Eropa saat ini.
ADVERTISEMENT
Tentu kerja sama yang tiba-tiba ini tidak memberikan dampak yang kasat mata bagi Arab Saudi di Piala Dunia 2018. Fahad Al-Muwallad, yang pindah ke Levante pada musim dingin lalu, hanya dimainkan dua kali di La Liga pada paruh kedua musim 2017/18 dengan total waktu bermain 26 menit saja. Salem Al-Dawsari, yang dipinjamkan ke Villarreal, hanya dimainkan satu kali dengan total 33 menit. Sedangkan Yahya Al-Shehri, yang dikirim ke Leganes, malah tidak dimainkan sama sekali di laga kompetitif.
Tidak bisa dimungkiri, memang, pada akhirnya, kompetisi sepakbola level Eropa punya level yang jauh di atas kompetisi di benua lainnya di dunia.
Imbasnya adalah pemain-pemain yang belajar, bersaing, dan bermain di sana secara langsung ataupun tidak langsung akan ikut terkerek kualitasnya, karena mereka diharuskan untuk bekerja keras agar tidak tertinggal dari rekan-rekan setimnya.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain ini pun akan mengalami lompatan kualitas yang jauh lebih tinggi ketimbang rekan-rekannya yang hanya bermain di liga lokal atau kompetisi level Asia yang, sayangnya, memang masih jauh di belakang Eropa.
Logika berpikir itulah yang kemudian membuat kita bisa mengambil satu kesimpulan: semakin banyak pemain yang bermain di Eropa di sebuah tim, semakin besar peluang tim itu untuk bersaing di Piala Dunia.
Jepang sudah memberikan buktinya pada kita dengan performa luar biasanya sejauh ini. Harapannya, negara-negara Asia lainnya akan lebih menyadari hal ini dan mulai rajin mendorong para pemainnya mencari peluang untuk bermain di Eropa, dan bukannya malah menarik pemain-pemainnya yang sudah bermain di Eropa untuk pulang ke kompetisi dalam negeri. Seperti yang dilakukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
-----
Foto-foto: Getty Images