Cerpen : Pasir di Penataran

mahadians123
Nama : Mahadian Sofari TTL : Banyumas, 29 April 2002 Sekolah : POLITEKNIK KETENAGAKERJAAN No. HP : 085156423594 Email : [email protected]
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 10:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari mahadians123 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasir di Penataran
Oleh : Mahadian Sofari
https://tse3.mm.bing.net/
“Allahuakbar! Allahuakbar!”
ADVERTISEMENT
Terdengar gema suara takbir dari speaker masjid dan musholla. Ayah dan Ibuku segera mengajakku mengungsi di rumah Kiai Shomad, pemilik bangunan masjid yang letaknya paling dekat dengan rumahku. Rumah Kiai Shomad bisa dikatakan sebagai rumah yang paling modern daripada rumah-rumah lain di Desa Penataran ini.
Pagi ini, suasana berubah menjadi gelap gulita, seperti malam hari. Terdengar bunyi yang lebih keras dari hujan. Ya, suara itu berasal dari abu, pasir, dan kerikil yang terjatuh di atap rumah. Aku semakin takut saja mendengarnya.
Ternyata bukan hanya aku yang terjebak dalam atmosfer itu. Teman-temanku, bahkan sebagian orang tua pun juga ada yang merasa sangat gelisah. Maklum, ini pengalaman pertama kami untuk bisa merasakan secara langsung suasana bencana gunung meletus.
ADVERTISEMENT
“Goro-goro Dewi Kilisuci!” sahut seorang nenek berusia sekitar 60 tahun.
“Kenapa, Nek?” tanya seorang anak di sampingnya.
“Dewi Kilisuci itu anak dari Jenggolo Manik. Wajahe ayu banget, sampai-sampai dia dilamar oleh dua raja. Tetapi dua raja itu bukan dari bangsa manusia. Dia dilamar oleh raja berkepala lembu bernama Lembu Sura, dan juga dilamar oleh raja berkepala kerbau bernama Mahesa Sura,” papar Nenek itu kepada anak-anak di sampingnya. Aku memperhatikannya sejenak. Mayoritas orang tua memang suka sejarah, huh, kataku dalam hati.
Sesekali aku memperhatikan nenek sambil mendengarkan berita di televisi. Tiba-tiba, nenek itu menghadap ke arahku. “Kowe, reneo! ” sahutnya sambil melambaikan tangan ke arahku.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya aku sangat malas mendengar cerita dari beliau. Tetapi, orang tuaku memberi isyarat agar aku mau mendengarkan cerita dari nenek itu. Kalau memang tidak suka, maka setidaknya hormatilah. Begitu katanya. Mau tidak mau, aku harus mendekat ke nenek itu dan bergabung dengan anak-anak yang lain.
“Siapa juga yang mau menikah dengan selain manusia? begitupun Dewi Kilisuci. Dia berusaha mencari cara agar dua raja itu gagal untuk menikahinya,” lanjut cerita nenek itu.
“Cara apa yang dilakukan, nek?” tanya seorang anak laki-laki di sampingku. Aku menghembuskan napas perlahan.
“Dewi Kilisuci membuat sayembara. Barang siapa yang bisa membuat sumur berbau wangi dan amis di puncak gunung dalam satu malam, maka dialah yang berhak untuk menikahinya. Karena Lembu Sura dan Mahesa Sura bukan manusia biasa, mereka pun menyanggupi permintaan Dewi Kilisuci.”
ADVERTISEMENT
“DUAR!”
Kilatan petir disertai suara gemuruh terdengar keras berulang kali. Sebenarnya pemilik rumah bingung, lebih baik televisi miliknya dinyalakan atau dimatikan saja. kalau dimatikan, kasihan warga yang ingin melihat berita perkembangan erupsi. Dia pun memutuskan untuk tetap menyalakan televisi, karena dia berpikir bahwa kilatan petir tersebut hanya ada di sekitar gunung dan tidak akan sampai di rumahnya.
Nenek itu terus bercerita, “Keduanya berhasil menyelesaikan permintaan itu. Tetapi Dewi Kilisuci tidak bisa menerima keduanya. Dia pun menyuruh mereka berdua untuk memastikan bahwa sumur itu berbau wangi dan amis. Karena tekad Lembu Sura dan Mahesa Sura sudah bulat, mereka bersedia melaksanakan perintah itu dengan masuk ke dalam sumur.”
“Pancen yo licik, Dewi Kilisuci meminta Prabu jenggala untuk menimbun dua makhluk itu dengan batu sehingga mereka mati. Tetapi sebelum mati, Lembu Sura sempat bersumpah ‘Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.’ Karena itu,di Penataran terjadi hujan pasir sekarang.”
ADVERTISEMENT
Memang, di Jawa sungguh kental dengan sejarah yang dimilikinya. Sejarah diceritakan secara turun menurun agar tetap lestari dan tidak lenyap ditelan zaman.
***
Setelah erupsi selesai, tempat yang harus diperiksa pertama kali adalah Candi Penataran. Warga yang mengungsi di rumah Kiai Shomad segera berbondong bondong pergi ke candi. Jarak antara rumah Kiai Shomad dengan Candi Penataran hanya sekitar 400 meter.
“Pener, to, Blitar dadi latar ,” ungkap nenek itu sambil melihat ke sekitar. Memang, seluruh jalanan telah tertutup pasir cukup tebal.
Aku berjalan menuju candi bersama Ayah dan Ibu. Para warga yang lain pun juga berjalan bersama kami untuk bergotong royong membersihkan Candi Penataran dari pasir. Tidak peduli bencana ini terjadi karena apa, aku telah dilatih untuk bisa menghormati semua pendapat yang ada. Sejarah terjadinya hujan pasir di Blitar, khususnya di Desa Penataran yang telah diceritakan oleh nenek, merupakan suatu kekayaan Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.
ADVERTISEMENT