Kapal di Tepi Sungai

mahadians123
Nama : Mahadian Sofari TTL : Banyumas, 29 April 2002 Sekolah : POLITEKNIK KETENAGAKERJAAN No. HP : 085156423594 Email : [email protected]
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 9:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari mahadians123 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sungai Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sungai Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Mahadian Sofari
Kata orang-orang, jika aku memberi makan kucing dan kelinci, doa-doaku akan dikabulkan oleh Tuhan. Kata orang-orang, jika aku berbuat baik kepada sesama, Tuhan juga akan berbuat baik kepadaku. Tetapi apakah yang dikatakan oleh mereka itu benar?
ADVERTISEMENT
Tiap sore, kami sering bermain di kolam mata air yang letaknya ada di belakang istana. Teman-temanku banyak yang memiliki mainan dari kayu berbentuk kapal sederhana. Aku sering diberi pinjaman oleh mereka, karena aku tidak lagi punya mainan itu.
Ketika bermain bersama mereka, aku selalu teringat dengan sebuah peristiwa. Dulu, ketika Ayahku hidup, aku memiliki mainan seperti itu, bahkan lebih baik bentuknya. Ayahku membuatkannya dari kayu dengan indah dan rapi.
Suatu hari, ketika kami bertiga pergi ke sungai, Ayah memintaku untuk menghanyutkan kapal mainan itu dan memohon satu permintaan. Hanya sederhana, aku meminta keluarga kami hidup dengan damai. Ya, permintaan itu terkabul. Kami bisa tinggal di istana, dan semua kebutuhan kami bisa terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Sejak kepergian Ayah, semakin banyak pula anak anak di istana yang mengenalku. Aku punya keluarga baru yang membuatku semakin rindu dengan Ayah.
Aku rindu sungai.
Aku rindu kapal mainanku.
Aku rindu Ayah.
***
Aku berada di taman kerajaan untuk memberi makan kelinci. Terlihat Prabu Airlangga, Raja Kerajaan Kahuripan, sedang berjalan bersama Empu Baradha sambil membicarakan sesuatu. Prabu berbicara dengan ekpresi resah. Rambutnya yang putih dan kulitnya yang keriput membuatnya semakin terlihat renta.
“Bantu aku untuk membagi kerajaan ini menjadi dua, Baradha. Aku ingin menyerahkan tahta kerajaan ini kepada kedua putraku, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Putriku, Sanggramawijaya, ingin menjadi pertapa sepertiku. Dia tidak bersedia untuk menjadi pewaris tahta ini,” ungkap Prabu Airlangga.
ADVERTISEMENT
“Baik, Prabu. Hamba bersedia membagi kerajaan ini menjadi dua wilayah yang sama besar,” sahut Empu Baradha menanggapi permintaan dari Prabu Airlangga.
Mereka berhenti sejenak di samping sebuah lukisan. Aku semakin jelas melihat dua laki-laki itu. Sesekali mereka juga melihat ke arah taman penuh kelinci ini. Tetapi sepertinya tidak ada masalah bagi mereka jika aku mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Bagaimana engkau bisa membagi kerajaan ini, Baradha?” tanya Prabu Airlangga.
Empu Baradha tersenyum dengan tenang. “Akan kuatur semuanya, Prabu.”
“Baiklah. Aku mempercayaimu.”
Setelah selesai berbincang, mereka kembali berjalan menuju ke arah depan istana. Aku hanya bisa melihatnya dari belakang. Dan sekarang, aku sudah lupa dengan apa yang mereka bicarakan tadi.
***
ADVERTISEMENT
Sore hari, Ibu membawakanku makanan di kamar. Seperti biasa, kami makan sore bersama, juga bercerita tentang kejadian kejadian penting hari ini. Setelah makan, Ibu biasa mengajariku menulis. Aku menulis di atas pasir menggunakan jari telunjuk.
Tiba-tiba, terdengar suara riuh di luar kamar. Tetapi kami tidak menghiraukannya. Ibu menyuruhku untuk tetap belajar menulis. Kami berpikir bahwa suara itu berasal dari teman-temanku yang sedang bermain.
Suara itu terdengar semakin ramai, dengan jarak yang semakin jauh. Karena penasaran, kami berdua memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan menuju sumber suara.
Sekilas perhatian kami tertuju ke awan. Kami pun mempercepat langkah untuk segera tiba ke depan istana, dimana langit tidak tertutupi oleh pohon dan bangunan. Sesampainya di depan istana, kami semua hanya bisa berdiri diam sambil tercengang.
ADVERTISEMENT
Terlihat ada sebuah air terjun dari awan, air terjun tersebut bergerak perlahan seperti mengikuti suatu pola. Aku sungguh kagum, aku sangat menyukai air.
“Sekar, ayo!” teriak teman-temanku sambil melambaikan tangannya. Sepertinya mereka ingin mengajakku untuk pergi ke tempat dimana air tersebut jatuh. Aku benar-benar ingin ikut dengan mereka, tetapi aku harus izin dulu kepada Ibu.
Aku memandang wajah Ibu. Belum berkata apa-apa, dia sudah mengangguk dan memintaku untuk berhati-hati. Dengan cepat, aku pun berlari menyusul teman-temanku yang sudah berada jauh di depanku.
Kami terus berlari, bahkan bersama anak-anak dari luar istana. Kami sungguh penasaran dengan apa yang telah kami lihat.
“Sungai.”
“Iya, sungai.”
Aku benar-benar melihat sungai. Air yang jatuh dari awan tadi membentuk sebuah sungai. Aku dan teman-teman mendekati sungai itu tanpa rasa takut.
ADVERTISEMENT
“Ratih!” Teriak seorang teman memanggilku. Kutengokkan kepalaku ke arahnya. Dia mengangkat sebuah benda yang tak asing lagi bagiku. Aku pun segera menghampirinya.
“Ada namamu di mainan kapal ini. Mainan ini tiba-tiba menepi.”
Aku meraih kapal itu. “Ini mainanku, kapal dari kayu yang pernah kuceritakan kepada kalian. Aku menemukannya lagi. Ini benar-benar milikku,” aku sangat bahagia sekarang, begitu juga teman-temanku. Aku harus segera menceritakan semua ini kepada Ibu.
***
Sungai itu terus mengalir deras. Banyak warga yang memanfaatkan sungai itu untuk mengairi sawah. Lama kelamaan aku tahu, bahwa sungai itu adalah Sungai Brantas. Sungai yang membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian yang sama besar, untuk dibagi rata kepada kedua anak Prabu Airlangga yang semuanya berhak menjadi pewaris tahta.
ADVERTISEMENT