Cover story fiksi kumplus

Aku Bek, Aku Akan Bertahan! (15)

Mahfud Ikhwan
Novelis yang mencintai sepak bola dan film India. Pemenang pertama Sayembara Novel DKJ 2014 dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Ia menulis novel Ulid; Kambing dan Hujan; Dawuk. Novel terbarunya adalah Anwar Tohari Mencari Mati (Marjin Kiri, 2021).
23 Mei 2021 19:45 WIB
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Modal Emak sudah tak tersisa dan orang-orang yang biasa dimintai tolong sudah enggan memberikan talangan untuk kulakan. Di depan mata, tak lama lagi kakakku Ulid akan menyelesaikan SMA-nya, dan semua orang di desa tahu bahwa ia ingin masuk universitas. Itu pasti masa-masa yang sangat berat bagi Emak, jika bukan yang terberat.
Di sisi lain, sangat bertolak belakang, Bapak yang sama sekali patah tampak tidak tahu dan tidak hendak melakukan apa-apa. Ia tak mungkin membakar gamping lagi, karena jubung, tungku pembakar batu yang biasa dipakainya untuk bekerja sebelum ke Malaysia, adalah benda pertama yang dirobohkan agar rumah kami bisa ditembok dan punya cukup halaman tiga tahun sebelumnya. Ia menolak menggarap ladang, karena itu artinya ia harus memulainya dengan mengkredit bibit jagung Hibrida dan pupuk di KUD, sementara ia sudah sangat rikuh dengan utang yang ditanggungnya selepas pulang dari pembuangan. Pengurus madrasah sempat berkunjung ke rumah dan memintanya kembali ke sekolah, tapi jembatan untuk balik mengajar sepertinya sudah sepenuhnya terbakar, dan karena itu jawabannya hanya diam. Yang ia lakukan selama berbulan-bulan kemudian adalah kembali membaca buku-buku dan majalah tuanya, dan sesekali membongkar pasang beberapa bangkai radio yang didapatkannya entah dari mana. Dan Bapak semakin tenggelam dengan pelariannya ketika bangkai-bangkai radio itu, entah bagaimana caranya, kembali berbunyi. Siaran pandangan mata sepak bola kembali terdengar di rumah setelah hilang selama bertahun-tahun. Itu adalah tahun-tahun awal dilangsungkannya Liga Indonesia format baru, yang menggabungkan kompetisi Perserikatan dan Galatama, dan tiga siaran pertandingan sepekan tampaknya sudah cukup bagi Bapak untuk membenamkan kepalanya. Saat itu listrik PLN sudah menyala, dan aku bisa menonton siaran pertandingan di TV milik tetangga, tapi itu tak mengurangi rasa senangku mendengar suara paling indah di dunia itu kembali ke rumah—bersama rekan senior dan mentor yang mengajariku mencintai sepak bola, tentunya. Sampai kemudian aku tahu betapa Emak membenci hal itu.
Bagi Emak, pada hari-hari itu, siaran pandangan mata sepak bola di beranda rumah—dan seorang lelaki dewasa terpaku menungguinya—menandakan bahwa kondisi sudah tidak tertolong lagi. Dan itu artinya Emak harus bertindak. Dan itu artinya tak ada jalan lain. Malaysia.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
check
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
check
Bebas iklan mengganggu
check
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
check
Gratis akses ke event spesial kumparan
check
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten