Sejujurnya, harus kubilang, meski aku menjadi laki-laki tertua di rumah pada usia jauh lebih muda, keadaan yang kuhadapi tak sebanding dengan yang mesti dihadapi kakakku beberapa tahun sebelumnya.
Setidaknya, sampai peristiwa celaka itu terjadi.
Bapak tak masuk golongan perantau Lerok yang sukses, semisal Mat Gopar yang bisa membangun rumah besar, atau Ngatmi’in yang bisa beli mesin diesel, atau Margino yang selalu membawa pulang barang-barang elektronik mutakhir. Meski begitu, akan terdengar kurang ajar di telinga kami, keluarganya, jika ada yang menyebut Bapak gagal total. Saat pulang untuk pertama kali, menjelang puasa keempat semenjak keberangkatannya, Bapak menunjukkan keberhasilan kecilnya dengan menyediakan dua ekor kambing pada perayaan Idul Adha sekaligus mengkhitankanku dalam sebuah perayaan sunatan yang, meski biasa saja ramainya, mustahil dibayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika beberapa bulan kemudian ia berangkat lagi ke Malaysia, Bapak meninggalkan sebuah rumah baru untuk kami, rumah tembok bersemen, walau masih kosong melompong tanpa perabot, dengan dinding dan lantai yang belum diplester, jendela yang belum dipasangi kaca, dan kamar mandi yang belum jadi. Namun, bagaimana pun, itu monumen untuknya, untuk keluarga kami. Tak ada perantau yang tidak bercita-cita mendirikan monumen.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814