Dilema Bertemu Manusia (Dua Ribu) Perak

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
5 Mei 2021 20:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lampu merah adalah salah satu spot terbaik bagi manusia-manusia memanfaatkan iba. Salah satunya manusia perak.
ADVERTISEMENT
Terlebih pada bulan puasa, bulan makin maraknya peminta-minta. Setelah ribuan kali berhenti di lampu merah, saya berteori ada dua jenis manusia ketika kontak dengan para manusia perak. Tentu saja termasuk manusia badut, pengamen, anak jalanan, dan bermacam varian peminta-minta.
Pertama, manusia (baik hati) yang tergerak untuk memberi dan kedua, manusia yang (berani) memutuskan tidak memberi.
Sumber foto : Bayu Eka Novanta, Kumparan
Saya adalah jenis yang kedua.
Jejak keputusan saya, bermula saat mengenal sejarah pelayanan sosial. Saat revolusi industri di Inggris, para pengusaha banyak untung, lalu bertumpu ajaran gereja, rajin beramal. Aksi karitatif nyatanya tidak membuat masalah sosial teratasi. Efeknya justru berkebalikan. Marak manusia kategori mager, malas dan bergantung pada sedekah. Lahirnya gagasan Poor Law, menegaskan otoritas agama dan ajaran amal sudah tidak ampuh. Karenanya, perlu aturan baru dan pelayanan sosial yang profesional.
ADVERTISEMENT
Deretan berita succes story pengemis juga membuat manusia jenis seperti saya, berpikir seribu kali. Saat kepanasan di lampu merah, merogoh dua ribuan dari jaket, berharap menjadi voucher ke surga, teryata hanya mereka menikung niat manusia baik hati. Mereka membangun surga di kampungnya, sementara kita mungkin hanya berharap itu terjadi di kehidupan setelah dunia.
Tak heran, Seno Gumira Ajidarma bilang, adegan-adegan pengemis, dalam esainya berjudul Bayi dalam Gendongan : Sebuah Teater Jalanan mungkin bukan potret kemiskinan, melainkan kretaivitas. Pura-pura miskin agar nantinya bisa terlihat kaya.
Baiklah itu ada di buku, cuma di berita-berita. Tetapi, izinkan saya, berkisah satu dua bukti pengalaman saya.
Saya pernah melihat petugas menghitung uang yang diperoleh bapak tua, pengemis di depan hotel, di Tegal daerah tempat saya tinggal. Tiap pagi ia diantar keponakannya, sorenya dijemput, setelah kira-kira 300 ribu sampai 500 ribu diunduhnya dari manusia-manusia baik hati, jenis pertama.
ADVERTISEMENT
Pernah pula, saya investigasi seorang pengemis lansia yang “dinas” di depan rumah sakit. Di antara “pelanggannya”, ada seorang dokter yang rutin tiap hari mengeluarkan lima puluh ribu dari baju putihnya. Miris, si nenek itu tak menikmati uangnya. Katanya uangnya untuk anak cucunya. Salah satu cucunya yang remaja, terlihat merokok, menunggu waktu untuk menjemputnya. Pukul lima sore, tanda nenek menutup “praktiknya”.
Lain kisah, terjadi di sebuah alun-alun. Sembari kuliner kupat glabed, dua pengemis anak-anak, menyodorkan tangan. Betul-betul tak mau beranjak, meskipun saya bilang, “Maaf, nggak ada receh, dik”.
Saat saya tanya alasannya nggak mau pergi. Jawabnya, “Kata emak, jangan pergi, kecuali sudah dikasih”. Bah, begitu hebat “etos kerja” mereka, terjaga oleh standar operasional prosedur yang rapi jali.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, memilih menjadi manusia tipe kedua, bukan keputusan yang minim argumen bukan? Ada semacam tanggungjawab, tak ingin memperparah masalah.
******
Hingga suatu hari, lagi-lagi di lampu merah. Dua anak manusia perak bergerak menghampiri.
Tak diduga, pertanyaan beraroma protes dari puteri saya menyentak. Argumentasi apa yang tepat untuk anak SD ? Terlebih, ia melihat beberapa lembar dua ribuan di dekat tongkat perseneling. Haruskah konsep, cuplikan berita atau pengalaman saya presentasikan kepadanya?
Satu detik saya lirik istri, memohon membantu jawab. Alis istri saya bergerak ke atas. Bisa saya tangkap, gesturnya seolah berkata, “Noh, silakan jawab sendiri, ayah nan bijaksana”.
ADVERTISEMENT
Tidak satu dua kali, soal ini, saya silang pendapat dengan istri. Dia tergolong jenis pertama, manusia baik hati.
Didebat istri sudah biasa. Namun, digugat anak sendiri yang masih kecil, bikin saya berpikir telah menyia-nyiakan modal berharga manusia : rasa iba.
Kata Rousseau, manusia pada dasarnya baik. Secara fitrah, dari sononya membawa bekal primordial berupa rasa iba yang melimpah. Karenanya, tanpa membaca novel macam Oliver Twist yang berkisah tentang seorang anak yatim piatu yang hidup di Inggris pada tahun 1830an, semua berpotensi menjadi manusia baik hati.
ADVERTISEMENT
Hebatnya, kita tidak harus kenal untuk iba. Lihat kesusahan, penderitaan orang lain iba itu bisa datang tiba-tiba.
Tetapi kota yang tertib, perempatan lampu merah yang bebas dari gangguan sosial adalah hak kita. “hak milik” kita itu kerap diganggu bahkan dirampas para peminta-minta. Negara perlu hadir lewat papan perda.
Sejak disamakan dengan papan perda, saya suka memperhatikan papan larangan mengemis. Para manusia tipe pertama, jelas bukan tuna aksara. Meskipun istri saya tak pernah membaca cerpen “Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari tetapi ia sangat memihak Gupris, tokoh pengemis cilik yang mempertanyakan larangan mengemis.
Sebaliknya, saya diposisikan sama dengan tokoh hansip, Pak Karidun, yang menyebut dirinya sekuriti Dinas Sosial. “Mempidana pengemis artinya bukan memberi dana pengemis”, kata Karidun.
ADVERTISEMENT
Teman saya yang bertugas di Satpol pernah berkisah. Saat menertibkan para peminta-minta, seorang ibu pengemis mengumpat di truk yang mengangkut hasil razia.
Teman saya yang menjawab,
Lalu dia beropini, penyandang disfungsi sosial ini perlu diatur, ditertibkan, direhabilitasi, dinormalkan. Seloroh bahwa di surga, para pengemis akan mengemis juga adalah perumpamaan bahwa masalah sosial adalah masalah perilaku, mental dan kebiasaan yang sulit untuk diatasi.
Oh, saya lupa menyampaikan bagaimana jawaban spontan saya pada anak. Begini,
ADVERTISEMENT
Jawaban ini ternyata ganjil. Mengakui potensi manusia, pada saat yang sama meghakiminya sebagai pemalas. Saat menjawab, saya seperti bukan seorang ayah tetapi seorang petugas. Mudah menstigma mereka sebagai pemalas, pelanggar hukum, tak tertib, bahkan cenderung kriminal serta labeling lainnya.
Tetapi, bukankah nyaris semua petugas adalah ayah atau ibu pada saat yang sama? Tiba-tiba saya sangsi. Para gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, para petugas, para polisi pamong praja dan semua yang terlibat dalam membuat dan mengeksekusi perda itu juga sekaligus memperlakukan dirinya sebagai jenis manusia jenis kedua, manusia yang berani tidak memberi sedekah.
Saya curiga, suatu hari di pemberhentian lampu merah, mereka memberi. Memposisikan diri sebagai manusia tipe pertama, menjadi bagian dari praktik kolektof yang menjadikan kota sebagai gula. Dan peminta-minta berkerumun menjilatinya. Hingga lingkaran masalah ini tak pernah ada putusnya.
ADVERTISEMENT
Lagipula, saya khawatir. Apakah saya sedang mengajarkan anak saya, menjadi manusia pencuriga?
Di lampu merah, saya berada dalam dilema. Memang ada solusi praktis mengatasi dilema ini. Memilih untuk berdema hanya ketika bersama anak saya. Setidaknya itu menjadi emergency exit.
Dua ribu perak yang terpaksa keluar dari saku saya ini, mungkin bukan kunci surga. Sekadar pengurang perasaan bersalah saja. Jangan-jangan, perda, pelayanan sosial, panti rehabilitasi, razia pengemis, kebijakan dan penanganan juga masih terbatas “mengurangi dosa” saja.
Barangkali, aturan-aturan dan pelayanan untuk mencegah atau menangani masalah sosial belum efektif karena kita tidak konsisten. Kita sendiri sudah gamang, tak yakin dengan cara yang sedang kita tempuh. Dilema ingin memanusiakan manusia perak atau berhenti hanya pada pencapaian menjadi manusia penderma dua ribu perak.
ADVERTISEMENT
Mohon maaf, teori saya di awal tulisan mesti diakhiri dengan pertanyaan. Jika para pembuat kebijakan, eksekutor pelayanan sosial, beserta pendukungnya masih gamang, lalu bagaimana bisa efektif mengubah masyarakat?
Makhsun Bustomi, Master Sains dalam Kajian Sumber Daya Manusia. Bekerja di Pemerintah Kota Tegal. Esai-esainya diterbitkan di berbagai media online nasional. Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakil instansi di mana penulis bekerja.