Golok Mini dan Senjata Hari Ini

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2022 20:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat kanak-kanak, apa wejangan seorang ibu ketika kita pamit main keluar rumah? Yang saya ingat, jangan jauh-jauh, nanti kesasar. Jangan berkelahi, itu dosa. Dan, jangan main senjata tajam, nanti celaka dan terluka. Bermain pada masa yang lalu artinya beraktivitas bersama teman-teman di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Sebagai anak kecil, kala itu saya punya tafsir sendiri. Bolehlah main sejauh-jauhnya, asal masih tahu jalan pulang. Sama sekali tak ada potongan gelut di wajah saya, jadi tak ada soal tentang larangan ribut-ribut. Bermain boleh main dengan apa saja, asal itu bukan pisau, sabit atau golok.
Sumber ilustrasi : www.pexels.com@ginucp
Di mata anak-anak desa, lelaki yang gagah adalah yang sedang menyandang senjata. Dahulu, saya paling suka mengamati orang-orang mengasah gaman di atas batu. Senjata pisau, golok dan sabit disebut sebagai gaman. Abah saya juga punya golok istimewa. Hanya saja itu keluar sesekali saja, terutama khusus untuk menyembelih hewan kurban saat Iduladha. Sayangnya, sama sekali tak ada akses bagi saya untuk menyentuhnya.
Bagi laki-laki desa, tanpa senjata maka tak ada cerita. Lagi pula, rasanya tak ada kisah pahlawan tanpa senjata. Masih menempel di benak saya, poster-poster pahlawan yang dipajang di sekililing dinding kelas. Kapiten Pattimura, adalah salah satu favorit saya. Pahlawan dengan pedang di dadanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu tentu saja, gambar Pangeran Diponegoro. Saya membuat tiruannya, untuk dikumpulkan sebagai tugas menggambar. Meniru lukisan Diponegoro versi sketsa A. J . Bik (1930), dengan busana ulama dan keris yang Kiai Bondoyudo. Pak Guru mengira, itu bukan karya saya. Betapa bangga saya seperti dinobatkan menjadi pahlawan. Sebab, teman-teman lain selalu melukis pemandangan alam dengan gunung sebagai fokusnya atau bunga beserta pot yang nyaris seragam.
Seperti menjadi hukum alam, apa yang menjadi larangan bikin manusia penasaran. Yang tabu menjadi sesuatu yang ingin dekati. Bahkan, selagi bisa dimiliki. Hasrat bermain golok mendapatkan jalan keluar. Jamak, di kampung saya waktu itu, suka membuat miniatur golok. Caranya dengan melindaskan paku usuk di rel kereta api. Memang, kampung tempat tinggal saya dilewati jalur kereta. Butuh beberapa kali agar paku itu makin gepeng dan pipih. Lalu, dengan telaten dibentuk menyerupai golok.
ADVERTISEMENT
Saya menyebutnya, golok mini. Serasa menjadi pengrajin golok imitasi, bersama teman-teman main, saya menunggu kerata api lewat. Hanya dua kali sehari, kereta lewat, zaman itu, sejauh memori saya. Pun tak setiap kali saya bisa menungguinya. Karenanya, golok yang belum selesai itu, lalu saya titipkan pada Pardi. Dia, teman sekolah yang berumah paling dekat dengan rel kereta. Dan tentu saja, lebih hafal jadwal kereta melintas. Tambah lagi, ia tak sekolah madrasah, sehingga punya kesempatan untuk menunggu kereta lewat sore hari.
Saat itu saya berkhayal, andaikan setiap lima menit ada kereta melintas. Tentu cukup satu hari libur, tak butuh berhari-hari proyek golok itu kelar. Khayalan konyol yang lain adalah andaikan saya tak sekolah.
ADVERTISEMENT
Kembali pada Tuan
Dunia anak memang dunia berkhayal. Di sekolah, para pemilik "golok mini", berceloteh tentang senjatanya. Kadang tergantikan dengan kisah keris Diponegoro. Kehebatan rencong di tangan Cut Nyak Dien. Lain waktu, beralih pada golok yang terikat di sabuk si Pitung. Tentu saja, profil Robin Hood Betawi ini tak ada di dinding kelas.
Tiap anak menambahnya dengan bermacam versi. Entah itu kulakan cerita dari orang lain, atau hasil imajinasi sendiri. Semakin ngibul, semakin ngebul. Kadang, anak-anak lebih ulung dalam bercerita. Makin direkayasa makin seru. Sampai membandingkan antara kehebatan pedang katana dari Jepang, pedang gladius Roma atau jambiya dari Arab. Meskipun tentu saja yang paling dikenal dan fungsional cuma pisau dapur emak.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, di benak kami masa itu, semua pahlawan pasti punya senjata yang ampuh. Apapun ceritanya, kami sepakat bahwa senjata sakti akan selalu kembali kepada tuannya, pemiliknya. Setiap senjata bisa terbang, dengan cara gaib, misterius atau jalan apapun.
Maka, ingatan saya melayang pada simpulan ini. Ketika berpuluh tahun kemudian, membaca berita kembalinya keris Kiai Nogo Siluman milik Diponegoro yang kembali ke Indonesia. Raja Belanda Willem Alexander mengembalikan dalam kunjungan ke Indonesia tahun 2020 sebagai simbol maaf Kerajaan Belanda, setelah mengkoloni dan mengeruk kekayaan Indonesia.
Dalam Novel Pangeran Dari Timur, karya Iksana Banu dan Kurnia Effendi tercatat momen ketika Raden Saleh pelukis Penangkapan Diponegoro menyaksikan keris itu pada tahun 1831 di Belanda, ia berkata pada Van de Kasteele, "Kembalikan keris itu dengan hormat kepada pemiliknya atau keris itu akan kembali sendiri secara gaib".
ADVERTISEMENT
Digenggam Gawai
Tentu saja, beredar obrolan pada masa kecil kami. Bahwa para empu-empu sakti itu membuat keris dari batu yang jatuh dari angkasa. Keris dari meteorit itu dibikin tidak dengan cara-cara biasa. Apalagi dengan menggilasnya di rel kereta. Melainkan ditempa dengan pijitan tangan. Produk sentuhan jari-jari manusia yang bertuah luar biasa.
Di tangan para empu sakti, meteorit atau logam bisa dibentuk. Mirip seperti saat saya menyelesaikan tugas prakarya membuat patung dari tanah lempung. Atau anak-anak TK sekarang membuatnya berbahan malam.
Jari-jari sekarang sibuk dengan senjata masa kini. Jalur kereta di kampung saya masih sama. Bahkan kereta melintas makin sering. Tetapi tak ada anak-anak pengrajin golok mini lagi. Jangan-jangan kepikiran saja tidak.
ADVERTISEMENT
Suatu malam, kisah golok mini itu hadirkan dalam percakapan dengan anak saya. Dia terbengong sesaat, sambil kembali menatap layar gadgetnya. Raut wajahnya menunjukkan tanda seperti seorang anak mendengar khotbah Jumat di masjid. Tak tertarik bertanya. Dalam otaknya seperti tak ada antena untuk menangkap siaran dari ayahnya. Sementara ibunya juga memegang smartphone pula. Tak terkecuali saya.
Senjata hari ini, senjata zaman now mampu membawa semua saja pergi jauh. Tak terkecuali anak-anak juga bisa melampaui ribuan kilometer geografisnya. Jauh melewati tembok rumah, kampung dan negara. Bebas mengakses banyak hal yang melampaui batas umurnya. Dua puluh empat jam, siap menemani, bahkan saat orang tuanya mendengkur. Di dunia maya kita bisa berkelahi dengan siapa saja.
ADVERTISEMENT
Sekarang perlu kita tanya apakah nasehat dilarang jauh-jauh, jangan berkelahi dan hindari benda tajam bisa ditaati? Senjata hari ini membuat manusia mudah berkonflik dan saling menyakiti. Bukankah hoaks, postingan, status, pesan, cuitan bisa lebih melukai dibanding senjata tajam?
Anak, remaja dan dewasa kini berada dalam dunia yang sama. Dan kita, nyaris semua, menggenggam senjata yang sama. Kita sibuk bermain-main dengannya. Maaf, lebih tepatnya, sedang dimainkan olehnya. Ada ungkapan yang akrab di telinga kita untuk menggambarkannya. Ya, senjata makan tuan. Apakah anda sedang menggenggam gawai saat ini? Saya rasa sebaliknya, kita yang dalam genggamannya.
Manusia modern tak sudi jauh-jauh darinya. Senjata-senjata para sakti kembali kepada pemiliknya, tetapi senjata hari ini bukan berarti tak kembali, melainkan tak mau pergi. Tak pernah lepas dari para pemiliknya. Yang lepas dari kita mungkin kebahagiaan suasana dan kegembiraan masa lalu. Golok mini adalah "kemewahan" tradisional yang lenyap di makan zaman.
ADVERTISEMENT
Apakah ada jalan untuk pulang? Masih adakah jalan kembali pada kemewahan masa lalu ? Mungkin saja saat ini kita semua sedang tersesat. Tetapi bersiap saja mendengar jawaban, "Kan ada google map!".
Makhsun Bustomi, tinggal di Tegal. Bekerja sebagai Analis Kebijakan di Pemerintah Kota Tegal.