Ibu dan si Biji Kluwek

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
16 Desember 2021 20:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Lambemu cilik, kaya wiji kluwek", begitu kata ibuku.
Mulutmu itu kecil seperti biji kluwek. Berkali-kali ia mengatakan bibirku itu mungil seperti biji kluwek. Meskipun bentuk bibirku kecil, dia bilang aku anak yang rewel. Jadi, kapan dia menyebut saya wiji kluwek, artinya aku telah jauh melampaui ambang batas rewel. Saat wiji kluwek terlontar, artinya sedang ibuku sedang menyindirku. Sebagai orang desa, aku memanggilnya Emak.
ADVERTISEMENT
Sejatinya tak tahu persis, kenapa memilih biji kluwek sebagai perumpamaan. Yang kutahu, kluwek itu juga disebut kepayang. Bukankah kecil bisa dipadankan dengan benda atau makhluk lain. Sebut saja buah duku, kerikil atau mungkin semut. Bukankah semut lebih kecil dibanding biji kluwek?
Setahuku, kluwek punya kehebatan sekaligus membahayakan. Bijinya menjadi rempah dalam makanan rawon. Meskipun kelam warnanya, tetapi lezat rasanya. Konon, kluwek mentah sangat beracun karena mengandung asam sianida dalam konsentrasi tinggi. Jika dimakan kebanyakan bisa bikin mabuk. Mungkin ini pula, sehingga kata mabuk diikuti kepayang. Aku tak pernah mendapat penjelasan. Dan juga tidak pernah bertanya kepadanya. Atau siapapun juga.
Tapi, kalau soal rewel, sedikit jujur aku harus berani melakukan pengakuan. Tapi itu masa kecilku, masa yang sudah terlampaui. Nasehat Emak keluar ketika dia kesal. Kalau aku kelewat banyak protes. Pertama, sepertinya ini soal makanan.
Sumber foto ilustrasi : Alex Green / pexels
Entah kenapa aku suka nego kalau disuruh makan. Ketika Emak menyajikan jangan bentul, sayur dari umbi-umbian atau talas andalan Emak. Bahan-bahannya cuma dicerabut dari pekarangan dibelakang rumah. Entah, kenapa aku tega tak berpikir panjang. Saat itu, Emak cuma ibu rumah tangga dengan tujuh anak yang masih sekolah. Sedangkan ayahku, sudah berpulang sebab kecelakaan. Sebetulnya, beras yang dibelikan Emak kadang hanya bersumber dari daun-daun pisang di pekarangan yang dibeli oleh pedagang keliling. Di antara kakak-kakak dan adikku, julukan si Wiji Kluwek hanya terpaku pada sosokku. Dipikir-pikir, memang aku suka protes soal makanan.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, yang kuingat tentang pakaian. Aku suka milih- milih kalau dibelikan baju. Saat yang lain menerima begitu saja dengan baju lebaran misalnya, aku termasuk yang harus memilih sendiri. Juga suka menyeterika ulang baju yang sudah disiapkan Emak.
Dan ada kerewelan lain yang utama. Dalam banyak hal, adalah disebabkan aku selalu punya dalih dan alasan, terutama saat diberi nasehat. Saat waktu menjelang shalat Jumat, aku diperintah mandi dahulu. Aku kadang spontan menjawab, "Mandi itu kan tidak wajib".
Kalau dinasehati, "Gimana besar nanti bisa jadi laki-laki. Lha wong manjat pohon saja nggak bisa". Aku berargumentasi, "Saat besar nanti, aku tak akan hidup di kampung. Tak harus bisa naik pohon".
ADVERTISEMENT
Suatu waktu Emak tersenyum melihat tanganku, selepas ditugasi cabut rumput, ia berkata, "Disuruh cabut rumput saja, tangan kok lecet-lecet". Aku berdalih, "Nanti besar, aku nggak akan jadi petani''.
Pernah pula aku digoda bahwa tak mungkin dapat jodoh kalau tak bisa mengupas kelapa. "Siapa mertua yang sudi dapat menantu kaya kamu?".
Aku beralasan, "Jodoh kan di tangan Tuhan, bukan karena kelapa". "Hidupmu selalu ada jawabannya, selalu penuh alasan dan dalihnya. Kamu memang paling pinter bikin dalil", begitu istilah Emak.
Tentu saja label itu tak pernah terdengar lagi ketika aku mulai remaja. Lagipula aku semenjak tumbuh remaja, aku jadi pendiam. Semakin jarang ngobrol dengan Emak. Banyak waktu kuhabiskan untuk membaca dan menulis. Terkadang dengan melukis.
ADVERTISEMENT
Garis waktu membawaku hingga kini telah berkeluarga. Bahkan anakku saya tumbuh meremaja. Tetapi, paling tidak, aku berkunjung ke rumah Emak, tiap bulan. Pada hari Minggu, awal bulan. Datang pagi, agar bisa makan siang bersama. Rumah Emak tak sampai 10 kilometer dari tempat tinggalku. Tiap kami datang, ia selalu melakukan ritual, memasak untuk menyambutku, menantunya dan tentu saja cucunya.
Suatu waktu aku datang, tanpa istri dan anak perempuanku. Ini kali aku baru sempat hadir menjelang magrib.
"Emak, aku cuma sebentar. Istri sedang kurang sehat. Hafiza, cucu Emak juga lagi banyak tugas sekolah. Tak bisa ikut".
"Sedari pagi Emak sudah menyiapkan tempe dan ayam goreng. Emak goreng lagi ya biar hangat".
ADVERTISEMENT
Menjelang 80 tahun, ada katarak yang menghalangi indra netranya. Tubuh ringkihnya beringsut ke dapur. Menggoreng ulang beberapa potongan paha ayam yang sudah digorengnya tadi pagi. Sepertinya, Emak tak tahu, ayam itu gosong. Dengan memaksa diri sendiri, aku makan sekadarnya saja.
"Makanmu sedikit sekali. Orang kalau kerjanya mikir memang makannya jadi sedikit, ya?". Jelas, sudah tak ada lagi julukan si Biji Kluwek. Yang dimaksud kerja mikir menurut Emak adalah bukan pekerja kasar.
"Ya, sudah. Emak bungkus ya. Untuk Hafiza di rumah. Kalau tak enak dibuang saja", ucapnya datar. Terlihat posturnya sudah membungkuk.
Saya pun pamit. Sembari menyetir, aku menangis sepanjang perjalanan ke rumah. Malam itu hujan deras. Terbayang Emakku sendirian di kamarnya yang lembab. Sedangkan, alasanku terlalu banyak. Urusanku terlalu tak habis-habis. Aku sudah bebas dari julukan si Biji Kluwek.
ADVERTISEMENT
Tetapi tak bebas dari 1001 alasan. Sepertinya benar, aku paling pandai dalam membuat dalih, ini dan itu. Waktuku habis untuk mabuk kepayang dengan bermacam urusan. Emak memberi kasih, aku membalasnya dengan dalih. Ia tak butuh alasan apapun untuk mencintaiku.
Aku hendak menyebutnya sebagai pahlawan kehidupan. Tetapi bukan, ia lebih dari itu. Ia mana pernah hirau dengan balasan. Bahkan, tak pernah rewel dengan pahala. Seperti penggalan lagu, hanya memberi tak harap kembali.