"Kelon" Bersama Penulis Demi Naik Kelas

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2020 21:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah kurungan wabah, tersedia juga berkah. Sejak pandemi menghampiri, entah ngomel atau ikhlas, saya juga beradaptasi. Salah satunya bagaimana mengisi hari libur Sabtu dan Minggu tanpa pergi-pergi. Juga mengisi malam-malam setelah pulang kerja, yang sebelumya sering dilewatkan dengan makan bersama anak istri di lesehan atau ngobrol dengan tetangga di warung jahe dekat pos portal perumahan.
ADVERTISEMENT
Barangkali karena sejak kecil cukup suka membaca maka hingga kini waktu luang saya seringkali habis untuk membaca juga. Sering timbul tanya, lalu kapan giliran saya menulis. Kapan saatnya orang lain yang membaca tulisan saya. Harus mulai dari mana ?
Pertanyaan itu kebetulan berpapasan dengan momen saya membaca iklan Kelas Menulis Online yang diasuh Iqbal Aji Daryono. Demi hangatnya perbincangan, kelas online ini selanjutnya saya singkat sebagai "kelon".
Tergoda dengan banyaknya jejak digital beliau berupa esai-esai di media online seperti Kumparan, Detik, Mojok, Geotimes, Jawa Pos dan lainnya, saya memutuskan ikut. Salah satu tulisan lama Mas Iqbal yang pernah saya baca adalah Berhentilah Jadi Penulis Buku di Kumparan.com yang menggugat kenapa kenapa kita selalu memberi harga yang rendah untuk pengetahuan? Tentu, bukan maksudnya, hendak melakukan demotivasi kepada generasi yang bermimpi menjadi penulis.
Foto: Pexels/Ivan Samkov
Jika Mas Iqbal mengajak orang yang ingin belajar menulis dengan membuka "kelon", tidak demikian dengan Chief of Storyteller Kumparan, Yusuf Arifin. Alasan Yusuf Arifin atau Mas Dalipin sudah gamblang dibeberkan di Kumparan.com bertajuk Mengapa Saya Enggan Mengadakan Kelas Menulis. Satu alasan yang perlu dihighligt adalah :
ADVERTISEMENT
Mas Iqbal maupun Mas Dalipin satu nada. Kalau menulis untuk alasan finansial—dalam pengertian menggantungkan hidup hanya dari menulis, Mas Dalipin memberi saran untuk segera mundur dari pilihan itu. Adapun Mas Iqbal bilang begini :
Jadi, yang bagi yang ingin "kelon" bersama penulis, untuk berjaga-jaga modal diri Anda dengan kalimat "Jangan berharap terlalu banyak imbalan material dari menulis". Apalagi bagi saya yang sudah terlambat, pemula pula.
ADVERTISEMENT
Tetapi, kalau sekadar ingin tahu bagaimana belajar struktur tulisan, membuka tulisan, membuat judul yang keren tapi mengena, mengemas tulisan, berargumentasi dengan runtut, itu bisa dipelajari dan dilatih. Bahkan dengan membuka Youtube, Anda bisa menyimak video tentang penulisan dari tokoh-tokoh penulis kondang.
Bedanya, berdasarkan pengalaman ikut "kelon" bersama penulis, sebagai peserta saya dipaksa untuk setor tulisan berbentuk esai sesuai jadual. Tulisan itu lalu dikoreksi. Trainer kadang mirip satpol bahasa yang tidak segan-segan menegur, misalnya saat kita serampangan mengetik "disini" seharusnya "di sini". Membiasakan disiplin dalam mengikuti kaidah berbahasa memang sebuah keharusan.
Judul, pembukaan tulisan dan argumentasi yang kurang berisi juga dikritisi. Tak lupa peserta diingatkan bagaimana mengakhiri tulisan dengan keren. Menulis harus dengan gembira. Tapi, selaku pemula tentu tiap kali dikoreksi saya was-was juga. Positifnya, sejelek-jeleknya, sengawur-ngawurnya tulisan kita, tetap dibaca dengan teliti dan dikuliti.
ADVERTISEMENT
Di samping belajar metode dan teknik menulis, disiplin waktu adalah keharusan. Tanpa target waktu, kapan kita menyelesaiakan sebuah tulisan? Tersedia banyak alasan untuk menundanya. "Kelon" bersama penulis ternama sekalipun, ide di kepala kita yang menentukan apakah ada yang bisa kita tuangkan. Sayangnya, gagasan ini mau tak mau digali dan dilatih dengan membaca, dalam makna seluas-luasnya.
Belajar dari sesama peserta dan pemula juga berfaedah. Saling memotivasi, berbagi kehangatan dan tukar pengalaman antar peserta kelas online cukup memperkaya wawasan. Ternyata, di antara peserta ada yang sudah menerbitkan buku. Pun profesi yang dimiliki bervariasi dari dokter, PNS, pekerja sosial, mahasiswa, dosen, guru, pedagang, ibu rumah tangga, swasta dan sebagainya.
Minusnya, acapkali sang trainer agak lupa kalau latar belakang dan level muridnya beraneka. Karenanya, bagi saya yang pemula masukan yang manis bisa terasa sadis. Kecepatan peserta berbeda-beda, akibatnya saat trainer ngegas, ada yang kehabisan nafas. Juga, interaksi dalam dunia maya tentunya tidak leluasa untuk mendiskusikan dan mengeksplorasi ide-ide tulisan. .
ADVERTISEMENT
Adalah lebay, jika ada pengiklan kelas menulis online, belum-belum kok menjanjikan cuan. Penulis seperti Mas Iqbal dan Mas Dalipin sudah mengingatkan. Jadi, seseorang berharap mendadak gendut rekeningnya, lalu ikut "kelon" bersama penulis, itu jalan yang salah.
Tetapi, kalau sekadar tulisan-tulisan Anda ingin dimuat di media online, Anda tidak harus mencari-cari jalan tikus. Tidak ada salahnya belajar menulis melalui "kelon" bersama penulis. Kita masih bisa mengunduh berkahnya. Sebagai pengalaman pribadi, semua esai-esai saya hasil belajar menulis online lolos kurasi di beberapa media.
Menurut saya, bukan sebuah tabu bagi penulis profesional dan pengalaman untuk membuka "kelon" menulis. Semoga, seorang Mas Dalipin berubah pikiran dan mau menggelar kelas menulis. Andaikan puluhan penulis berpengalaman, dengan berbagai macam keahlian, gaya dan strateginya, masing-masing sukses mengajak ratusan orang untuk belajar menulis. Artinya, akan ada ribuan orang, terutama generasi muda belajar menulis. Banyak kok yang tidak keberatan, mentransfer ratusan ribu untuk belajar menulis.
ADVERTISEMENT
Berdosa itu kalau tidak ada yang belajar menulis. Keliru jika yang berpengalaman justru tidak memotivasi dan mengajarkan menulis. Selama saya sekolah formal, saya belum bertemu dengan guru yang menuntun saya menulis esai, membedah hasil tulisan, mengkoreksi dan mengawal perbaikannya.
Menjadi penulis mungkin bukan jalan menjadi mapan. Belajar menulis secara online juga bukan jalan bebas hambatan meraih cuan. Meskipun demikian, mengikuti kelas menulis online masih memungkinkan untuk naik kelas dari predikat pembaca menjadi seorang penulis, meskipun sebagai kegiatan sampingan. Naik kelas tidak harus naik sepeda brompton, bukan?
Makhsun Bustomi, pernah ikut "kelon" bersama penulis. Aparatur Sipil Negara, Tinggal di Tegal.