news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengetuk Pintu Rumah Sendiri

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
18 Juli 2021 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi yang sudah dilabeli predikat darurat, jangankan bertamu kepada kerabat atau sahabat, untuk keperluan penting sekalipun kita terhambat. Saat di rumah, saat menghindari kontak dan berjaga jarak, kita berharap tak ada tamu yang tiba-tiba ketuk-ketuk pintu, kecuali untuk keperluan mendesak. Apa boleh buat, dunia memang sedang melambat. Dan kita mesti mengikuti ritmenya.
ADVERTISEMENT
Ada kisah tentang seorang yang suka mengetuk pintu rumah warga. Dia bukan petugas sensus dari BPS yang bertamu untuk mengisi formulir pendataan yang dibawanya. Bukan Pak RT yang hendak menyampaikan undangan sosialisasi program pemerintah di balai desa. Juga bukan sales abate, obat jentik nyamu yang keliling berbaju putih-putih seolah-olah mereka dari Dinas Kesehatan. Bukan pula peminta sumbangan dari yayasan al-Sana atau al-Sini bermodal kalender baru.
Dia bukan cowok yang tengah ditunggu cewek sambil mendengarkan bait "Siapa sih malam Minggu ketuk-ketuk pintu" seperti tersurat dalam lagu dangdut. Lagi pula, generasi terkini, paling-paling janji ketemuan di kafe ber-wifi. Kontras dengan cowok generasi X yang harus mengumpulkan nyali untuk apel. Tantangan utamanya adalah melewati tembok cina berupa interogasi calon mertua.
ADVERTISEMENT
Si Tukang Ketuk
Dia adalah Van Der Tuuk (1824 -1894) seorang Belanda penyusun kamus Bahasa Kawi Bali Belanda atau Balineesch-Nederlandsch Wordordenboek (KBNW) yang dtekuninya selama 25 tahun.
Nah, Van Der Toook ini terdengar di kuping masyarakat Batak Toba pada era kolonial, seperti berbunyi "Pandortuuk" yang artinya "Tukang Ketuk". Julukan itu konon karena dia sering ketuk-ketuk rumah, untuk bertanya ketika dia bertemu kosa kata yang tak tahu artinya. Begitulah proses panjang dia menggali, mengumpulkan, menyusun kamus bahasa Batak yang pernah saya baca dalam tulisan P.Swantoro dalam bukunya yang berjudul Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Saya auto ingat kisah Tukang Ketuk ini saat membaca sebuah novel. Baru-baru ini saya sungguh malu, meskipun mengaku gemar membaca, saya baru mendengar kata "tergabas". Ini gegara membaca novel berjudul Fune O Amu karya Shion Miura. Novel yang dialihbahasakan dengan apik oleh Ninuk Sulistyawati berjudul Merakit Kapal.
ADVERTISEMENT
Bukan Salah Ketik
Semula saya berpikir, mungkin itu typing error, salah ketik. Untung saja, kamus daring dalam telepon cerdas di genggaman tangan kita siap melayani 24 jam. Salah satunya, KKBI Daring. Saya tak perlu berbaju batik, bertamu, lalu ketuk pintu tetangga dan bertanya penuh etika seperti Van Der Took, "Maaf, mengganggu. Saya datang sekadar ingin bertanya, apa artinya tergabas?".
Jangan-jangan, sayalah yang ketinggalan berita. Seberapa dalam pengetahuan orang lain tentang kosa kata ini? Jadi, saya putuskan untuk cek ombak. Sasaran pertama adalah anak SMP. Kebetulan dia, anak perempuan saya sendiri. Siapa tahu, “tergabas” adalah istilah zaman now, sejenis makhluk seperti kepo, selow, otw atau mager. Dia menggeleng, “Nggak tau”.
Lalu, saya kosa kata ini saya ujikan kepada teman saya. Dia kerap ditugasi sebagai MC dan cukup cerewet dalam memilih kata. Termasuk kala berdiskusi tentang cara menyapa dalam sambutan, apakah harus menyapa "Bapak Kepala Sekolah yang saya hormati" atau "Yang terhormat Bapak Kepala Sekolah". Tetapi ini kali dia berterusterang, "Maaf, saya baru mendengar kata tergabas".
ADVERTISEMENT
Baiklah, yang ketiga saya berguru pada seorang sahabat yang religius dan kerap dipercaya mengisi tausiyah di lingkungan RT. Serupa dengan jawaban sebelumnya, "Afwan, saya tidak faham". Kesimpulannya, saya awam dengan kosa kata “tergabas”, meskipun demikian saya tidak sendirian.
Sejak membaca novel itu, betapa saya jadi lebih menghargai kamus. Membayangkan baagaimana Mitsuya Majime bersama timnya puluhan tahun merakit kamus. mengapresiasi pekerjaan menyusun kamus, seperti merakit kapal. Mereka bukan cuma mengumpulkan, menyortir dan tetapi juga meng-update, menentukan gaya, memilih desain bahkan tak kalah penting mencari kertas yang tipis tetapi tak tembus pandang. Agar tak kelewat tebal tetapi punya "sensasi licin", mudah dibolak-balik. Memaknai kata memang pekerjaan besar yang tak berujung.
Foto : https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-on-chair-beside-table-reading-a-book
Tapi masalahnya, ternyata di rumah saya tak ada kamus Bahasa Indonesia. Kita kadang terlalu percaya diri tentang bahasa kita sendiri. Nyatanya, saya tak tahu "tergabas" itu apa. Kalau kamus Oxford sih jelas ada.
ADVERTISEMENT
Sekarang kita tinggal ketuk-ketuk layar hape. Satu dua sentuhan, saya akhirnya tahu, tergabas tertera, ternyata artinya tergesa-gesa, terburu-buru, tergopoh-gopoh. Saya membayangkan diri saya tanpa smartphone di tangan, mungkin saya seperti seperti Tukang Ketuk dari Belanda itu.
Kata “tergabas” justru saya temukan dalam buku berwujud kertas. Sepertinya waktu saya selama ini terhubung dengan berita-berita terkini. Terlena dengan tang-ting tung bunyi notifikasi wastapp. Terdistraksi oleh sajian-sajian Youtube. Terlalu banyak alternatif, sampai bingung mana yang harus dipilih. Di zaman banjir informasi memang kita sering merasa tertinggal, ketika teman membicarakan hal yang kita tak tahu.
Dalam dunia yang terkoneksi secara maya, takut kehilangan sesuatu seperti penyakit tak tersembuhkan. Fear of Missing Out (FOMO) bukan cuma membuat kita merasa ketinggalan. Bisa jadi merasa ditinggalkan. Tak ada dalam satu jam sekalipun dalam kesadaran kita tanpa mengetuk layar Ternyata kita menjelma menjadi manusia-manusia tukang ketuk dalam versi yang lain. Tukang Ketuk layar gawai.
ADVERTISEMENT
Pandemi ini menjadi waktu yang tepat. Waktu kita untuk sedikit melambat. Dalam situasi yang merumahkan kita, jika jenuh dengan berita “lagi-lagi corona, lagi-lagi COVID-19”, mengapa kita tidak menakar sendiri, seberapa banyak kita harus mengejar berita. Seberapa harus kita membuka bermacam tautan kiriman di watsapp.
Kita harus tahu kapan waktu meletakkan gawai. Kapan kita online, kapan kita offline, itulah masalahnya. Banyak orang tua berkeluh kesah tentang anak-anak yang tak bisa lepas dari layar gawainya. Kenapa orang tua juga tidak memulainya?
Kenapa tidak mencoba membaca novel, misalnya. Saat membaca “Merakit Kapal” saya terombang-ambing dan tergerak untuk memaknai kata ”tergabas”. Membaca buku adalah salah satu cara mengisi ritme yang lambat ini. Lalu, melanjutkannya dengan menuliskan perasaan dan pengalaman sekemampuan saya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja cara dan versi saya sendiri. Buat anda pasti ada jalan lain, Mumpung dunia yang sedang melambat, saatnya mengeksplorasi kecakapan aksara kita. Sepertinya ini diawali dengan mengetuk pelan-pelan, pintu rumah kita sendiri. Yakni, pintu kesadaran diri kita masing-masing. Mengisi jeda dengan literasi. Menjadwalkan diri untuk meletakkan gawai, banyak membaca lalu menulis. Tahu kapan saatnya menyentuh dan mengetuk gawai. Aktivitas membaca dan menulis adalah pekerjaan yang dilakukan pelan-pelan. Mumpung dunia tengah melambat, jangan terlalu tergabas.
Makhsun Bustomi, seorang ayah dan bekerja sebagai aparatur sipil negara. Tinggal di Tegal.