Menteri dan Kyai Dandy serta Presiden Yang Tidak Good Looking

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
8 September 2020 21:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gus Dur bukan sosok yang good looking.
Itu jika good looking diartikan sebagai penampilan menarik, enak dipandang atau setidaknya wajahnya tampak bagus ketika dipotret. Menilai secara visual memang subjektif dan mungkin tidak arif. Jadi sangat mungkin Anda tidak sepakat kalimat pembuka saya. Tetapi setidaknya ini bermakmum kepada pandangan Greg Barton, yang menulis The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.
ADVERTISEMENT
Ratusan kali Greg Barton memotret Gus Dur. Dalam kesempatan berkali-kali dan beberapa tahun interaksi, menurutnya tidak ada hasil jepretan yang dapat menggambarkan K.H. Abdurrahman Wahid dengan pas. Ujungnya ia berkesimpulan, jelas Gus Dur bukanlah seorang fotogenik.
Bagaimana tidak good looking-nya Gus Dur tercermin dari pilihan busananya. Rambutnya pun tidak disisir rapi. Tak heran, Barton mencatat bagaimana Gus Dur gemar memakai kemeja batik murahan. Sebuah momen mencatat, saat mengakhiri era kepresidenan Gus Dur keluar istana dengan celana pendek dan kaos oblong sembari melambaikan tangan. Adegan good bye yang sempat trending topic bahkan di banyak media asing.
Gus Dur / diunduh dari ltnnu.jabar
Kyai Yang Good Looking
Untuk berpenampilan keren, tak ada sanggahan bahwa busana adalah aksesoris utama. Lumrah saja, santri-santri bahkan kyai dengan kultur tradisional berpakaian sesuai dengan tradisi dan kultur desa yang bersahaja.
ADVERTISEMENT
Uniknya, Gus Dur justru seperti menjadi antitesis dari ayahnya, Kyai Wahid Hasyim dalam berpenampilan. Pada zamannya, nyaris seluruh kaum Islam tradisional identik dengan sarung, sandal jepit atau busana sederhana, tapi tidak dengan Kyai Wahid Hasyim. Beliau tampil necis. Bahkan saat berada di rumah untuk menemui tamu-tamunya.
Berkemeja lengan panjang, dasi, setelannya selalu serasi. Agar tampak rapi, ia bersiasat dengan mengikatkan karet elastis berkancing di kedua bahunya untuk menarik lengan kemeja. Tak lupa, jam tangan terpasang di tangan kiri. Tak pelak, mendapat predikat Kyai Dandy.
Menampilkan diri yang berbeda dari tradisi pesantren tradisional ala Kyai Wahid Hasyim ternyata ditemukan jejaknya sejak remaja. Sepotong kisah, beliau satu-satunya santri yang berani memakai celana, bukan sarung. Jelas, selain santri, beliau sekaligus putera dari pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, founder Nahdhatul Ulama.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana respon ayahnya, yang berarti kakek dari Gus Dur? Tentu saja, beliau marah. Wahid Hasyim remaja berargumen memakai celana tidak melawan agama. Sang ayahpun mengalah, membiarkannya. Ketika telah aktif berpolitik di Jakarta, ia selalu tampil necis meskipun di rumah. Beliau berkata, "Biar mereka belum tertarik gagasan kita, setidak-tidaknya tertarik kepribadian kita". (Wahid Hasyim, Untuk Republik dari Tebu Ireng, 2018, Tempo).
Argumen yang selaras dengan ungkapan jawa "ajining raga saka busana". Beliau hendak menunjukkan kepribadiannya yang rapi, menarik, modern dan tidak ketinggalan zaman lewat cara beliau berbusana.
Sudah pasti, gagasan jauh lebih penting menjadi tujuan, dibanding sekedar penampilan lahiriah. Kyai Wahid Hasyim sukses membuktikan. Tidak sekedar berontak dengan bercelana di antara tradisi santri bersarung saat remaja. Tidak hanya berhenti pada tampil dandy, tentu saja.
ADVERTISEMENT
Penampilannya seperti hendak merepresentasikan kepribadian dan sosoknya yang membawa wajah modern di balik latar belakang kultur santri yang secara stereotip dinilai ndesani. "Pemberontakan"nya menjelma menjadi pembaharu. Nyatanya, ia sukses dengan gagasannya.
Ia pembaharu pendidikan modern di pesantren. Gagasannya diaplikasikan dengan memasukkan kurikulum pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Jerman dalam kurikulum pesantren. Ia mengenalkan model pendidikan dialogis. Pendeknya, ia berkontribusi dalam memodernisasi sistem pesantren.
Kebiasaan tampil menarik lekat pada dirinya, di tengah stereotip kyai dan santri yang tradisional dan ndeso dan katakanlah tidak good looking. Tetapi berkat akhlak, kepemimpinan, keluasan intelektual, kuatnya gagasan, ia menjadi pemimpin muda. Ia tampil sebagai salah seorang perumus konstitusi negara, lalu Kyai yang dandy ini pada 1949 dipercaya menjadi Menteri Agama saat berusia 35 tahun.
ADVERTISEMENT
More than Life
Bagaimana dengan Gus Dur? Pergaulan beliau sangat luas. Tetapi ia tak mau repot dengan urusan good looking. Greg Barton memiripkannya dengan tokoh Letnan Columbo yang diperankan Peter Falk, yang pakaiannya tidak rapi dan menggunakan jas hujan, akan tetapi mampu memeriksa kasus justru karena ia dipandang remeh.
Saya jadi teringat sebuah tulisan Gus Dur bertajuk Bercermin dari Para Pemimpin, dalam buku Menjawab Perubahan Zaman. Ia sempat mengkomparasikan penampilan Mahatma Gandhi, yang sangat sederhana, hanya memakai kain tenunan sendiri. Padahal dia bisa saja hidup sebagai pengacara ternama.
Style Gandhi bertolak belakang dengan Ieyazu Tokugawa dengan busana kebesaran dan aksesoris raja-raja. Tetapi nama besar keduanya tak lekang dikenang zaman. Gandhi dihormati masyarakat India atas jasanya memelihara kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat. Tokugawa yang bergaya hidup di istana tidak menghalanginya untuk mendapat tempat istimewa, karena ide restorasi Meiji yang membangkitkan kemajuan Jepang.
ADVERTISEMENT
Cara kedua pempimpin berpenampilan, lebih luas lagi dikatakan oleh Gus Dur, cara hidup mereka yang berbeda, tidak menghalangi mereka dicintai rakyatnya. Alasan utamanya karena capaiannya lebih besar dari kehidupannya, more than life.
Gus Dur memang bukan sosok yang good looking, seperti ayahnya, Kyai Wahid Hasyim. Toh, sekadar masalah berpenampilan dimaklumi oleh KH. Hasyim As'yari. Apapun aksesoris yang terlihat secara visual tak perlu dibahas panjang-panjang. Sebab yang tampak terlihat dan yang selalu berkepanjangan adalah pengaruh dan pencapaian yang diwariskan.
Jika Kyai Wahid Hasyim yang tampil dandy, sebagai siasat untuk menujukkan kepribadian yang menarik, menjalin relasi, menguatkan pesan dan mengikat orang lain dengan gagasannya yang kuat. Sementara Gus Dur, secara kepribadian, setidaknya dilnilai oleh Barton, tumbuh secara menonjol dalam lingkungan, nyaris tidak ada saingan dalam intelektual dan minat, yang membuat kepercayaan dirinya yang besar. Kepercayaan dirinya inilah, justru diimbangi beliau dengan sikap rendah hati.
ADVERTISEMENT
Seperti ditunjukkan dalam berpenampilan, Gus Dur tidak elitis, sebaliknya selalu populis. Sikapnya santai dan enggan dengan protokoler, sekalipun saat ia menjadi orang nomor wahid di negeri ini. Beliau jelas bukan Soekarno, seorang presiden yang berupaya good looking.
Jakoeb Oetama pernah berkata, melihat lahiriah sosok Gus Dur yang berkemeja dan bersandal jepit bukan hanya lambang kesederhanaan dan kerakyatan pembawaan tradisi pesantren. Melampaui itu, mencerminkan kepolosan dan kejujuran jiwanya. Pendapat dan sikapnya senantiasa ditujukan dengan polos dan tentunya komunikasi ceplas ceplos.
Tetapi siapa yang berani meremehkan kedahsyatan pencapaian Gus Dur. Apa yang diwariskan Bapak Bangsa ini bahkan diakui dunia. Ia tak akan pernah dinilai dari kemeja batik murahan yang sulit dikancingkan. Tanpa berniat menutupi kelemahannya, Gus Dur adalah tokoh yang selalu bersemangat menyuarakan demokrasi, mempromosikan pluralisme, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan berada di depan dalam membela hak-hak azasi tanpa diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengingat semangat itulah, di rumah saya sengaja saya pasang potret Gus Dur. Lukisan denagan cat minyak yang saya pesan dari seniman lokal. Benar apa kata Greg Barton, potret Gus Dur yang terbaik selalu adalah foto-foto yang menggambarkan dirinya sedang tertawa.
Soal penampilan, bagi yang tidak fotogenik dan good looking seperti halnya saya, tertawa lebar adalah mungkin jalan termudah seperti yang dicontohkan Gus Dur. Lalu, bagaimana pendapat Anda dengan Menteri Agama Fachrul Razi, apakah beliau sosok yang good looking?
Makhsun Bustomi, SST, MSi, Litbang Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Kota Tegal. Tulisan dan esai-esainya dipublikasikan di banyak media antara lain Detik.com, Kumparan.com, Viva.co.id, Qureta.com, IBTimes.id dan media digital lainnya.
ADVERTISEMENT