Hal Menyebalkan dari Ojek Konvensional: Banyak yang Patok Tarif Mencekik

Malik Ibnu Zaman
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
20 Februari 2023 21:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Malik Ibnu Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengendara motor saat hujan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengendara motor saat hujan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun sekarang adalah eranya ojek online, tetapi ojek konvensional juga masih tetap eksis bahkan di perkotaan. Kalau kita berkunjung ke terminal, stasiun di Jakarta pasti dapat dengan mudahnya menemukan ojek konvensional.
ADVERTISEMENT
Adanya ojek konvensional tentu sangat membantu ketika tidak mempunyai aplikasi ojek online, atau ketika berada di daerah yang tidak terjangkau oleh ojek online. Namun, di sisi lain ada hal menyebalkan yang sering saya temui pada ojek konvensional yaitu tarifnya yang mencekik.
Saya masih ingat betul dahulu ketika pulang ke rumah dari pondok karena libur Maulid Nabi. Saat itu saya pulang bersama dengan teman sekamar saya yang kebetulan juga tetangga saya.
Biasanya saya kalau pulang itu lebih memilih jalur satu, yaitu naik kendaraan elef (bus mini) sampai pemberhentian terakhir, lalu naik lagi kendaraan bak terbuka, atau bisa juga naik ojek konvensional dengan tarif sesuai dengan tujuan
Tetapi saat itu saya lebih memilih jalur dua atas permintaan teman saya, jalur dua sama-sama naik kendaraan elef tetapi beda jurusan. Lalu turun sekitar pertengahan dilanjutkan dengan naik angkutan desa untuk bisa sampai ke rumah.
ADVERTISEMENT
Tetapi angkutan desa nggak tentu datangnya. Di situ juga banyak ojek konvensional, tetapi bukan pilihan utama karena tarifnya yang mencekik.
Cukup lama kami menunggu angkutan desa dari jam 3 sore, namun tidak juga kunjung datang. Berulang kali pula ojek konvensional datang menawarkan jasanya, ada yang memaksa, ada juga juga yang tidak. Karena sudah jam 5 teman saya meminta agar naik ojek saja. Berhubung dia tidak pandai negosiasi, akhirnya saya lah yang melakukan negosiasi.
Negosiasi berjalan dengan alot. Tidak menemui titik temu, ojek itu meminta Rp50 ribu. Tarif tersebut tentu sangat mencekik. Tentu saja saya menolak karena wajarnya Rp20 ribu.
Kemudian dia mengatakan bahwa tidak ada lagi angkutan desa yang lewat, lalu mengatakan Rp50 ribu dibagi dua yaitu dengan berboncengan telu (cenglu). Teman saya pun meminta saya untuk menyetujuinya dengan alasan daripada kemalaman.
ADVERTISEMENT
Ojek pun meminta agar bayar terlebih dahulu. Saya Rp25 ribu, teman saya Rp25 ribu. Ketika di tengah perjalanan berpapasan dengan paman saya yang hendak menjemput saya. Lalu saya pun meminta berhenti, lalu turun. Nah, teman saya juga malah ikutan turun, ojek pun langsung putar balik.
Dalam hati saya jengkel juga seharusnya teman saya nggak usah ikut turun, minta diantar saja sampai tujuan. Karena masalahnya sudah membayar dengan tarif tinggi. Biarlah saya saja yang membonceng paman, tetapi jadinya teman saya juga ikut membonceng paman saya. Jadilah cenglu juga.
Kejadian lainnya adalah saat pertama kali saya datang di Jakarta. Seperti yang diarahkan oleh paman, untuk sampai ke kontrakan paman dari terminal hanya perlu naik metromini.
ADVERTISEMENT
Menunggulah saya sambil tengok kanan kiri barangkali bukan pada tempat biasa metromini berhenti. Ojek konvensional datang silih berganti, ada yang ketika saya menolak langsung pergi, ada yang ketika saya menolak berulang kali pula memaksa untuk menggunakan ojek.
Lalu ada satu ojek konvensional yang mengatakan bahwa metromini sudah tidak beroperasi lagi. Sebagai orang yang pertama kali datang ke Jakarta, saya percaya saja. Saya pun memutuskan untuk menggunakan ojek konvensional. Eh pas di tengah jalan ternyata berpapasan dengan metromini. Sudah begitu tarifnya minta ditambahkan lagi.
Kejadian lainnya saat saya pulang ke kampung halaman dari Jakarta, turun di jalan lintas kecamatan. Baru satu langkah saya turun dari bus, tas saya langsung disambar dinaikkan ke motor.
ADVERTISEMENT
"Ayo, Mas, mau ke mana?" begitulah ujarnya.
Mau tidak mau akhirnya saya naik ojek dong. Eh, pas sampai minta tarifnya sungguh mencekik kantong saya.
Kalau diceritakan lagi masih banyak, sih, apa yang saya alami terkait dengan tukang ojek yang memberikan tarif yang mencekik. Ketika mengalami hal tersebut yang hanya bisa saya lakukan adalah ikhlas dan menguatkan diri bahwa pasti akan mendapatkan gantinya.