Konten dari Pengguna

Betapa Menyakitkannya Punya Pembimbing Skripsi Feodal

Maliki Sirojudin Agani
Legal Consultan Di Hypatia Legal Specialis
24 September 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maliki Sirojudin Agani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Iddian, (2022) menjelaskan bahwa budaya feodal itu akibat dari sisa mental penjajah yang masih bertengger dinegara kita, itu kenapa dospem yang feodal itu hobinya menindas mahasiswa bimbinganya.
Bing Image Creator

Gaya Elit Ketemu Sulit

Bayangkan saja, ketika kamu datang ke ruangannya dengan harapan bisa bertemu dan membahas progres skripsi, jawaban yang didapat selalu alasan klasik. "Lagi rapat," katanya, dengan nada yang mengisyaratkan bahwa rapat tersebut seolah-olah berlangsung sepanjang waktu, bahkan mungkin 24/7. Kalau tidak lagi rapat, ada lagi jawaban andalan: "Lagi di luar kota." Kesannya seperti pembimbing kita ini adalah seorang diplomat internasional yang terus berpindah-pindah dari satu konferensi ke konferensi lain, tanpa henti.
Dan favorit semua orang, "Lagi ada urusan keluarga." Entah itu benar atau tidak, rasanya alasan ini sudah terlalu sering dipakai sampai-sampai kita hafal jadwal urusan keluarga si pembimbing. Kadang, rasanya lebih gampang ketemu selebriti di acara red carpet dibandingkan ketemu pembimbing sendiri di kampus.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini bikin kita merasa seperti agen rahasia yang sedang mencari target yang terus bergerak. Kita jadi sering mengintip ke ruangannya, berharap melihat sekelebat bayangannya atau sekadar mendengar suaranya yang khas. Setiap kali melihat pintu ruangannya terbuka, harapan pun membuncah hanya untuk kemudian dihancurkan oleh kenyataan bahwa yang ada di dalam bukanlah sang pembimbing, tapi rekan kerjanya atau bahkan mungkin cleaning service yang sedang bekerja.
Kalau akhirnya berhasil nge-chat, siap-siaplah buat nunggu balasan yang lebih lama dari pengumuman sidang skripsi. Tiap buka WhatsApp, harap-harap cemas nunggu centang biru yang entah kapan munculnya. Rasanya kayak nunggu jodoh datang di acara pernikahan orang lain, lama dan nggak pasti. Begitu dibales, eh, cuma dapat jawaban singkat yang lebih nggak membantu daripada petunjuk dari papan ouija.
ADVERTISEMENT
Momen-momen seperti ini bisa sangat frustrasi, menguji kesabaran, dan tentu saja, menguras energi. Setiap kali berhasil mendapat jadwal bimbingan, rasanya seperti memenangkan lotere.

Si Merasa Paling Benar

Pendapat mereka? Maha benar! Kayak ada undang-undang tak tertulis bahwa semua yang keluar dari mulut mereka itu firman. Setiap kali mereka bicara, rasanya seperti mendengar pidato penting dari seorang pemimpin agung. Seakan-akan, apapun yang mereka katakan, mulai dari teori ilmiah sampai pandangan pribadi, harus diterima tanpa pertanyaan. Kalau kita berani-beraninya punya pendapat lain, atau yang lebih parah, mengkritik, siap-siaplah dapat tatapan sinis yang bisa membuat kita merasa seperti murid yang sangat kurang ajar.
Tatapan sinis itu, teman-teman, adalah pertanda bahwa kita telah menyentuh topik terlarang. Kalau kita nekat, mungkin kita juga akan mendapat kuliah tambahan tentang pentingnya hormat pada yang lebih senior. Ini biasanya dimulai dengan kalimat, “Kamu tahu nggak, di zaman saya dulu…,” dan berlanjut dengan serangkaian nasihat panjang lebar yang membuat kita merasa sedang berada dalam kelas sejarah alih-alih bimbingan skripsi.
ADVERTISEMENT
Padahal, niat kita mengkritik atau memberikan saran itu baik, cuma supaya skripsi kita jadi lebih baik. Kita ingin memastikan semua sudut pandang terbahas dengan lengkap dan argumentasi kita kuat. Tapi ya, apa daya, kritik kecil aja bisa bikin suasana jadi awkward seakan-akan kita baru aja ngomong kalau bumi itu datar. Atmosfer yang tadinya mungkin tenang mendadak berubah tegang. Semua kata-kata yang ingin kita ucapkan terasa tercekat di tenggorokan, dan kita cuma bisa berharap bimbingan cepat berakhir tanpa ada drama tambahan.

Si Paling Baperan

Lebih parahnya lagi, kalau kita berani mengkritik atau sekadar menyarankan sesuatu, mereka bisa baper abis. Ya, baper alias bawa perasaan. Kalau sudah begini, bisa-bisa kita yang harus ekstra usaha buat ngebaikin suasana. Padahal, niat kita cuma ingin ngobrol profesional tentang penelitian, tapi malah jadi kayak lagi negosiasi damai internasional.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, kita sudah mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan pendapat atau kritik konstruktif. Tapi begitu selesai bicara, raut wajah pembimbing langsung berubah. Mimik wajah yang tadinya mungkin ramah atau setidaknya netral, mendadak jadi tegang. Mata mereka mungkin mulai menyipit, dan ada jeda hening yang tidak nyaman sebelum mereka merespons. Pada saat itu, kita bisa merasakan udara di ruangan jadi lebih berat, seolah-olah ada awan hitam kecil yang muncul di atas kepala mereka.
Tiba-tiba, kita menyadari bahwa diskusi yang seharusnya berlangsung santai dan profesional berubah menjadi momen yang penuh kehati-hatian. Setiap kata yang akan keluar dari mulut kita berikutnya harus dipikirkan dengan sangat matang. Kita harus menimbang-nimbang apakah kalimat kita akan menambah ketegangan atau bisa membantu meredakan suasana.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pembimbing yang sudah baper mungkin mulai mengeluarkan komentar-komentar defensif. Mereka bisa jadi mulai membela diri atau menjelaskan panjang lebar kenapa pendapat mereka yang paling benar. Dalam situasi seperti ini, kita harus memainkan peran diplomatik. Memuji sedikit di sana-sini, mencoba mencari titik temu, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang lebih halus dan tidak konfrontatif. Intinya, kita jadi lebih banyak mengangguk dan mengatakan hal-hal seperti, “Oh, iya, saya mengerti maksud Bapak/Ibu,” sambil dalam hati bertanya-tanya kapan pembimbing akan kembali ke mode profesional.
Semua usaha ekstra ini dilakukan hanya untuk menjaga hubungan tetap baik dan agar proses bimbingan bisa berjalan lancar. Tapi, lelahnya luar biasa. Rasanya seperti menjadi diplomat yang sedang mengupayakan perdamaian dunia, padahal topiknya hanya tentang bab dua skripsi.
ADVERTISEMENT

Bijaklah Dalam Memilih Dosen Pembimbing

Maka pesan ku, hindarilah dosen berwatak feodal karena memilih dosen yang berwatak feodal berarti seni mempersusah hidupmu sendiri.
Bayangkan, memilih dosen pembimbing yang berwatak feodal itu seperti menandatangani kontrak untuk hidup di bawah tekanan konstan. Dari susahnya menemui mereka hingga ke sensitivitas berlebihan terhadap kritik, semua ini menjadi bagian dari paket yang akan membuat perjalanan menyusun skripsi jauh lebih berat dari seharusnya.
Saat dosen pembimbing yang berwatak feodal memutuskan bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar, ruang untuk diskusi dan inovasi menjadi sangat sempit. Kita, sebagai mahasiswa, diharapkan untuk mengikuti panduan mereka tanpa pertanyaan, seolah-olah kita adalah bagian dari pasukan yang harus tunduk pada perintah tanpa kesempatan untuk berpikir kritis atau menawarkan ide baru.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, jika kita berani mengkritik atau sekadar menyarankan sesuatu, risiko membuat mereka baper sangat besar. Situasi ini tidak hanya membuat proses bimbingan menjadi tegang, tetapi juga menambah beban mental. Alih-alih fokus pada isi dan kualitas skripsi, kita harus berstrategi bagaimana menyampaikan pendapat tanpa memancing reaksi negatif. Setiap pertemuan bimbingan bisa berubah menjadi arena pertempuran emosional, di mana kita harus pandai-pandai menjaga perasaan mereka agar suasana tetap kondusif.
Ketika suasana sudah terlanjur tegang, kita yang harus berusaha keras untuk memperbaikinya. Alih-alih mendapatkan bimbingan yang efektif, kita malah sibuk menjadi diplomat yang berusaha menenangkan suasana. Ini tentu saja memakan waktu dan energi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi.
ADVERTISEMENT
Maka, bijaklah dalam memilih dosen pembimbing. Cari tahu dulu reputasi mereka dari senior atau teman yang pernah dibimbing. Pilihlah dosen yang terbuka untuk diskusi, mau mendengarkan pendapat, dan tidak mudah baper. Dengan begitu, perjalanan menyusun skripsi bisa menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan produktif, bukan sebaliknya. Hindari dosen berwatak feodal untuk menghindari seni mempersusah hidupmu sendiri.