Konten dari Pengguna

Kritik Legalisme Liberal: Kecacatan Hukum Dalam Membaca Realitas Kompleks

Maliki Sirojudin Agani
Legal Consultan Di Hypatia Legal Specialis
24 September 2024 9:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maliki Sirojudin Agani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Umum kita ketahui bahwa dalam wacana hukum, kita berkiblat pada konsep legisme liberal. konsep yang menekankan pada supremasi hukum, kebebasan individu, dan penerapan aturan yang ketat. Sistem ini mengedepankan keadilan prosedural dan menganggap hukum sebagai instrumen yang netral dan objektif.
Tentu tidak ada konsep hukum yang sempurna dimuka bumi ini sehingga setiap celahnya harus ditambal dengan kritik. kritik terhadap legalisme liberal telah muncul dari berbagai pemikir, salah satunya adalah Philip Selznick dan Robert Nonet. Dalam karya mereka Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (1978), mereka menyoroti kelemahan legalisme liberal yang terlalu formalistik dan kaku, serta kegagalannya untuk mengakomodasi dinamika sosial yang selalu berubah.
Bing Image Creator

Kekakuan Hukum dalam Legalisme Liberal

Salah satu kritik utama yang diajukan oleh Nonet dan Selznick adalah bahwa legisme liberal terlalu formalistik dan kaku dalam penerapannya. Legalisme liberal mendasarkan diri pada kepatuhan ketat terhadap aturan dan prosedur yang telah ditetapkan, tanpa memperhitungkan konteks sosial atau kondisi nyata yang sering kali sangat beragam. Dalam pendekatan ini, hukum dipandang sebagai sistem yang mandiri, otonom, dan tidak dipengaruhi oleh realitas sosial di sekitarnya. Dengan demikian, setiap permasalahan hukum harus diselesaikan berdasarkan aturan tertulis, tanpa mempertimbangkan kondisi khusus yang mungkin mempengaruhi keadilan substantif.
ADVERTISEMENT
Kekakuan ini sering kali menimbulkan masalah ketika hukum dihadapkan pada situasi yang kompleks dan dinamis. “Hukum yang formalistik” cenderung tidak responsif terhadap perubahan sosial dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat yang berkembang. Misalnya, ketika terjadi perubahan dalam struktur ekonomi atau sosial, legalisme liberal mungkin gagal untuk menyediakan solusi hukum yang relevan karena terikat pada aturan-aturan yang sudah ada. Ketidakmampuan hukum untuk beradaptasi dengan cepat dalam merespons dinamika sosial ini menjadikannya kurang efektif dalam menghadapi tantangan baru, terutama dalam konteks globalisasi, teknologi, dan mobilitas manusia yang terus meningkat. Maka tak heran ada adagium mengatakan bahwa Het Recht Hink Achter De Feiten Aan yang artinya Hukum senantiasa tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT

Ketidakmampuan Mengakomodasi Dinamika Sosial

Selain masalah kekakuan, legisme liberal sering kali gagal mengakomodasi dinamika sosial yang bersifat kompleks dan beragam. Nonet dan Selznick berpendapat bahwa hukum harus mampu memahami konteks sosial yang melingkupi setiap permasalahan hukum. Mereka berargumen bahwa kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dari hukum, karena hukum seharusnya berfungsi untuk melayani masyarakat, bukan sekadar menegakkan aturan.
Dalam praktiknya, legalisme liberal cenderung mengabaikan konteks sosial yang beragam dan kondisi khusus yang mungkin memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel. Misalnya, dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok masyarakat yang termarjinalkan atau minoritas, aturan-aturan formal yang ketat mungkin tidak memadai untuk menangani ketidaksetaraan atau diskriminasi struktural. Legalisme liberal sering kali gagal memahami bahwa dalam situasi-situasi tertentu, aturan yang sama tidak selalu memberikan hasil yang adil bagi semua pihak. Keadilan prosedural yang menjadi fokus utama legalisme liberal tidak selalu berujung pada keadilan substantif, terutama ketika permasalahan sosial yang mendalam seperti ketimpangan ekonomi, rasial, atau gender tidak ditangani dengan cukup sensitif oleh sistem hukum yang kaku.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dalam masyarakat yang mengalami ketidaksetaraan ekonomi yang signifikan, hukum yang hanya berfokus pada aturan formal dan kebebasan individu mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah distribusi kekayaan atau akses terhadap sumber daya. Aturan yang sama yang diterapkan kepada semua orang tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial-ekonomi mereka justru dapat memperburuk ketidakadilan, karena mereka yang lebih lemah secara sosial atau ekonomi akan kesulitan memanfaatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Legalisme liberal tidak mampu menyesuaikan diri dengan kompleksitas masalah sosial-ekonomi ini, karena sistem ini cenderung menganggap bahwa semua individu berada pada posisi yang sama dan setara di hadapan hukum.
Kegagalan legalisme liberal untuk mengakomodasi dinamika sosial dan memberikan solusi hukum yang lebih responsif tidak hanya berdampak pada efektivitas hukum itu sendiri, tetapi juga pada legitimasi sistem hukum dalam masyarakat. Ketika hukum tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat yang berubah, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dapat berkurang. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili atau tidak dilayani oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kegagalan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural melalui pendekatan hukum yang lebih fleksibel dapat memperdalam kesenjangan sosial dan memperburuk konflik di masyarakat. Hukum seharusnya berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar menegakkan aturan. Jika hukum hanya berfungsi sebagai instrumen untuk mempertahankan status quo dan tidak memberikan ruang bagi perubahan sosial yang diperlukan, maka peran hukum dalam mempromosikan keadilan akan menjadi terbatas.
Sebagai alternatif, Nonet dan Selznick mengusulkan konsep “hukum responsif” yang menekankan pentingnya fleksibilitas dalam hukum dan perlunya mempertimbangkan konteks sosial dan kondisi masyarakat yang berubah. Hukum responsif tidak hanya berfokus pada aturan dan prosedur formal, tetapi juga pada “hasil akhir” yang berkeadilan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Dengan pendekatan ini, hukum tidak hanya menjadi alat kontrol sosial, tetapi juga alat untuk mendorong perubahan sosial yang positif dan mengatasi ketidakadilan struktural.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem hukum responsif, konteks sosial, dinamika ekonomi, dan kebutuhan masyarakat dipertimbangkan dalam penerapan hukum, sehingga hukum dapat berfungsi dengan lebih efektif dan adil. Hukum tidak lagi dilihat sebagai sistem yang otonom dan terlepas dari realitas sosial, melainkan sebagai bagian dari proses sosial itu sendiri, yang harus selalu disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.