Bernegara Tanpa Ideologi

Mamun Murod AlBarbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
Konten dari Pengguna
30 Juni 2020 19:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mamun Murod AlBarbasy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Civitas akademika UGM mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila secara daring atau online melalui Google Meet dan siaran Youtub. Foto: Dok. Humas UGM
zoom-in-whitePerbesar
Civitas akademika UGM mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila secara daring atau online melalui Google Meet dan siaran Youtub. Foto: Dok. Humas UGM
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ma’mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara adalah buah dari musyawarah yang penuh komitmen di antara para negarawan dan pendiri bangsa ini. Tercapainya komitmen ini membutuhkan jiwa kenegarawanan, kelapangdadaan, dan kesadaran untuk berkompromi dan bersatu di antara anak bangsa bagi lahirnya suatu ideologi yang menganyomi semuanya, mengayomi kebhinnekaan bangsa Indonesia yang tumbuh secara natural.
Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran ideologis saat pembahasan ideologi negara pada persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, Dokuritu Zyunbi Tyoosa-kai). Menggambarkan tiga hari pembahasan ideologi negara di BPUPK, sejak tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945 yang mengundang perdebatan sengit dan perbedaan tajam antara kelompok Islam yang menghendaki dasar negara Islam dengan kelompok nasionalis yang menghendaki Pancasila sebagai ideologi negara, hingga akhirnya dapat dikompromikan secara elegant ke dalam sebuah rumusan ideologi “jalan tengah” yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Soekiman Wirdjosandjojo menyebut kompromi yang elegant ini sebagai gentlemen agreement.
ADVERTISEMENT
Ketika dirasa masih belum bulat dan sempurna, masih ada ganjalan bagi sebagian kecil anak bangsa terkait Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta, yaitu Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya –sesuatu yang sebenarnya wajar saja dalam iklim demokrasi yang tak mungkin dapat mengakomodir kepentingan semua pihak secara menyeluruh, maka kembali terjadi kompromi ideologis yang bersifat terbatas di antara para pendiri bangsa untuk kembali menyepakati narasi-narasi ideologis yang dapat diterima secara utuh dan sempurna oleh semua elemen bangsa. Maka Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta pun diubah pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi hanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ki Bagus Hadikusumo (Raden Hidayat) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah dinilai paling berjasa atas perubahan isi Piagam Jakarta. Risalah PPKI dan sejarah yang ditulis banyak pihak mencatat dengan baik bahwa Ki Bagus Hadikusumo-lah tetua kelompok Islam yang menawarkan perubahan Tujuh Kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Penegasan ini penting, sebab ada sebagian narasi sejarah yang ditulis oleh “pihak lain” yang mencoba mengaburkan peran kesejarahan Ki Bagus Hadikusumo di antara tanggal 17-18 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Bukan karena ini terkait Ki Bagus Hadikusumo sehingga penegasan ini menjadi penting, tapi semata terkait sejarah yang akan dibaca oleh generasi penerus bangsa. Sejarah memang kerap dipahami sebagai milik orang yang berkuasa atau para pemenang. Tapi sejarah dalam pengertian ini tak boleh hadir dan tampil dominan. Sejarah harus dibangun dan ditulis dengan semangat dan menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan bertanggungjawab. Dan sejarah yang jujur dan bertanggung jawab tegas menyebut peran kesejarahan Ki Bagus Hadikusumo dalam perubahan Tujuh Kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tanpa adanya kesadaran ideologis ini, maka selain tak mungkin mempunyai ideologi negara yang mampu mengayomi kebhinnekaan, Indonesia yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan (muqaddimah, preambule) UUD 1945 pun dipastikan tak akan pernah terwujud.
ADVERTISEMENT
Nestapa Ideologi Pancasila
Meskipun hampir 75 tahun Pancasila telah disepakati menjadi ideologi negara, namun dalam praktik berbangsa dan bernegara, Pancasila tak pernah (di)hadir(kan) layaknya sebuah ideologi yang seharusnya memandu dan membimbing arah perjalanan negara ini.
Kalau merujuk pada pengertian ideologi yang ditawarkan Alfian, di mana ideologi dipahami sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang suatu masyarakat (dan masyarakat dalam arti luas disebut negara) tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dapat dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan (1992: 187), maka seiring disepakatinya Pancasila menjadi ideologi negara seharusnya mampu membimbing bangsa ini sesuai kehendak arah yang tertuang secara filosofis dalam Pancasila.
ADVERTISEMENT
Dengan kesadaran ideologis, Pancasila semestinya dijadikan sebagai pandangan hidup atau sistem nilai bersama untuk menggapai tujuan yang termaktub dalam sila-sila Pancasila. Namun yang terjadi saat ini, jangankan menjadikan Pancasila sebagai way of life atau value system, posisi Pancasila sebagai ideologi pun masih kerap dipersoalkan. Indonesia benar-benar seperti negara tanpa ideologi.
Penyebabnya, pertama, masih adanya kelompok yang masih belum tuntas dalam memposisikan Pancasila sebagai ideologi negara. Masuknya RUU HIP dalam prolegnas 2020 menegaskan masih adanya kelompok dan bahkan partai tertentu yang merasa belum tuntas dengan rumusan Pancasila yang ada saat ini. Masih ada yang mencita-citakan hadirnya “Pancasila lain”, Pancasila yang “diperas-peras”, yang secara filosofis tentu berbeda dengan Pancasila produk perjanjian agung (mitsaqan ghalidza) versi 22 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Kedua, terjadinya penyimpangan ideologis terkait penerapan Pancasila yang biasanya identik dan melekat dilakukan oleh mereka yang secara politik tengah berkuasa. Pancasila adalah way of life atas bangsa ini. Sebagai way of life, maka wujud praksisnya semestinya selain diterapkan oleh dan di masyarakat, juga tergambar dari kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh mereka yang tengah penguasa. Kalau sudah bersepakat dengan Pancasila semestinya bersepakat pula untuk menghadirkan Pancasila dalam semua produk kebijakan, produk perundangan-undangan, dan berkomitmen untuk menghadirkannya di wilayah publik. Pancasila tak seharusnya berhenti hanya sebagai idoelogi negara yang dengan mudah dan lantang diucapkan dan dikampanyekan, tapi juga seharusnya diterapkan secara praksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila membutuhkan satunya kata dengan perbuatan (integritas).
ADVERTISEMENT
Saat ini, Pancasila nyaris hanya diposisikan sebatas sebagai ideologi negara. Nilai-nilainya tak mampu hadir sebagai pembebas. Sila-silanya tak mampu menerangi masyarakat dan elit politik negeri ini dalam pembuatan segala kebijakan. Sinarnya nyaris tak mampu menembus penghalang (hijab) yang sangat tebal dalam bentuk ketamakkan kuasa yang emoh dan bahkan vis a vis dengan Pancasila. Tak heran kalau kebijakan-kebijakan politik yang dibuat pun mengabaikan nilai-nilai Pancasila.
Padahal konsekuensi dari negara yang mendasarkan pada Pancasila, praktik bernegaranya pun semestinya dilandasi oleh komitmen untuk tegaknya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, musyawarah, persamaan, dan pemerataaan. Sebaliknya, kekuasaan yang sewenang-wenang, praktik politik yang liberalistik, pembiaran terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi, ketidakadilan dalam penegakkan hukum, yang –semuanya– dipastikan tak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, juga semestinya tak terjadi di Indonesia. Namun realitasnya, Pancasila “yang seharusnya” (das sollen) nyaris tak hadir di alam “yang senyatanya” (das sein). Inilah pencerminan nyata bernegara tanpa ideologi. Sekian.
ADVERTISEMENT