Curhat Petani di Sulut Minta PPKM Dihentikan: Kami Susah Jual Hasil Pertanian

Konten Media Partner
6 September 2021 20:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ivon Sumayku, petani asal Guaan, Kabupaten Boltim, Sulawesi Utara, saat menjajakan wortel yang dipanennya dari lahan pertaniannya. Ivon mengaku selama ada PPKM, hasil pertanian sangat sulit dijual. (foto: febry kodongan/manadobacirita)
zoom-in-whitePerbesar
Ivon Sumayku, petani asal Guaan, Kabupaten Boltim, Sulawesi Utara, saat menjajakan wortel yang dipanennya dari lahan pertaniannya. Ivon mengaku selama ada PPKM, hasil pertanian sangat sulit dijual. (foto: febry kodongan/manadobacirita)
ADVERTISEMENT
Ivon Sumayku, hanya bisa memandangi wortel hasil panen dari lahan pertanian miliknya, yang masih belum terjual. Masih ada beberapa karung yang belum terjual, karena kurangnya permintaan. Tak hanya itu, para pengepul yang biasanya membeli langsung, juga terhalang aturan penyekatan di perbatasan.
ADVERTISEMENT
"Rugi pak. Biaya bibit, pupuk dan biaya perawatan tidak bedo (imbang), dengan harga yang terjual. Itupun kalau terjual," kata Ivon, petani asal Desa Guaan, Kabupaten Boltim di Sulawesi Utara, saat berbincang dengan manadobacirita.
Kebijakan PPKM Tak Disertai Solusi
Ivon menceritakan, sejak ada kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM, hasil pertanian yang dihasilkan petani, justru tak bisa terjual. Dikatakannya, hal ini merupakan efek ditutupnya rumah makan dan tidak adanya acara pesta, membuat sayuran dan hasil pertanian lainnya tak laku.
Petani batang bawang di Modoinding, Kabupaten Minsel, saat memanen hasil pertaniannya. (foto: febry kodongan/manadobacirita)
“Ada konsumen saya yang biasa beli banyak yang dipakai untuk kebutuhan acara, sekarang sudah menurun. Di pasar juga sudah sangat menurun. Jadi otomatis, dengan adanya PPKM ini, sangat berdampak sekali kepada kami para petani holtikultura,” ujar Ivon.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sebelum ada PPKM, harga jual untuk satu karung wortel isi 40 kilogram bisa mencapai Rp 700 ribu. Harga tersebut tergantung banyaknya panen atau tidak. Kalau banyak yang panen, harga wortel Rp 500 ribu. Tapi, sekarang harganya menurun drastis hingga Rp 150 ribu per karung.
Ivon mengaku, selama pandemi terjadi, tak ada solusi yang diberikan dari pemerintah. Apalagi kondisi diperparah dengan adanya PPKM. Akibat PPKM ini, tak hanya harga yang turun drastis, jumlah penjualan juga dari biasanya mencapai 20 hingga 30 karung, kini tinggal lima karung saja.
"Sudah harganya jatuh, penjualan juga lesu. Akibatnya kami harus memikir cara untuk mengembalikan biaya selama tanam sampai panen. Tidak kembali pokok, rugi,” ujarnya.
Petani di Kecamatan Modoinding, Minahasa Selatan, memaneng batang bawang di lahan pertanian mereka. (foto: febry kodongan/manadobacirita)
Hal yang sama dirasakan, Vikson Paruntu, petani di Desa Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan. Menurutnya, kerugian yang dialami akibat kebijakan PPKM sangat besar, terlebih khusus petani holtikultura seperti mereka, yang tanamannya cepat busuk, jika tak terjual.
ADVERTISEMENT
Menurut Vikson, sejak diberlakukannya PPKM, para pengepul yang hendak membeli hasil tani langsung ke petani, sudah menurun drastis karena tertahan kebijakan di perbatasan. Padahal, 80 persen hasil pertanian dibeli oleh para pengepul, yang nantinya akan kembali dijual di daerah-daerah lain.
"Karena tidak ada lagi yang memborong hasil pertanian kami, akhirnya hanya bisa dijual di daerah sendiri. Jadi, banyak yang tidak laku dan ujung-ujungnya busuk. Jadi, kami rugi dua kali," ujar Vikson.
Vikson berharap kepada Pemerintah, agar segera menghapus kebijakan PPKM yang sudah sangat menyengsarakan petani holtikultura. Selain itu, jika memang PPKM tak bisa dihapus, harusnya pemerintah mencarikan solusi terbaik untuk para petani.
"Kami hanya bisa berharap agar kami mendapatkan keadilan," ujar Vikson kembali.
ADVERTISEMENT
Daya Beli Warga Menurun Drastis
Suasana Pasar Tradisional di Kabupaten Minsel
Sementara itu, Silvana Umboh, pedagang pasar tradisional yang ditemui manadobacirita di Minsel, mengaku selama pandemi berlangsung, daya beli masyarakat sangat menurun. Dikatakannya, pasar tak seramai sewaktu belum ada pandemi.
“Sudah tidak seramai dulu. Banyak yang datang hanya beli seadanya, tidak lagi seperti dulu," kata Silvana.
Silvana membenarkan, harga sayuran dan tumbuhan holtikultura lain, mengalami penurunan harga drastis, karena kurangnya warga yang membeli. Bahkan, pedagang di pasar tak lagi mau mengambil stok tanaman seperti daun bawang, kubis dan sayuran lain, karena selain keuntungan hanya kecil, risiko untuk rusak lebih banyak.
"Kalau mo baspekol (spekulasi) ambil banyak, justru kami yang rugi. Soalnya, keuntungan satu ikat itu sangat kecil. Belum lagi kalau dia busuk. Jadi, memang pedagang dan petani sama-sama susah sekarang," ujar Silvana kembali.
ADVERTISEMENT
febry kodongan