Kesalahan Pembaca dalam Menafsirkan Cerpen “Cat Person”

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2017 1:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. (Foto: Huffington Post)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. (Foto: Huffington Post)
ADVERTISEMENT
Pekan lalu, sebuah cerita pendek (cerpen) yang dipublikasikan oleh New Yorker menjadi viral. Walaupun telah dimuat dalam rubrik fiksi, masih banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut saat membacanya. "Cat Person" adalah cerita pertama Kristen Roupenian untuk majalah New Yorker.
ADVERTISEMENT
Sebagian pembaca yang membaca cerita pendek ini melalui Twitter, mengira bahwa “Cat Person” adalah sebuah artikel, esai, atau potongan narasi; dan tidak memposisikannya sebagai sebuah cerpen.
Salah satu komentar pembaca yang ditulis untuk New Yorker menyebut bahwa ia tidak menyadari bahwa tulisan tersebut adalah fiksi, bukan produk jurnalisme sampai ketika ia mencapai penghujung cerita yang diakhiri tanpa sebuah kesimpulan/nilai moral. Pembaca yang lain awalnya mengira bahwa tulisan tersebut adalah sebuah artikel karena ia mengasumsikan bahwa setiap tulisan yang diterbitkan oleh majalah New Yorker merupakan bagian dari produk jurnalistik.
Mengapa begitu banyak orang yang salah kaprah menafsirkan "Cat Person"?
Mungkin karena “Cat Person” ditulis tanpa menggunakan analogi yang rumit. Tempat-tempat yang disebutkan dalam cerita tersebut sangat familiar. Bahkan bahasa yang digunakan oleh penulis merupakan bahasa sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Narasi cerpen ini sangat meresahkan, karakterisasi protagonisnya dengan tajam diamati dengan cara yang terasa sangat nyata bagi generasi milenial. “Cat Person” tampaknya telah melampaui bentuknya sebagai sebuah cerita pendek atau lebih tepatnya ditulis dengan plot yang membuat perbedaan antara fiksi dan nonfiksi menjadi runtuh.
Pada titik ini, menurut saya cerpen “Cat Person” telah ditulis secara cerdas. Pandangan saya tentu bersifat subjektif, namun cerpen ini barangkali dimaksudkan untuk mengkritisi perkembangan karya sastra kontemporer di Amerika Serikat.
Cerita pendek ini berpusat pada dua karakter. Margot, seorang mahasiswa berusia dua puluh tahun dan Robert, lelaki canggung berusia tiga puluhan. Ceritanya terasa sangat mengalir dengan penggunaan gaya realis dan sebagian besar isinya ditulis dalam perspektif Margot.
ADVERTISEMENT
“Cat Person” menceritakan hubungan yang baru terjalin antara Margot dan Robert. Komunikasi di antara mereka berdua dilakukan terutama melalui pesan teks, setelah mereka bertemu di bioskop tempat Margot bekerja paruh waktu. Seiring perkembangan cerita, semakin jelas bahwa Robert bukanlah orang yang diproyeksikan Margot dalam sebagian besar pesan teksnya, juga bukan seseorang yang ia inginkan. Hubungan itu mengalir menuju sebuah klimaks, lalu berakhir.
Ketika "Cat Person” dipublikasikan pertama kali pada 11 Desember 2017, sebagian pembaca menganggapnya sebagai tulisan feminis. Bahkan beberapa diantara mereka mencemooh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan pendapat tersebut.
Pembaca lainnya mengomentari perihal “ketakutan akan obesitas” yang muncul dalam cerita itu. Wajar saja mengingat Margot dalam cerita tersebut beberapa kali menyebut Robert sebagai "lelaki yang memiliki perut tebal, lembut, dan tertutup rambut"
ADVERTISEMENT
Ada juga yang berkomentar bahwa “Cat Person” merupakan potongan narasi belaka, yang bercerita tentang pengalaman sial generasi milenial dalam sebuah hubungan, sebagaimana esai personal yang banyak ditulis oleh anak-anak muda jaman kekinian.
Beberapa pembaca terkejut ketika mengetahui bahwa cerita itu merupakan fiksi karena banyaknya wanita berusia dua puluh atau tiga puluhan di kota New York, yang mengalami hal serupa dengan karakter yang ditonjolkan dalam cerpen "Cat Person".
Salah seorang anggota Partai Republik di Amerika Serikat bahkan meninggalkan sebuah ulasan dalam National Review berjudul "Dear Cat-Person Girl," yang ditulis dalam bentuk surat kepada Margot yang dianggap telah berhasil membuatnya merasa tertohok karena kemiripan fenomena sosial dengan cerita tersebut. Pada paragraf penutup bahkan tertulis, "Kamu hanya seorang karakter fiktif, Margot, tapi pada saat yang sama, kamu bukan."
ADVERTISEMENT
Penafsiran "Cat Person" pada tingkat sosio-historis, seringkali menempatkan karya tersebut dalam kategori fiksi moral berlatar kehidupan warga kota New York – dengan mempertimbangkan asumsi seperti “Apakah X adalah feminis?” atau “Mengapa X adalah feminis?” – sehingga penerjemahan dilakukan secara sepotong-sepotong (parsial). Ulasan semacam ini sudah sangat jamak muncul di linimasa atau berbagai media mainstream.
Metode interpretasi dengan nuansa feminis yang sangat kental tampaknya cukup populer dan disukai oleh generasi milenial. Saat konsep feminisme maupun keadilan sosial mulai menyeruak di tengah media dan menjadi berita hangat setiap hari, maka interpretasi dalam sudut pandang ini menjadi umum – bahkan bisa jadi menguntungkan – bagi media online.
Ulasan yang tajam, penuh energi, berapi-api, dan mudah dicerna menjadi hal yang difavoritkan oleh anak-anak muda. Bahkan terkadang, kritik lalu dihubung-hubungkan dengan dinamika perpolitikan untuk menaikkan rating sebuah media. Respon umum pembaca media online terhadap "Cat Person" adalah bukti betapa berbahayanya pendekatan parsial semacam ini terhadap kemampuan kolektif pembaca untuk memisahkan antara seni dan realitas.
ADVERTISEMENT
Ketika pembaca memperlakukan sebuah cerita pendek menjadi esai pribadi, maka mereka akan berakhir seperti Margot, yang memproyeksikan cita-cita pribadinya ke dalam sebuah karakter. Alih-alih melihat fiksi sebagai kesempatan untuk memperkaya pandangan masyarakat tentang dunia, atau sebagai sebuah cara mengeksplorasi tema dengan melibatkan dimensi emosional dan filosofis, pembaca malah menuntut penulis untuk dapat memberikan pelajaran moral tentang kehidupan.
Sangat menggelikan melihat pembaca tidak menangkap esensi bahwa “Cat Person” adalah sebuah karya fiksi dan gagal memahami bahwa si penulis telah dengan hati-hati memilih bagaimana cara membangun dunia imajiner dengan arsitektur dan alam yang sama sekali terpisah dengan realitas sekitar.
Penafsiran secara parsial terhadap cerpen “Cat Person”, membuat ulasan atau kritikan warga menjadi salah alamat. Ujung-ujungnya, penafsiran parsial terhadap sebuah karya sastra, membuat kemampuan pembaca untuk berpikir secara kritis menjadi tumpul.
ADVERTISEMENT
Ada kecenderungan masyarakat Amerika untuk mengaitkan novel, acara TV, maupun film tertentu dengan fenomena politik tertentu, sehingga mengabaikan kerangka berpikir secara kritis terhadap karya sastra tersebut. Lihat saja reaksi publik terhadap film Wonder Woman dan reaksi balik terhadap casting pemeran wanita di film Ghostbusters.
Alih-alih memahami pemikiran penulis, apa yang ingin dicapai penulis melalui karakter, maupun dunia imajiner yang dia ciptakan, pembaca malah menghubungkannya dengan realita yang ada. Apa jadinya kalau pembaca menganalogikan tokoh-tokoh dalam Harry Potter (seperti Death Eaters) sebagai perumpamaan Partai Republik misalnya. Habislah sudah dunia sastra.
Pandangan masyarakat tentang politik tentu harus hidup secara baik, dengan menjunjung standar moral maupun etika – sebagai sebuah respon terhadap dunia sekitar. Bukan terhadap dunia fiksi. Kemampuan kita menjadi pembaca yang baik, sangatlah penting bagi si penulis.
ADVERTISEMENT
Perlu digaris bawahi bahwa fiksi memungkinkan seseorang untuk dapat mengatakan hal-hal yang tidak dapat mereka katakan dalam hidup - untuk memulai lintasan pengalaman – yang barangkali tidak pernah dialami dalam kenyataan. Atas pertimbangan ini, para seniman menciptakan dan membangun dunia menggunakan materi kehidupan sebagaimana seorang pelukis menggunakan cat minyak atau arsiran pensil.
Tanwi Nandini Islam bahkan memilih kata tercekik (suffocating) untuk menggambarkan perasaan si penulis ketika para kritikus memperlakukan "Cat Person" seperti layaknya sebuah kisah nyata.
Ketika publik menuntut penulis untuk tidak mengajari mereka bagaimana cara berpikir, tapi juga apa yang harus dipikirkan, maka seluruh pihak akan menderita pada akhirnya – baik seniman, konsumen seni, maupun pembaca secara umum.
ADVERTISEMENT
Hal yang bisa dipetik disini adalah bahwa masyarakat saat ini tidak lagi bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, fakta maupun fiksi. Fenomena inilah barangkali yang membuat publik masih saja percaya akan tuduhan Donald Trump terhadap media mainstream di Amerika sebagai penyebar berita palsu (fake news).
Pembelajaran yang bisa dipetik adalah kita semua perlu belajar menjadi pembaca yang lebih baik. Kita seharusnya tidak boleh terjebak pada pembingkaian, penafsiran parsial, maupun pandangan sempit akan sesuatu. Memperluas wawasan dan membuka diri terhadap sudut pandang baru dalam menafsirkan sebuah karya sastra sangatlah penting, terutama pada era dimana kehidupan politik sangat beracun serta mulai menjalari kehidupan personal masyarakat; melebur menjadi aktivitas saling sindir dalam obrolan keseharian, saling serang dalam dunia maya, juga perang di dunia kata-kata.
ADVERTISEMENT