Ketika Demokrasi Dihancurkan di Gedung Demokrasi

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
22 September 2017 7:13 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketika Demokrasi Dihancurkan di Gedung Demokrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Savic Ali, Twitter
Seminggu terakhir masyarakat dan pendukung gerakan demokrasi dibuat prihatin dengan aksi vandalisme yang menimpa Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Dua hari berturut-turut insiden terjadi di gedung yang terletak di Jalan Diponegoro Nomor 74, Menteng itu.
ADVERTISEMENT
Setelah pada hari Sabtu (16/9), gedung YLBHI/LBH Jakarta dikepung oleh massa dari sejumlah kelompok, kepolisian memblokade dan memaksa masuk ke dalam gedung untuk membubarkan acara. Pada hari berikutnya, Minggu malam (17/9) hingga Senin dini hari (18/9), LBH Jakarta kembali dikepung kelompok intoleran. Ratusan orang berdatangan entah dari mana, meneriakkan ancaman, melempar batu, dan botol plastik. Ancaman yang dilontarkan massa tidak main-main, mulai dari lawan, bunuh, hingga bakar hidup-hidup.
Sejatinya pada tanggal 16 September, di Gedung YLBHI akan dilaksanakan seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966”. Seminar tersebut rencananya akan diisi pembicara dari berbagai latar belakang, mulai dari sejarawan, pegiat kemanusiaan, hingga pejabat pemerintah diantaranya: Dr. Asvi Warman Adam, Dr. Baskara T. Wardaya, Martin Aleida, Kusnanto Anggoro, Ifdhal Kasim, dan diplomat senior Makarim Wibisono. Menimbang situasi dan kondisi saat itu, akhirnya Seminar Sejarah itu urung dilaksanakan dan dibubarkan aparat.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk keprihatinan atas pembubaran acara sehari sebelumnya, masyarakat pro demokrasi secara spontan berinisiasi untuk menyelenggarakan acara #AsikAsikAksi. Acara ini merupakan pentas seni yang diisi dengan pembacaan puisi, musik, dan stand up comedy.
Ketika Demokrasi Dihancurkan di Gedung Demokrasi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: LBH Jakarta
Sore hari tanggal 17 September, event itu digelar dan banyak sekali yang hadir. LBH Jakarta mengunggah jalannya acara di linimasa mereka. Ada pelajar SD, SMA, mahasiswa seni turut berpartisipasi dalam event itu. Tak ketinggalan para penyintas tragedi 1965, aktivis, jurnalis, dan mahasiswa yang tergabung dalam gerakan masyarakat pro demokrasi juga datang dan memberikan testimoni mereka.
Pukul enam malam, beberapa orang mulai tampak berkumpul di depan Kantor LBH Jakarta. Sejumlah saksi menyebutkan mulai ada orasi yang menuding bahwa ada isu PKI yang dibahas di dalam ruangan.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul sepuluh malam, LBH Jakarta mengabarkan melalui linimasa bahwa mereka kembali dikepung massa. Saat itu acara musik sudah selesai, namun mereka yang ada di dalam gedung tidak bisa pulang ke rumah karena terkepung. Sekitar 200 orang berada dalam area gedung LBH Jakarta, termasuk juga anak-anak, wanita, dan lansia.
Massa ingin merengsek masuk ke dalam kantor, entah maunya apa. 30 menit kemudian, semakin banyak orang berdatangan dan keadaan semakin mencekam, terlebih saat itu jumlah polisi tampak tidak seimbang dengan jumlah kerumunan massa.
Satu demi satu petugas keamanan sampai di tempat lokasi. Aparat kepolisian mulai dari Kapolsek Menteng, Kapolres Jakarta Pusat, Kabaintelkam Mabes Polri, sampai Kapolda Metro Jaya telah melakukan klarifikasi langsung - melihat semua bahan, mengawasi terus-menerus, dan mengakui serta menjelaskan kepada massa bahwa tidak ada acara yang berkaitan dengan PKI atau komunisme. Tapi massa tidak mau mendengar dan melawan aparat.
ADVERTISEMENT
Lewat tengah malam, pasukan polisi berdatangan untuk mengatasi suasana, sebagian datang menggunakan motor trail. Pihak kepolisian juga membawa water cannon untuk menghalau massa. Kericuhan pun pecah saat beberapa orang mecoba menyerang polisi dengan menendang tameng sambil mengamuk. Massa juga melempar batu dan botol plastik kepada aparat yang berjaga di lokasi. Mereka menolak imbauan polisi untuk bubar dan menjauhi gedung LBH.
Akibat kericuhan itu, sebagian kaca mobil yang terparkir di LBH ada yang hancur. Demikian pula beberapa kaca jendela di gedung LBH Jakarta. Keadaan semakin menyeramkan.
Sepanjang malam saya mengikuti linimasa salah satu advokat YLBHI yang berada di dalam gedung dan berharap seluruh peserta selamat. Barulah pada pukul 03.37 pagi, keadaan mulai bisa diatasi dan truk-truk polisi mulai meninggalkan lokasi.
ADVERTISEMENT
Penyerangan terhadap LBH Jakarta terjadi karena beredar isu bahwa LBH Jakarta sedang menggelar kegiatan terkait dengan PKI. Isu ini juga menyebar di media sosial lengkap dengan seruan agar warga mengepung LBH Jakarta. Belakangan diketahui bahwa info dan seruan provokatif yang tersebar di akun media sosial itu, hanyalah hoax belaka.
Rekam Jejak LBH Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta didirikan atas gagasan yang disampaikan pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ke III tahun 1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970.
ADVERTISEMENT
Pendirian LBH dimaksudkan untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dalam memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di-PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada umumnya. Lambat laun, LBH Jakarta menjadi organisasi penting bagi gerakan pro-demokrasi disebabkan upaya mereka menjadikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi sebagai pilar gerakan bantuan hukum di Indonesia.
Cita-cita membangun HAM dan demokrasi ditunjukkan dengan semangat perlawanan LBH Jakarta terhadap rezim orde baru pimpinan Soeharto, yang berakhir dengan adanya pergeseran kepemimpinan pada tahun 1998. Bukan hanya itu, semangat melawan ketidakadilan terhadap seluruh penguasa menjadi bentuk advokasi yang dilakukan sampai dengan hari ini.
Sejak berdiri, LBH berjuang untuk keadilan bagi semua orang, tanpa mempermasalahkan suku, agama, ras, maupun golongan. Pada tahun 1970, LBH mengadvokasi korban proyek penggusuran mercusuar Orde Baru dan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. LBH juga menangani kasus sengketa tanah Halim Perdana Kusumah, mendampingi sekitar 500 kepala keluarga melawan Angkatan Udara (AURI) dalam sengketa pengadaan lahan seluas 1000 hektar untuk lapangan udara Halim Perdana Kusumah di Kemayoran.
ADVERTISEMENT
LBH mendampingi warga dalam kasus tanah kamping Simprug, dimana sekitar 700 jiwa di kampung itu digusur paksa karena lahannya hendak digunakan untuk membangun komplek perumahan modern. LBH pun menangani kasus tanah Sunter Timur, konflik lahan milik warga yang hendak dijadikan komplek gudang entreport. Para advokat LBH juga melakukan pembelaan terhadap Jenderal H.R. Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari pada tahun 1974.
LBH pernah menangani permasalahan yang menjerat para tokoh Kelompok Kerja Petisi 50. Kelompok ini mengeluarkan “Pernyataan Keprihatinan” terhadap kebijakan Presiden Soeharto, sehingga mengakibatkan tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara. Petisi 50 beranggotakan Mohammad Natsir, Sanusi, H.R. Dharsono, Sjafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, SK Trimurti, dan Boerhanuddin Harahap.
ADVERTISEMENT
LBH mengambil peran penting dalam pembelaan para mahasiswa yang memprotes kebijakan Soeharto pada 1978, atau lebih dikenal dengan peristiwa “Dewan Mahasiswa Indonesia”. Ketika itu 8 Dewan Mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sriwijaya (Unsri) berkumpul dikampus ITB menerbitkan kertas kerja yang menganalisis kebijakan Soeharto di bidang politik, militer, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Akibatnya, kampus ITB diserbu tentara, dan para pimpinan mahasiswa ditangkap serta dipenjara.
Tahun 1980 LBH melakukan gugatan atas pelarangan jilbab di sekolah negeri. Lalu pada tahun 1984, LBH membela tokoh Islam AM. Fatwa dari tudingan subversif pada Peristiwa Tanjung Priok. Para advokat LBH juga terlibat dalam pembelaan H.R. Dharsono pada kasus Komando Jihad. Di tahun yang sama, LBH juga mendampingi Sahroni dan Alimin, anggota Negara Islam Indonesia (NII) atas tuduhan subversif. Tahun 1987, LBH membela korban Kelompok Warsidi di Talangsari, Lampung yang keluarganya dibakar habis oleh aparat Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1994, LBH membela pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ditangkap penguasa Orde Baru. Dan dua tahun kemudian, LBH juga mendampingi Budiman Sudjatmiko yang digugat atas tindak pidana subversif.
Awal reformasi 1998 sampai dengan tahun 2000, aktivitas reclaiming tanah-tanah pertanian dan perkebunan sempat marak. Sebagai upaya untuk turut memperjuangkan hak dasar petani, para pengacara publik LBH membela kasus-kasus kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh petani tersebut.
Tahun 2000, LBH mendampingi 5.000 penarik becak untuk menggugat Pemerintah Jakarta. Para advokat publik LBH juga aktif membela warga dalam konflik dan sengketa agraria, mulai dari kasus Kedung Ombo dan Tanah Badega, pendampingan warga korban PT Tanjung Enim Lestari Pulp Paper (Sumatera Selatan), pendampingan warga korban PT Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara), maupun pendampingan warga korban Teluk Buyat, PT Newmont Minahasa Raya.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN. Jkt. Pusat, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan menerima standing warga negara, dalam perkara perdata antara J. Sandyawan Sumardi dkk. versus Presiden RI beserta 9 institusi, berkaitan dengan peristiwa pendeportasian 480.000 buruh migran asal Indonesia dari Malaysia, yang kemudian mengalami penderitaan dalam tempat pengungsian di Nunukan.
Tahun 2004 LBH menjadi kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir yang dituduh sebagai penanggung jawab peristiwa bom Bali dan bom JW Marriot tanpa bukti kuat. LBH juga melakukan pendampingan hukum bagi para aktivis muslim yang ditangkap sewenang-wenang di sejumlah tempat pada tahun yang sama.
Selanjutnya pada tahun 2006, LBH melakukan gugatan terkait dengan pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN). Adapun antara tahun 2002 hingga 2006 saja, tercatat ada 5.718 kasus masuk, dengan jumlah 96.681 orang terbantu.
ADVERTISEMENT
Tahun 2011 LBH mendampingi beberapa kasus lingkungan, seperti pencemaran Sungai Ciujung dan kasus sengketa air di Padarincang. LBH pun mengadvokasi berbagai kasus yang melibatkan anak-anak, mulai dari kasus perkosaan di bawah umur, pencabulan, dan kasus adopsi.
Tahun 2012 LBH menggugat privatisasi air di Jakarta dan menangani total 2.479 kasus. Setahun berikutnya, LBH menampung 18 pengungsi Rohingya yang terdampar di Jakarta. Adapun total kasus yang diadvokasi pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.873 kasus.
Pada tahun 2015, LBH menjadi tim kuasa hukum dalam kasus kriminalisasi Komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Akhir tahun 2015 sampai dengan awal tahun 2016, LBH juga mendampingi korban penggusuran paksa di Jakarta.
Tahun 2016, LBH mendampingi nelayan Teluk Jakarta dalam gugatan Reklamasi Teluk Jakarta. Sepanjang tahun 2016 saja, LBH telah menerima 1.444 pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 121.571 orang.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, LBH mendampingi tiga orang eks tokoh Gafatar yang dituduh melakukan makar. Selain itu, LBH juga menjadi tim kuasa hukum Novel Baswedan yang diserang dengan air keras oleh orang tak dikenal.
YLBHI-LBH, dapat dikatakan telah berhasil menjadi jembatan bagi kelas terpinggirkan dengan kelas elit. Kantor LBH menjadi tempat para pencari keadilan mengadu dan mencurahkan isi hati tentang masalah yang dihadapi. Lembaga ini telah menjadi sebuah mata rantai yang menghubungkan rakyat kebanyakan dengan para pemegang kekuasaan di republik ini.
Tidak hanya itu, advokat publik dan aktivis LBH, seringkali diminta duduk dalam panitia perumus sebuah peraturan perundang-undangan dan rancangan peraturan yang diterbitkan pemerintah. Adnan Buyung Nasution misalnya, pernah duduk dalam tim perumus berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain: RUU Hak Asasi Manusia, RUU Pengadilan HAM, RUU Peradilan Tata Usaha Negara, RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Pemilu, dan RUU Advokat.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, aktivitas legal drafting dan monitoring peraturan perundang-undangan, mendorong YLBHI turut melahirkan Konsorsium Pembaruan Hukum Nasional (KRHN). Selain KRHN, para advokat dan aktivis LBH turut membidani pembentukan organisasi-organsasi masyarakat sipil seperti KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Voice of Human Rights, Baku Bae - belakangan menjadi Institut Titian Perdamaian, dan ICW (Indonesian Corruption Watch).
Sejumlah advokat dan aktivis LBH turut menjadi aktor utama pendirian organisasi masyarakat sipil. Dalam era kepengurusan Adnan Buyung Nasution dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, para advokat dan aktivis LBH turut berkontribusi melahirkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan INGI – selanjutnya berubah menjadi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).
Selain menjadi inspirator dan mata rantai dalam hubungan rakyat dengan elit, LBH juga berperan aktif dalam menyediakan informasi dan menyebarkannya pada rakyat. Selain menerbitkan sendiri publikasinya, sejak lama LBH bekerjasama dengan 2 lembaga, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) dan YOI (Yayasan Obor Indonesia). Tradisi penerbitan buku-buku tentang hukum, demokrasi, dan HAM berkembang pada masa Dewan Pengurus (sekarang disebut Badan Pengurus) hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
LBH Jakarta tidak saja menjadi tempat para korban mengadukan masalah. Namun juga telah menjadi tempat bernaung bagi para tokoh, aktivis, pekerja sosial, dan wartawan. Ruang kantor LBH, seringkali dipakai untuk tempat menginap para warga yang tengah memperjuangkan hak-haknya. Sementara halaman kantor, dijadikan tempat beragam aksi unjuk rasa, menaruh spanduk, hingga aksi mogok makan. LBH Jakarta adalah rumah yang aman untuk semua.
Aksi Vandalisme, Ancaman terhadap Demokrasi dan HAM
Tindakan vandalisme yang terjadi di Gedung LBH Jakarta pada tanggal 16-18 September lalu, bukan hanya mencederai demokrasi, tapi juga mencederai nilai-nilai hak asasi manusia. Tak cukup hanya melempari kaca jendela dengan batu dan botol plastik, gerombolan massa itu juga mengganggu ketertiban umum, berteriak-teriak mengancam peserta acara, melabeli mereka dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, melontarkan ujaran kebencian, bahkan membahayakan keselamatan jiwa 200 orang yang saat itu terkurung di dalam gedung.
ADVERTISEMENT
Menghancurkan gedung LBH Jakarta sama dengan menghancurkan monumen demokrasi, penegakan HAM, dan perjuangan kaum papa. Gedung itu adalah rumah terakhir bagi rakyat miskin untuk mencari keadilan, saat pintu-pintu lain telah tertutup.
Mungkin sebagian orang menganggap kasus ini tidak lebih penting dibandingkan kasus korupsi. Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Jika sebuah gedung yang merupakan kantor bagi para advokat saja bisa menjadi sasaran amuk massa, bagaimana dengan rumah warga sipil, seperti Anda dan saya?
Negara ini adalah negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi HAM. Apa yang terjadi di Gedung LBH Jakarta menandakan bahwa sebagian masyarakat di negara ini belum dewasa, belum mampu berdamai dengan masa lalu, belum mengerti benar bagaimana cara menyaring informasi, belum memahami betapa penting keselamatan jiwa manusia, serta belum bisa menghargai hak dasar orang lain.
ADVERTISEMENT
Hak asasi manusia telah tercantum secara gamblang di dalam konstitusi kita. Adapun tugas negara adalah melaksanakannya.
Ide tentang hukum dan negara sebagai penjaga keamanan individu, datang dari Thomas Hobbes. Menurut Hobbes, tanpa hukum manusia yang satu akan menjadi serigala dari manusia yang lain (homo homini lupus). Dalam kondisi alamiah, manusia adalah serigala bagi lainnya, tidak ada konsep adil atau tidak adil. Oleh karena itu, perlu adanya negara untuk menciptakan peraturan dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Lalu gagasan tentang negara dan hukum sebagai pelindung hak-hak kodrati manusia dilanjutkan oleh John Locke, seorang filsuf berkebangsaan Inggris. Menurut Locke, negara dan hukum diciptakan untuk melindungi hak milik, hak hidup, serta kebebasan masyarakat.
J.J. Rousseau dan Immanuel Kant lalu melanjutkan pemikiran Locke tentang negara dan hukum. Menurut Rousseau, negara dan hukum merupakan pribadi publik dan pribadi moral yang berasal dari kontrak sosial untuk membela dan melindungi kepentingan bersama, disamping kepentingan dan milik pribadi. Kontrak sosial ini pada gilirannya akan mendorong kemauan umum yang berbasis keadilan dan kesusilaan.
ADVERTISEMENT
Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum dan negara sebagai pelindung hak-hak asasi warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia merupakan mahkluk yang berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama, dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
Insiden yang terjadi pada 16-18 September 2017 di gedung YLBHI/LBH Jakarta merupakan pelanggaran serius atas hak berkumpul dan hak warga berekspresi tanpa direpresi dan ditakut-takuti. Rakyat mengharapkan peran negara untuk menjamin terpenuhinya hak dan kebebasan warga, sebagaimana yang dimuat dalam konstitusi.
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
Tentang Pengungkapan Pelanggaran HAM dan Urgensi Dialog
Terkait dengan isu sensitif mengenai sejarah tahun 1965/1966 yang urung diangkat menjadi topik seminar pada tanggal 16 September, muaranya adalah pada keseriusan negara. Isu tersebut merupakan isu klasik yang selalu berulang setiap tahun dan akan terus berulang sampai pokok permasalahan diselesaikan. Pengungkapan kebenaran dan penyelesaian yang adil adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikatakan Kontras, bahwa yang diperlukan kini bukan saja pengungkapan kebenaran, namun juga keadilan bagi seluruh korban pelanggaran HAM masa lalu. Karena pelanggaran HAM apapun yang terjadi di tahun berapapun, tetap merupakan pelanggaran HAM, sampai keadilan benar-benar terwujud secara holistik. Keadilan bagi korban bukan sekadar soal pengungkapan, tapi bagaimana hak-hak yang terampas, dikembalikan.
Ini semua membutuhkan keseriusan dan langkah-langkah konkrit dari pemerintah. Bukan hanya sekedar ditulis dalam daftar agenda tahunan, yang bisa jadi dilakukan dan bisa pula tidak.
Jika sampai terjadi benturan dalam masyarakat, entah benturan nilai-nilai, benturan budaya hukum tertulis dan tidak tertulis, atau benturan kepentingan maka perlu adanya dialog atau komunikasi antara pihak-pihak yang berkepentingan. Penyamaan persepsi penting disini, bahwa dialog perlu diakhiri dengan solusi; dan penyelesaian elegan tidak mungkin didapat tanpa kompromi; untuk itu perlu adanya kedewasaan dari masing-masing pihak untuk mau mendengar, menerima, dan memahami pihak lain dengan segala persoalan yang ada padanya.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya membangun dialog dan komunikasi yang efektif, De Vito menyebutkan perlu dipenuhinya lima unsur yaitu: saling keterbukaan, empati, sikap positif, sikap suportif, dan kesetaraan/keseimbangan. Penggunaan kekuasaan, paksaan, atau ancaman dalam upaya menjalin komunikasi yang efektif pada dasarnya merupakan proses dehumanisasi.
Hukum yang komunikatif bukanlah mengacu pada bentuk hukum yang baru, tapi lebih mengarah pada upaya bagaimana hukum yang tercipta (baik hukum lokal/tidak tertulis maupun hukum negara/hukum tertulis) dapat difungsikan sebagai media komunikasi.
Sedangkan aksi main hakim sendiri yang ditunjukkan gerombolan massa yang menyerang gedung YLBHI/LBH Jakarta sangatlah bertentangan dengan norma-norma luhur yang ada pada jati diri bangsa ini.
Tidak ada ruang untuk aksi vandalisme dan anarkisme di negeri ini. Tidak ada pembenaran untuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh siapapun itu.
ADVERTISEMENT
Setiap konflik selalu memiliki solusi, seberat apa pun konflik tersebut. Jika seluruh pihak memiliki kemauan dan ikhtiar untuk mengakhiri konflik, maka akan selalu ada jalan untuk menuju kesana.
Di negara hukum seperti Indonesia, iklim demokrasi yang benar dan baik perlu adanya sikap pendewasaan. Sebab berbicara perihal demokrasi bukan hanya sekedar berbicara soal kebebasan berserikat atau kebebasan berpendapat, juga bukan hanya pada ranah kualitas pers yang bebas atau betapa maraknya hoax di sosial media, tetapi juga kualitas masyarakat yang dewasa dalam menyikapi sesuatu.
Demokrasi tanpa ditunjang dengan pemahaman dan kedewasaan, hanya akan berujung pada kebebasan yang lepas tanpa batas dan diakhiri dengan aksi-aksi anarkisme maupun vandalisme. Kedua hal ini bukan hanya menciderai demokrasi, namun juga mengancam hak atas hidup.
ADVERTISEMENT
Banyak kita jumpai realita saat ini, dimana seseorang dengan mudahnya mengambil pemikiran yang beredar di masyarakat dan menjustifikasi pihak lain secara membabi buta tanpa memikirkan mengenai konsekuensi etis yang mungkin timbul. Hal ini tidaklah benar. Sebagai bangsa yang religius, kita perlu memupuk kesadaran akan etika. Seluruh warga, mau atau tidak mau, sebenarnya memikul tanggung jawab untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik.
Semoga ke depan masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam menyikapi berbagai permasalahan yang ada seiring dengan berjalannya proses demokrasi. Demokrasi Indonesia harus tetap kita perjuangkan dan jangan sampai ternodai oleh aksi-aksi anarkisme dan vandalisme. Demokrasi harus diiringi dengan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Hal ini diperlukan demi terwujudnya keamanan, kenyamanan, dan ketentraman bersama.
ADVERTISEMENT