Mendewasakan Demokrasi

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2017 20:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendewasakan Demokrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Foto: Pixabay)
Topik mengenai demokrasi adalah topik yang tiada henti terus dibahas. Pembahasan mengenai demokrasi seringkali dikaitkan dengan demokrasi yang dipraktikkan pada jaman Yunani Kuno. Kata tersebut lahir pada 5 abad sebelum masehi (SM). Demokrasi Athena, demikian istilah itu diingat.
ADVERTISEMENT
Ide tentang demokrasi pada mulanya dikembangkan oleh Solon (638-558 SM). Lebih lanjut konsep ini dibahas oleh Chleisthenes dan Demosthenes (385-322 SM). Chleisthenes adalah tokoh yang dikenal sebagai Bapak Demokrasi Athena. Sedangkan Demosthenes adalah seorang negarawan sekaligus orator.
Semaian benih demokrasi Athena sempat tumbang di tangan Sparta yang mengalahkan Athena dalam Perang Pelopennesia. Perang tersebut berlangsung selama kurang lebih 27 tahun (431-404 SM).
Demokrasi pada saat itu bukanlah tanpa kritik. Filosof terkemuka seperti Plato dan Aristoteles justru memiliki pandangan dan sikap yang berlawanan dengan demokrasi.
Plato lebih sepakat jika negara dipimpin oleh seorang pemikir, yang memiliki pengetahuan dan mampu memprediksi masa depan yang lebih baik. Sedangkan Aristoteles menganggap bahwa demokrasi dapat digunakan oleh sekelompok orang untuk meraup keuntungan. Ia bahkan meyakini bahwa demokrasi pada gilirannya akan memunculkan tirani.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan rakyat yang pada saat itu disebut demos cratia, memang tidaklah sempurna. Namun, keberadaan demokrasi Athena telah meletakkan prinsip-prinsip dasar pada demokrasi yang kita kenal saat ini.
Berikut prinsip-prinsip Demokrasi Athena. Pertama, warga negara berhak ikut serta dalam menentukan keputusan politik secara langsung. Kedua, warga negara berhak ikut serta dalam mengobarkan isu, dipilih sebagai pejabat pemerintah, dan melakukan debat publik secara terbuka. Ketiga, hak-hak warga negara dapat dijaga dengan baik, terutama hak mengeluarkan pendapat. Keempat, jika sidang berlangsung dan segala argumentasi telah disampaikan, maka voting atau mekanisme suara terbanyak dapat ditempuh sebagai cara untuk mengambil keputusan.
Demokrasi di Indonesia
Demokrasi memang bukan merupakan khazanah asli nusantara. Namun ruh dan nilai-nilai dari demokrasi, sejatinya telah ada sebelum masa kemerdekaan. Demokrasi lokal telah tampak di daerah dalam proses pemilihan ketua organisasi, kepala suku, maupun pemilihan pemimpin lokal.
ADVERTISEMENT
Demokrasi di ranah lokal sedari dulu dilaksanakan dengan penuh kesantunan, guyub (kebersamaan), seduluran (bersaudara), dan sikap ngajeni (saling menghargai). Calon yang dipilih seringkali merupakan figur yang paling dituakan, orang yang dianggap mampu mengayomi, atau tokoh yang disegani oleh rakyat.
Kampanye dalam lingkup lokal ini tidak mengenal istilah black campaign, tidak membuang uang banyak, dan tidak saling ngoyo (berambisi) untuk memastikan diri menjadi pemenang. Masyarakat lokal ini memiliki kebijaksanaan atau nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Nilai-nilai tersebut juga dikenal dengan bahasa keren local wisdom.
Masyarakat pada masa itu sadar betul bahwa mereka saling bersaudara (sedulur) sehingga siapapun yang menjadi kepala desa akan mereka hargai. Ini karena mereka anggap orang tersebut merupakan keluarga mereka sendiri (sedulur dhewe).
ADVERTISEMENT
Waktu demi waktu berlalu. Demokrasi berkembang dari lingkup lokal ke lingkup nasional, dari konsep klasik menjadi modern. Celakanya, nilai demokrasi lokal menjadi semakin surut seiring dengan perkembangan individualisme dan saudara dekatnya, yaitu konsumerisme. Dua hal inilah yang menjadi racun awal bagi demokrasi.
Individualisme merupakan kampanye panjang dari negara-negara berpaham kapitalisme untuk memenangkan pasar bebas yang dekat dengan konsumerisme. Setiap individu diyakinkan bahwa mereka punya hak untuk memilih (one man one vote). Sehingga suara pemilih adalah segala-galanya dan segala cara menjadi halal asal mendapatkan suara.
Sementara di sisi lain, nilai konsumerisme menjangkiti para pemilih. Mereka menganggap bahwa suara mereka adalah kapital yang memiliki nilai dan harus dihargai dengan uang. Para budak konsumerisme inipun menganggap proses demokrasi sebagai ajang untuk menjual suara kepada pembeli termahal.
ADVERTISEMENT
Norma-norma luhur yang berasal dari kebijaksanaan lokal kemudian dikotori oleh konsumerisme. Sehingga tolok ukur sebuah nilai kemudian dikonversi dalam bentuk uang, uang, dan uang.
Virus demokrasi yang selanjutnya adalah fundamentalisme. Hal ini ditandai dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamental terhadap pemeluk agama, kepercayaan minoritas, suku yang terasing, dan rakyat terpinggirkan. Fundamentalisme tentu berlawanan dengan local wisdom yang menjunjung tinggi persaudaraan melalui kepemimpinan yang arif dan bijaksana.
Hal ini diperparah dengan minimnya literasi politik yang akhirnya menggiring masyarakat ke dalam jurang perpecahan. Rendahnya pemahaman mereka mengenai demokrasi pada akhirnya membuat perbedaan semakin runcing.
Situasi perpolitikan yang bergolak dan kadangkala keruh, membuat sebagian masyarakat lalu dengan mudahnya menjustifikasi dan melabeli pihak yang berlawanan. Adakalanya sebuah kelompok merasa lebih superior atau lebih benar dari kelompok yang lain. Padahal pelabelan semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Perlu digarisbawahi bahwa prinsip utama dalam demokrasi adalah kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Adnan Buyung Nasution dalam bukunya “Demokrasi Konstitusional” mencoba memandang demokrasi dari perspektif hukum. Aspek ini menjadi sangat penting mengingat fungsi hukum sebagai jalan tengah atau jangkar supaya tidak terjadi kekacauan (chaos) di dalam masyarakat.
Menurut Adnan, demokrasi bukan hanya sekedar cara, alat, atau proses melainkan juga nilai-nilai atau norma yang harus menjiwai keseluruhan proses bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi adalah tujuan utama yang harus kita bangun terus-menerus sebagai bagian dari proses pendewasaan itu. Karenanya demokrasi tidak boleh dinomerduakan karena berpotensi menyesatkan dan membuka peluang bagi kembalinya cara-cara otoriter, totaliter, bahkan fasisme.
Adapun inti dari demokrasi konstitusional adalah penghargaan atas hak-hak dasar dan asasi manusia. Membangun jiwa demokrasi berarti membangun negara dalam perspektif penghormatan terhadap HAM.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan demokrasi, Voltaire pernah mengeluarkan kalimat yang sangat menarik. Kalimat itu kurang lebih berbunyi, “Saya berlawanan pendapat dengan Anda, tetapi saya akan lindungi hak Anda untuk hidup dan berbeda pandangan dengan saya.”
Substansi dari apa yang disampaikan oleh Voltaire ini, perlu dipahami oleh semua orang. Banyak yang beranggapan bahwa pandangan tersebut tidak relevan atau terlalu liberal untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Padahal pandangan seperti itu, akan mudah ditafsirkan sebagai sikap defensif. Bahkan bisa dikatakan sebagai usaha menutup diri dari gelombang perkembangan dunia yang lebih menghendaki demokrasi dan penghormatan terhadap HAM.
Ketidaksempurnaan yang ditemui dalam praktik demokrasi di Indonesia tentunya adalah hal yang wajar dan juga terjadi di negara Eropa maupun Amerika. Pada prinsipnya, negara (secara terus-menerus) perlu menciptakan iklim yang kondusif dan senantiasa berupaya untuk mewujudkan penghargaan nilai-nilai dasar dan hak asasi warga.
ADVERTISEMENT
Kita tentu masih ingat apa yang terjadi di era Orde Baru. Pada saat itu, rezim otoriter menutup segala saluran dan menggunakan aparaturnya untuk menyelusup dalam rongga-rongga kehidupan masyarakat. Rezim bahkan secara aktif memantau kehidupan dalam ranah orang-perseorangan. Kebebasan di masa Orde Baru menjadi kosakata yang kehilangan makna.
Menurut Adnan Buyung Nasution, pada era kegentingan demokrasi saat Orde Baru berkuasa, media sudah seperti koor (paduan suara) yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerintah. Suara sumbang dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembredelan. Kehidupan politik dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan “demokrasi semu”. Pendeknya, Orde Baru telah melucuti hak-hak asasi warga sipil.
Bagaimana dengan kini?
Belakangan keadaan demokrasi kita cukup memprihatinkan. Ada beberapa hal yang menjadi catatan terkait kondisi demokrasi di tanah air.
ADVERTISEMENT
Pertama, hak warga negara untuk dapat ikut serta atau berpartisipasi dalam keputusan politik belum sepenuhnya terlaksana. Misalnya saja dalam proses pembahasan peraturan perundang-undangan atau perumusan kebijakan publik yang seringkali dirumuskan secara tertutup.
Kedua, apabila mengacu pada konstitusi, sebetulnya hak warga negara telah dijamin untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat mereka. Namun pada kenyataannya, masih ada topik-topik sensitif yang dianggap tidak layak atau dilarang untuk diperbincangkan, walaupun pembahasan tersebut hanya dilakukan dalam lingkup akademik.
Ketiga, pemerintah juga masih memiliki pekerjaan rumah terkait perlunya melakukan revisi atau perbaikan terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau produk hukum lain yang berpotensi memberangus hak-hak warga untuk berekspresi atau mengeluarkan pendapat. Perdebatan terkait pasal-pasal yang perlu direvisi sudah lama muncul dan diperdebatkan oleh para pengamat maupun akademisi.
ADVERTISEMENT
Keempat, masyarakat sering melihat tayangan dimana terjadi deadlock, walkout, atau kisruh antar para anggota dewan akibat perbedaan pendapat. Ini buruk dalam kacamata pendidikan politik. Pada negara demokratis, jika terjadi kebuntuan maka seharusnya perlu dilakukan voting. Tindakan seperti meninggalkan ruangan di tengah sidang atau adu jotos antar para politisi perlu dihentikan karena rakyat berhak untuk mendapatkan tontonan yang lebih baik.
Kelima, berkembangnya individualisme, konsumerisme, maupun fundamentalisme adalah tantangan bagi demokrasi kita yang masih muda. Kita semua harus berpegang teguh pada paham konstitusionalisme agar tidak salah langkah dan menjaga bangsa ini supaya tidak terhempas dan pecah berkeping-keping.
Keenam, kita perlu menumbuhkan kembali nilai-nilai dan semangat local wisdom yang mulai luntur karena terpaan arus globalisasi. Pengabaian terhadap kebijaksanaan lokal menyebabkan masyarakat kita menjadi kehilangan arah dan identitas.
ADVERTISEMENT
Saya sangat kagum dengan pendapat para negarawan dalam masa perjuangan meraih kemerdekaan. Bung Hatta adalah salah satunya. Beliau merupakan pendukung asas demokrasi yang menekankan gagasannya mengenai negara. Menurut Bung Hatta, negara bertugas untuk mengatur, namun tidak boleh menjadi totaliter atau melakukan penindasan terhadap rakyat.
Berkat perjuangan gigih Bung Hatta, asas kebebasan berserikat akhirnya diakui dan dicantumkan di dalam UUD 1945. Semoga ke depan, kita bisa melanjutkan kerja keras dari para pendiri bangsa dalam upaya memperbaiki, merawat, dan mendewasakan demokrasi.