Seberapa Buruk Kualitas Udara di Jakarta?

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2017 18:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Beawiharta, Reuters
Udara merupakan suatu zat yang tidak nampak oleh mata namun dapat dirasakan. Saat ini, polusi udara adalah salah satu jenis pencemaran lingkungan yang perlu diwaspadai. Pencemaran terjadi jika udara di atmosfer bercampur dengan zat atau radiasi yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap warga Jakarta mungkin sepakat bila polusi udara di ibukota ini sudah terlanjur parah. Ada yang sampai harus pakai masker kemana-mana, mata merah, sesak napas, bahkan ada yang enggan keluar rumah demi menghindari polusi. Polusi yang dihasilkan dari kemacetan pun sudah menjadi bagian dari keseharian warga.
Hasil pemantauan udara secara global menunjukkan tingginya polusi udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dibandingkan wilayah lainnya. Udara Jakarta dan sekitarnya telah tercemar oleh polusi yang membahayakan kesehatan warga dan meningkatkan risiko kematian dini.
Pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa polusi udara di wilayah Jabodetabek berada jauh di atas ambang batas kesehatan WHO dan Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Di sisi lain, masyarakat Jabodetabek masih memiliki pemahaman yang terbatas mengenai polusi udara dan bahayanya, terutama karena akses terhadap informasi mengenai kualitas udara yang sangat minim. Sebagai langkah awal, pemerintah harus menyediakan informasi kualitas udara yang memadai dan selanjutnya mengimplementasikan beragam kebijakan untuk memenuhi hak warga terhadap udara yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah mencatat tingkat polusi di beberapa lokasi utama di seluruh kota, namun hanya memonitor partikel berukuran besar yang dikenal dengan PM10. Namun, Kedutaan Besar Amerika Serikat memiliki pemantau sendiri, yang melacak PM2.5, yang lebih kecil dan lebih berbahaya. Kualitas udara yang tidak sehat misalnya terjadi di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, khususnya pada bulan Mei-Juli 2017. PM2.5 merupakan partikel berukuran sangat kecil dan berbahaya yang dihasilkan antara lain dari pembangkit listrik, transportasi, dan aktivitas industri.
Pemantuan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace sejak Januari 2017 di 21 lokasi di Jabodetabek menunjukkan hasil serupa dengan hasil pemantauan Kedubes AS. Kualitas udara di Jabodetabek selama enam bulan terakhir terindikasi telah memasuki level tidak sehat (unhealthy) bagi manusia dan akan menimbulkan dampak kesehatan yang lebih serius bagi kelompok sensitif, seperti anak-anak, ibu hamil, dan kelompok lanjut usia (lansia). Angka PM2.5 harian di lokasi tersebut jauh melebih standar yang dapat ditoleransi, seperti standar WHO yaitu 25µg/m3 dan juga Baku Mutu Udara Ambien Nasional, yaitu 65µg/m3 .
ADVERTISEMENT
PM2.5 dapat terhirup dan mengendap di organ pernafasan. Jika terpapar dalam jangka panjang, PM2.5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut (terutama bagi anak-anak) hingga kanker paru-paru. Selain itu, PM2.5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memacu stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya, serta dapat membahayakan ibu hamil karena berpotensi untuk menyerang janin.
Dengan menggabungkan analisis risiko dari Global Burden of Disease Project yang dilaksanakan the Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan tingkat PM2.5 tahunan, Greenpeace dapat menghitung meningkatnya resiko kematian karena penyakit tertentu pada berbagai tingkat PM2.5 tahunan. Berikut data perhitungan dengan menggunakan tingkat rata-rata PM2.5 bulan Januari hingga Juni 2017.
Foto: Greenpeace Indonesia
ADVERTISEMENT
Hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan, resiko kematian akibat penyakit stroke di 21 lokasi pemantauan meningkat dua kali lebih tinggi akibat tingginya konsentrasi PM2.5. Beberapa lokasi, seperti Cibubur dan Warung Buncit mengalami peningkatan resiko kematian hampir dua kali lipat akibat penyakit pernapasan akut pada anak-anak.
Berdasarkan penelitian, anak-anak cenderung menyerap polutan lebih banyak dibandingkan orang dewasa karena intensitas bernapas mereka yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, anak berusia tiga tahun menghirup udara dua kali lebih banyak daripada orang dewasa (Davis dan Saldiva, 1999).
Perhitungan tersebut didukung oleh data terakhir Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang menunjukkan bahwa infeksi akut pada pernapasan atas merupakan penyakit dengan kasus terbesar di beberapa kecamatan di Jabodetabek, seperti Cengkareng (2867 kasus), Duren Sawit (2789 kasus), Matraman (2150 kasus), Kalideres (2078 kasus), Cempaka Putih (1216 kasus), Pademangan (1268 kasus), Cilincing (1058 kasus), Kebon Jeruk (1081 kasus), Kembangan (1045 kasus), Tebet (921 kasus), Pasar Minggu (804 kasus), Pancoran (794 kasus), Kebayoran Lama (630 kasus), Setiabudi (608 kasus), Senen (594 kasus), dan Cilandak (586 kasus).
ADVERTISEMENT
Bahaya PM2.5 bagi kesehatan
Tidak hanya dalam jangka panjang, paparan PM2.5 dalam satu hari juga dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Sebagai contoh, pada 22 Juni 2017, hasil pemantauan Greenpeace di 12 lokasi menunjukkan kualitas udara yang “tidak sehat” dan “sangat tidak sehat”. Temuan tersebut serupa dengan hasil pemantauan kualitas udara Kedubes AS di Jakarta Pusat, yaitu 59µg/m3 (AQI: 153), dan Jakarta Selatan, yaitu 91µg/m3 (AQI: 169), yang termasuk pada kategori tidak sehat, terutama bagi kelompok sensitif seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia (Greenpeace, 30/7).
Berdasarkan penelitian di China, paparan PM2.5 dalam waktu singkat berdampak kepada peningkatan resiko penyakit sistem kardiovascular dan pernapasan. Secara lebih detil, paparan PM2.5 dalam waktu singkat dapat menyebabkan beberapa gangguan fisiologis pada sistem pernafasan, seperti penurunan fungsi paru-paru terutama pada anak kecil, serta mengganggu rongga pernapasan anak yang telah memiliki gen asma. Hal tersebut juga dapat memperburuk kerja pembuluh darah dan jantung serta menimbulkan gumpalan pada darah yang dapat mengganggu pengangkutan oksigen ke jantung .
Foto: Greg Baker, Getty Images
ADVERTISEMENT
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia. Sekitar 60 persen warga Jakarta menderita masalah pernapasan yang terkait dengan tingkat kualitas udara rendah. Tingkat polusi yang meningkat juga dikaitkan dengan peningkatan serangan jantung dan pneumonia.
Pentingnya pemantauan kualitas udara yang memadai
Tingkat polusi udara yang sangat tinggi telah menimbulkan biaya kesehatan dan kerugian ekonomi yang besar. Langkah awal untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah adanya pemantauan kualitas udara yang memadai dalam bentuk jumlah dan sebaran lokasi pemantauan yang cukup, dapat diakses masyarakat dengan mudah, dan bersifat real time.
Dengan mengetahui kualitas udara di sekitar mereka, warga dapat melakukan tindakan preventif dan respons terhadap polusi udara, seperti pilihan untuk beraktivitas di luar atau dalam ruangan dan pemakaian masker saat beraktivitas luar ruang. Sementara itu, pemantauan real time dapat menunjukkan pola polusi udara, di antaranya pola tempat dan pola waktu saat tingkat polusi tinggi, yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk memformulasikan kebijakan mitigasi.
Foto: Kemal Jufri, New York Times
ADVERTISEMENT
Pemantauan kualitas udara di wilayah Jakarta yang dilakukan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta saat ini belum memadai, dimana hanya terdapat lima lokasi pemantauan dengan dengan data kualitas udara yang belum real-time. Selain itu, kualitas udara yang saat ini tersedia di website BPLHD DKI Jakarta hanya mencakup PM10 dan O3. Pemantauan belum mencakup parameter lainnya, terutama PM2.5 yang merupakan partikel paling berbahaya bagi kesehatan.
Langkah yang harus dilakukan
Buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya menimbulkan bahaya kesehatan dan resiko kematian bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Greenpeace (30/7) memberikan rekomendasi mengenai beberapa langkah konkret yang harus segera diambil:
Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya
ADVERTISEMENT
1. Melakukan pemantauan kualitas udara secara memadai. Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya harus memperbaiki sistem pemantauan udara yang representatif, baik secara jumlah dan sebaran, dengan parameter pengukuran kualitas udara mencakup PM2.5, NOx, SO2, dan O3. Pemerintah juga harus menyediakan data hasil pemantauan secara real-time dan dapat diakses oleh publik.
2. Memberikan informasi dan pendidikan mengenai bahaya kesehatan polusi udara kepada masyarakat. Pemerintah harus memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat mengenai bahaya polusi udara bagi kesehatan dan tindakan untuk meminimalisasi dampak polusi udara, seperti penggunaan masker yang tepat.
3. Melakukan koordinasi lintas lembaga untuk mencapai kualitas udara yang layak. Polusi udara merupakan isu multisektor yang membutuhkan koordinasi dari berbagai lembaga pemerintah. Di Provinsi DKI Jakarta, misalnya, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta harus bekerja sama dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas udara.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pusat
1. Menyusun dan melaksanakan strategi (dengan target dan pentahapan yang jelas) untuk memperbaiki kualitas udara. Strategi harus mencakup pengurangan polusi dari berbagai sektor kunci pengguna energi, seperti transportasi, pembangkit listrik, dan industri. Pemerintah dapat memperketat beragam regulasi mengenai emisi di berbagai sektor tersebut.
2. Meningkatkan standar kualitas udara. Pemerintah harus meningkatkan standar pencemaran udara saat ini. Sebagai perbandingan, ambang batas tingkat PM2.5, baik harian maupun tahunan dalam PP No.41 Tahun 1999 hampir tiga kali lebih tinggi dibandingkan standar WHO.