Urgensi Reformasi Birokrasi dan Budaya Demokrasi

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
12 September 2017 15:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Urgensi Reformasi Birokrasi dan Budaya Demokrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dealing with The Messy Process of Public Reform. (Foto: TL First Group)
ADVERTISEMENT
Reformasi, jika 19 tahun lalu adalah kata “sakti” yang bermakna mengubah, bahkan mendobrak, kini tampak kehilangan makna saktinya. Korupsi masih marak dimana-mana, dan pada berbagai level birokrasi. Mungkin karena reformasi birokrasi tidak berdaya menghadapi budaya birokrasi yang mengakar kuat di negeri ini. Barangkali apa yang dikatakan dalam Koentjaraningrat dalam tesisnya benar, bahwa sistem budaya (culture system) merupakan gagasan, konsep, dan pemikiran yang kompleks, mantap, dan kontinyu, sehingga sulit untuk berubah.
“…management deals mostly with the status quo, and leadership deals mostly with change…” (JP. Kotter)
Konsep transformasi budaya organisasi sebagaimana yang dikemukakan Kotter tersebut merupakan ide mengenai perlunya perubahan dalam suatu organisasi, seperti layaknya perubahan sebuah kepompong menjadi kupu-kupu. Transformasi menuntut perubahan pola pikir (mindset) dan perilaku yang berkaitan dengan elemen budaya dibandingkan dengan perubahan birokrasi yang bersifat struktural.
ADVERTISEMENT
Jadi, jangan berharap reformasi birokrasi bisa terjadi bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan. Lebih lanjut Kotter mengatakan, “… karena manajemen kebanyakan berurusan dengan status quo dan kepemimpinan kebanyakan berurusan dengan perubahan, maka pada abad mendatang kita harus lebih mampu mencetak pemimpin-pemimpin. Tanpa pemimpin yang cukup jumlahnya, visi, komunikasi, dan pemberdayaan yang menjadi jantung perubahan, secara sederhana dapat dikatakan tidak akan cukup cepat untuk memuaskan kebutuhan dan harapan.”
Setidaknya ada empat permasalahan mendasar yang beraspek budaya, yaitu: pengelolaan perubahan (managing change), pengembangan kepemimpinan (develop leaders), pengelolaan SDM (managing people), dan budaya kerja (governance culture).
Mengapa selama ini reformasi birokrasi dan kepemerintahan belum menampakkan hasil seperti yang kita harapkan? Jawabannya karena baru menyangkut hard side of change, seperti perubahan pada aspek kelembagaan, sistem, dan prosedur yang lebih mudah diidentifikasi. Sementara soft side of change yang berbasis budaya untuk mengubah mindset dan perilaku, belum cukup disentuh.
ADVERTISEMENT
Padahal isu-isu kebijakan yang utama dalam agenda pemerintahan yang utama ke depan adalah perubahan. Rizal Ramli dan Sukardi Sirait misalnya, pernah menulis tentang hal ini dan mengulas mengenai perlunya “jalan baru, pemimpin baru”. Namun, mendengar kata perubahan saja, sudah cukup membuat orang khawatir.
Apa yang membuat seseorang mau merangkul perubahan? Kotter dan Cohen menyatakan bahwa orang terdorong untuk berubah karena ia “melihat” urgensi untuk berubah, “merasakan” kepentingan untuk berubah, dan untuk selanjutnya bersiap untuk “melakukan” perubahan.
Ketiga prinsip: melihat, merasakan, dan melakukan ternyata bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, ataupun pendekatan ilmiah melainkan pada sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam perubahan tersebut. Kotter dalam bukunya The Heart of Change menegaskan bahwa dalam setiap perubahan atau penyesuaian terhadap kondisi yang berubah, selalu saja ada kegetiran. Namun, dunia ini memang selalu berubah, dan kita mau tidak mau harus siap akan perubahan itu.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada pendapat Al-Gore, yang dulu memimpin reformasi birokrasi di Amerika, “Reinvention is an ongoing process that’s never finished.” Jadi jangankan di Indonesia, di negara semaju Amerika pun, reformasi birokrasi merupakan langkah perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement), tanpa henti.
Jika meneropong reformasi birokrasi di Indonesia menggunakan tolok ukur reformasi model Al Gore, “smaller and smarter government, but stronger regulations”, reformasi birokrasi dan kepemerintahan di negeri ini juga masih belum memenuhi ketiga syarat dasar tersebut. Dari segi perampingan struktur dan pemangkasan aparatur lewat strategi reformasi downsizing, maupun penyederhanaan dan penajaman prosedur lewat streamlining, secara umum belum menampakkan hasil yang memuaskan. Namun, reformasi struktural melalui restructuring, dengan membangun kelembagaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di berbagai kota/kabupaten sudah ada yang berhasil dan bisa dicontoh oleh daerah yang lain.
ADVERTISEMENT
Transisi menuju demokrasi yang stabil umumnya didahului oleh bangkitnya dinamika, kompetisi, dan konflik di kalangan elit. Mustahil terbentuk sebuah masyarakat yang demokratis tanpa ketiga hal tersebut. Dinamika politik elit justru bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan sebuah bangsa, jika terkendali.
Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elit terkadang membuat kita menjadi miris. Kemunduran etika ini salah satunya ditandai dengan menonjolkan sikap pragmatisme dalam perilaku politik, yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kemenangan kelompoknya. Dan keadaan semakin kacau ketika masing-masing kelompok berpikir demikian.
Inikah demokrasi untuk rakyat? (Foto: Sébastien Thibault )
zoom-in-whitePerbesar
Inikah demokrasi untuk rakyat? (Foto: Sébastien Thibault )
Jika kita tarik logika yang ada di kepala masing-masing kelompok, (nyaris) tidak ada kepentingan bersama untuk bangsa. Yang ada hanyalah kebersamaan fatamorgana. Seolah-olah kepentingan bersama, padahal sebetulnya hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi.
ADVERTISEMENT
Hampir tidak ada kesepakatan di antara para politisi kita akan dibawa kemana bangsa ini karena semua merasa benar sendiri. Tidak ada yang mau mengalah atau menerima pendapat pihak lain karena tertimbun oleh arogansi kelompok. Boleh saja kita mengaku sebagai negara demokrasi, tapi apakah budaya demokrasi telah hidup di negara ini?
Demokrasi tanpa dibarengi budaya demokrasi ibarat pelita tanpa minyak. Nyala rezim demokratis di berbagai belahan dunia meredup karena gagal mewujudkan budaya demokratis dalam masyarakatnya.
Filosof Imanuel Kant pernah menyindir, adanya dua watak binatang terselip di setiap insan politik, yaitu merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi ia juga mempunyai watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Metafora Kant ini sudah menjadi pengetahuan umum ketika berbicara soal etika politik. Bahkan, ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan animal character (M. Alfan Alfian, 2008).
ADVERTISEMENT
Etika atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Sedangkan etika politik memiliki tujuan untuk menjelaskan mana tingkah politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Ketidakjelasan secara etis dalam kebijakan politis membuat fungsi politik sebagai penyalur aspirasi rakyat tidak berjalan sesuai komitmen, sehingga terjadi elite capture. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah perpolitikan bangsa tidak peka terhadap aspirasi rakyat, karena uang lebih dipentingkan daripada etika.
Lalu ke arah mana etika politik akan dikembangkan oleh para politisi tanah air? Etika politik memang mengatur tindakan-tindakan yang tidak diatur secara legal formal. Jadi, etika politik lebih bersifat konvensi, aturan-aturan moral dengan sanksi moral. Bahkan seringkali sifatnya sangat longgar dan mudah diabaikan tanpa rasa bersalah. Pengabaian terhadap sanksi moral inilah yang merupakan awal munculnya budaya gratifikasi atau tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Reformasi birokrasi dan budaya demokrasi setidaknya bermuara pada dua perubahan.
1. Perubahan tatanan ekonomi, sosial, politik yang disertai dengan pondasi anti korupsi yang kuat. Untuk itu diperlukan perubahan perundang-undangan politik serta pembangunan sistem peradilan yang bebas dan adil.
2. Memperkuat gerakan anti korupsi berbasis gerakan sosial sehingga ada kontrol masyarakat yang kuat terhadap penanganan kasus-kasus korupsi.
Demokrasi dan juga reformasi birokrasi adalah suatu proses. Dia bukanlah sesuatu yang given for granted, tak terkecuali di Indonesia. Di negeri ini, demokrasi politik masih butuh waktu yang panjang, terlebih jika dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan bangsa dan ketimpangan ekonomi. Kita masih perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi. Ada keterbutuhan akan penegakan hukum dan keadilan. Ada agenda yang sangat mendesak terkait perlunya reformasi birokrasi. Ada pula harapan akan tumbuhnya budaya demokrasi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Semoga ke depan negeri ini mampu menegaskan kembali Tri Sakti Jiwa Proklamasi. Berdaulat di bidang politik. Mandiri di bidang ekonomi. Berkepribadian di bidang budaya.