Cerpen : Salah Sangka

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
24 April 2020 11:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
pixabay.com
Namanya lagi marah, pandangan terasa gelap berputar-putar. Energi emosi beraura hitam memenuhi setiap jengkal pembuluh darah. Tekanan darah seketika terpompa kuat menghantar pasokan nutrisi untuk bala tentara setan di pikiran.
ADVERTISEMENT
Sunarti berlari kencang menuju asal muasal penyulut pikiranya terbakar. Tak di hiraukan dua orang perempuan muda pontang-panting mengikuti irama kakinya. Satu memegangi kantong infus, yang satunya lagi mendorong kursi roda. Mana tahu raden ajeng Sri Sunarti Rejokumolo jatuh pingsan.
“Mana, mana itu sundel penggoda istri orang.”
Kerumunan menyibak dengan sendirinya, masing-masing orang seakan memberi panggung kepada Sunarti menunjukan permainan watak. Ini sudah hal biasa bagi penduduk Jati Anom, bukan sekali dua kali wanita keturunan bangsawan itu marah-marah dalam suatu peristiwa.
“kamu orangnya?” tanya Sunarti murka.
“Sabar Bu,....mohon perkenan saya menjelaskan duduk persoalanya.”
Seorang wanita berambut pendek dengan kulit kuning langsat berusaha menenangkan amarah Sunarti yang sedang membara. Wajahnya yang manis di hiasi senyum yang menambah manis, tapi bagi Sunarti itu bagai benzin yang coba-coba mendekati bara amarah. Dan hasilnya bisa di duga....
ADVERTISEMENT
Plak...plak...
Dua tamparan keras seketika melanda wajah manis yang sebenarnya lebih sedap di pandang di bandingkan wajah beringas Sunarti. Bekas tapak tangan membekas memerah meninggalkan jejak penganiayaan, pasti sakit di rasakan wanita berambut pendek itu. Tapi senyumnya masih tak hilang.
“Sekali lagi ibu menampar saya, urusan ini akan saya laporkan kepada pihak yang berwajib.”
Bagai gelegar mengajak perang saja, ucapan wanita itu malah menyulut emosi Sunarti meledak bak letusan gunung Tambora.
“Kamu kira saya takut dengan gertakanmu! Dasar wanita murahan. Sudah melakukan kesalahan malah mengancam. Kamu bisa di bakar hidup-hidup oleh warga sini.” Sunarti malah lebih galak dari preman pasar.
“Salah saya apa Bu? Koq datang-datang main tampar. Saya juga bisa melawan kalau mau.”
ADVERTISEMENT
Mata melotot di balas senyuman, amarah di terima dengan keakraban. Adegan dua orang wanita menjadi tontonan gratis bagi warga. Ada yang senyum-senyum melihat tingkah Sunarti bila sudah marah, ada yang kasihan melihat wanita ayu berambut pendek sudah kena labrak di hari pertama datang. Tapi ada juga yang cuek sambil berlalu memikirkan keadaan diri sendiri yang mungkin lebih penuh pikiran.
Pak lurah Martoloyo berlari-lari menuju arena perang tanding dua srikandi yang merasa sedang mempertahankan kebenaran masing-masing. Kumis tebal melintang seakan membebani langkah kaki untuk berlari gesit. Semakin dekat ketempat dua wanita itu sedang berdiri beradu muka, kaki lurah Martoloyo terasa semakin berat.
“Aduh, Bu. Ketiwasan nasipku ini. Kenapa ibu marah-marah kepada beliau?”
ADVERTISEMENT
Suara pak lurah terdengar seperti orang memelas, kurang serasi dengan perawakan tinggi besar, apalagi bila di padankan dengan kumis melintang bak preman terminal.
“Bapak diam di situ!” keras dan tegas suara Sunarti memberi perintah. Dan cilakanya pak lurah Martoloyo seperti kerupuk udang di siram air panas, melempem.
Warga Jati Anom sudah maklum, pak lurah hanya menggelegar suaranya bila menyuruh warga gotong royong atau ronda malam. Giliran menghadapi istri sendiri, nyalinya langsung ciut entah terbang kemana. Mau tertawa tapi takut dosa, begitu kira-kira pikiran warga melihat perilaku lurah abadi yang kalah pamor dengan lurah bayangan, si Sunarti yang keturunan bangsawan.
“Ngapain kamu pegang-pegang suami orang. Apa kamu ini sejenis perempuan yang kerjaanya senang menggoda lelaki yang telah beristri.”
ADVERTISEMENT
Sunarti langsung tunjuk hidung. Kemarahan yang memuncak telah meracuni nalar pikarnya dari kejernihan. Apalagi melihat wanita asing ini dari tadi senyam-senyum seperti meremehkan dan menganggap enteng dirinya.
“Itu memang pekerjaan saya. Karena hal itu saya di bayar dan saya akan menetap di sini untuk sementara waktu.”
Wanita muda berambut pendek dengan baju atasan putih itu menjawab tenang, bahkan jawaban barusan seperti ingin memancing amarah Sunarti hingga meledak dan membakar siapa saja yang menjadi lawan.
Raden Ajeng Sri Sunarti Rejokumolo mendengus gusar. Seumur-umur hidupnya, baru sekali ini ada orang lain yang berani lancang meremehkan dirinya. Wanita muda, orang asing pula.
Muka Sunarti sudah menyerupai kepiting rebus, merah membara di penuhi hasrat melampiaskan amarah yang dalamnya melebihi panas api neraka. Matanya melotot, tanganya terkepal siap menghantam, napasnya bergemuruh seperti lokomotif uap zaman kompeni dulu.
ADVERTISEMENT
“Sudahlah, Bu. Malu di lihat warga. Ibu salah sangka dengan beliau, beliau ini anak bapak bupati dari ibu kota kabupaten.”
Pak lurah Martoloyo akhirnya punya keberanian, cukup sudah rasanya diri ini menjadi boneka permainan istrinya sendiri. Bersabar sejak mula pernikahan dulu, hanya karena dirinya anak petani melarat.
“Ibu dengar pak lurah ngomong apa! Saya datang kedesa ini ingin mengabdikan ilmu yang saya miliki untuk membantu warga yang ada. Tidak peduli laki-laki atau wanita, tua muda saya layani gratis untuk berobat.”
Makin terpojok Sunarti mendengarnya. Bukan saja menyaksikan keberanian suaminya membantah yang baru sekali ini terjadi, juga kenyataan bila orang yang di tamparnya ternyata dokter, anak bupati pula.
Marah berubah menjadi malu, itu proses yang paling menyakitkan bagi seorang manusia yang masih memiliki nyawa. Setan-setan pasti tertawa melihat ketololanya, warga seisi desa pasti sedang berpesta pora dalam hati melihat harga dirinya hancur sehancur-hancurnya.
ADVERTISEMENT
Sunarti sang bangsawan itu terpaku di tempatnya berdiri, gelap pandanganya terasa lebih pekat dari segala gelap yang pernah di rasa manusia. Malu yang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun minggat dari jiwanya, kini datang menggedor kembali pintu jiwa meminta jatah tempat terhormat di dalam diri.
Sampai akhirnya......
“Sudahlah Bu, saya maklum koq dengan semua ini. Ibu terlalu sayang kepada pak lurah kan? Rasa cinta dan sayang itulah yang membuat ibu menjadi wanita pemarah. Ibu sangat cantik loh kalau tersenyum.”
Ucapan lembut dan halus, di iringi genggaman tangan penuh persahabatan dari wanita muda itu meluruhkan segala rasa angkuh dan ingin menang sendiri. Air mata Sunarti tiba-tiba menetes tak terkendali, raungan tangis terasa menyesaki penyesalan yang baru kini lahir.
ADVERTISEMENT
“Maafkan saya, Den Ayu.”
Hanya itu kata-kata yang mampu ia ucapkan. Tapi itu sudah cukup membuat seisi desa Jati Anom merasa gembira.
Tamat.