news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Korupsi Tidak Mati-mati

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
4 Februari 2020 6:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi anti korupsi. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi anti korupsi. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Apa yang belum pernah di lakukan oleh pemerintah dan jajaran lembaga penegak hukum di Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi? Rasa-rasanya semua cara telah di lakukan, semua kiat dan strategi telah ditempuh.
ADVERTISEMENT
Baik kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, pengawas-pengawas internal di setiap departemen dan instansi pemerintah, semuanya telah melakukan berbagai langkah dan strategi untuk mencegah dan menindak kejahatan korupsi berkembang biak di Bumi Pertiwi.
Tapi apa hasilnya? Korupsi semakin merajalela, kebocoran anggaran tetap terjadi, kongkalikong untuk memuluskan kepentingan pribadi dan golongan menjadi tontonan sehari-hari.
Semakin berkoar-koar pemerintah dan penegak hukum bertekad memerangi perilaku korupsi, para koruptor seperti silih berganti lahir dan tumbuh di Bumi Pertiwi. Satu tertangkap KPK, tidak berselang lama ada 3,5,9, bahkan mungkin ratusan orang yang menunggu kesempatan melakukan korupsi. Asal ada kesempatan dan peluang, bersiap-siaplah para pencoleng uang negara beraksi dengan aneka macam cara.
Apa yang salah dari pemberantasan korupsi di republik ini? Mengapa begitu sulitnya memberantas perilaku korupsi dari wajah republik yang sesungguhnya kaya-raya ini. Tidak mungkin tidak ada yang salah dari upaya pemberantasan korupsi yang di lakukan selama ini, bila melihat semakin marak dan langgengnya para pelaku korupsi beraksi menggarong kekayaan negeri.
ADVERTISEMENT

Akar Masalah

Ternyata selama ini kita alpa akan satu hal, pemerintah dan penegak hukum lalai dengan hal penting yang seharusnya menjadi konsen dan landasan utama dalam pemberantasan korupsi.
Pemerintah dan para penegak hukum (termasuk KPK) tidak pernah bersungguh-sungguh hendak menciptakan rasa jera bagi para pelaku koruptor yang telah di vonis bersalah oleh pengadilan.
Para penegak hukum dan pemerintah {termasuk DPR sebagai lembaga pengawas pemerintahan, dan juga sebagai lembaga yang bisa membuat undang-undang} hanya sibuk pada tataran wacana dan cara memberantas korupsi dengan mengedepankan pencegahan yang bertolak dari “ kebutuhan materi dan nilai nominal” sebagai pemicu timbulnya perilaku korupsi.
Maka tidak heran bila gaji kecil dan pendapatan yang rendah masih menjadi alasan klasik yang sering didengung-dengungkan oleh sementara pihak sebagai pemicu utama niat untuk melakukan korupsi. Bahkan ada segelintir oknum yang berpandangan bahwa rendahnya pendapatan para penyelenggara negara adalah alasan utama mereka mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
ADVERTISEMENT
Benarkah demikian keadaannya? Mungkin anda pernah melihat para tersangka korupsi yang terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK masih bisa tersenyum lebar ketika media massa terang-terangan menayangkan wajahnya di layar kaca atau di media online?
Bisa di bayangkan seseorang yang tertangkap basah melakukan kejahatan, kemudian disorot kamera para awak media, tapi masih bisa menunjukkan senyum ceria dan wajah suci tanpa rasa bersalah. Bukankah hal seperti ini bisa jadi pemicu bagi orang lain yang melihatnya (yang kebetulan di hati dan jiwanya sudah ada bibit-bibit perilaku korupsi), untuk melakukan korupsi.
Mari kita simak rumus korupsi yang saya dapatkan dari seorang pengangguran yang berterus terang akan melakukan korupsi juga bila kelak bisa bekerja sebagai aparatur negara.
ADVERTISEMENT
“Katakanlah melakukan korupsi selama 10 tahun, hasil korupsinya hampir 100 miliar (bisa dilihat dari keberhasilannya beternak mobil mewah, rumah megah di mana-mana,tanah dan kebun di beberapa tempat, plus aneka logam mulia yang tersimpan di brankas). Ditangkap KPK di sebuah kasus, nilai nominalnya hanya 2 miliar. Mentok divonis hakim 4 tahun penjara, denda 500 juta. Di penjara masih bisa bermain mata meminta fasilitas istimewa, belum lagi nanti mendapat remisi dan pengurangan hukuman (Gayus yang bisa plesiran, atau Novanto yang kepergok sedang keluyuran di luar rutan) ternyata menjadi koruptor itu menggiurkan.”
Tidak adanya rasa jera bagi pelaku koruptor yang pernah di adili dan terbukti melakukan kejahatan korupsi, membuat semua orang yang punya kesempatan dan niat untuk korupsi semakin terpacu melakukannya. Coba pemerintah bersama DPR dan seluruh jajaran penegak hukum duduk bersama kemudian merumuskan sebuah peraturan dan undang-undang untuk memiskinkan para koruptor, atau menghukum mati para koruptor dengan nominal miliaran, dan hukuman seumur hidup plus kerja paksa untuk pelaku korupsi puluhan juta ke atas.
ADVERTISEMENT
Apalagi bila para pemegang kekuasaan di negeri ini punya komitmen antara “perkataan dan tindakan” dalam penegakan hukum, di jamin dalam tempo tidak terlalu lama perilaku korupsi secara berangsur-angsur akan lenyap dari negara tercinta.
Buatlah para pelaku korupsi jera, jadikan para koruptor sebagai monumen hidup bagi siapapun untuk jangan coba-coba menggarong uang negara. Keberanian elite-elite negeri ini bertindak nyata dalam pemberantasan korupsi akan menjadi penentu titik awal perang besar melawan para koruptor.
Efek jera dari hukuman yang harus di tanggung para koruptor pasti akan menjadi obat mujarab untuk memberantas kejahatan yang levelnya sudah luar biasa ini. Sebuah cara mudah yang entah karena alasan apa ternyata dilupakan begitu saja oleh para pengambil kebijakan negeri ini.
ADVERTISEMENT
Salam.
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock