Menanti Kepastian Presiden untuk Buka Dokumen TPF Munir

18 Februari 2017 23:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suciwati (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Suciwati, istri almarhum Munir, terus menunggu tindak lanjut perintah Presiden Joko Widodo untuk menelusuri keberadaan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Hingga saat ini, tak ada kepastian soal dokumen itu.
ADVERTISEMENT
“Pertanggungjawaban apa yang hendak diperlihatkan kepada rakyat. Ini kekecewaan yang luar biasa, rakyat terus akan melihat dan saya pikir enggak perlu lagi memilih presiden yang seperti itu,” ujar Suciwati di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Sabtu (18/2).
Kekecewaannya memuncak lantaran putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP). Sebelumnya, KIP memutuskan jika dokumen penyelidikan TPF atas kasus Munir adalah peristiwa yang harus diumumkan ke masyarakat.
Suci menuturkan, PTUN mengingkari fungsinya sebagai ruang impunitas untuk melindungi pelanggar-pelanggar HAM melalui pengadilan.
“Hari ini kita bisa lihat, PTUN memperlihatkan bahwa negara yang seharusnya bertanggungjawab menyimpan dokumen TPF Munir, justru malah dengan seenaknya menghilangkan dokumen tersebut,” ujar Suci.
Putusan PTUN itu bertentangan dengan pernyataan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menyerahkan salinan dokumen Munir kepada pemerintahan Joko Widodo pada 26 Oktober 2016.
ADVERTISEMENT
Poster Munir dalam aksi Kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, meminta Presiden Joko Widodo menindaklanjuti pencarian dokumen tersebut usai putusan KIP.
“Presiden pasca putusan KIP memerintahkan Kapolri dan Kejaksaan Agung untuk mencari dokumen tersebut, tetapi apa hasilnya sekarang,” tuturnya.
Di dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), menegaskan setiap orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun.
Haris mengatakan, timnya akan terus menunggu jawaban Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menjelaskan hasil penyelidikan atas hilangnya dokumen tersebut.
“Jika memang ada maling dalam istana, jika memang ada yang mencuri dalam istana, maka itu bahaya bagi bangsa karena dalam istana saja tidak aman,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Haris beserta Suciwati hanya menuntut kasusnya diusut secara adil. Mereka akan mengawal mendiang Munir mendorong penegakan hukum agar tidak bersifat diskriminatif.
“Rezim Jokowi juga patut dipertanyakan, kenapa giliran Antasari Azhar sepertinya kok seperti disambut, Wakil Presiden sampai datang ke acara syukurannya Antasari. Kalau Antasari didukung diungkapkan kasus rekayasanya, harusnya itu juga berlaku kepada masyarakat yang lain termasuk kasus Munir,” kata Haris.