Pit Stop Saya di Amerika Serikat.

Margaretta Puspita
A scribbler of verses who thinks she is a poet, a mother of two who always questions her parenting skills, and a woman who invests so much time and effort for infrastructure diplomacy.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2021 21:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretta Puspita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti mobil balap yang harus masuk pit stop ketika butuh perbaikan atau isi ulang bahan bakar, manusia dalam hidupnya juga harus memasuki pit stop beberapa kali.
ADVERTISEMENT
Bukan untuk ganti ban atau ganti onderdil, tapi untuk refleksi dan kontemplasi mengenai perjalanan hidupnya sejauh ini.
Pada saat bertugas di Amerika Serikat (AS), saya memasuki pit stop kehidupan untuk kesekian kalinya. Saya bertanya kepada diri sendiri, sebetulnya apa yang membuat saya meneruskan pekerjaan sebagai seorang diplomat?
Harga yang harus dibayar seorang diplomat (perempuan) tidak sedikit. Mulai dari pasangan yang tidak diperbolehkan bekerja ketika bertugas di luar negeri, cibiran atau komentar negatif dari masyarakat sekitar karena “perempuan kok tulang punggung?”, risiko keterlambatan anak berbicara karena kendala Bahasa yang kerap berganti atau “buang umur” sekolah karena harus pindah sekolah di tengah tahun ajaran, hingga tantangan penyesuaian hidup berkali-kali di negara orang.
ADVERTISEMENT
Dalam pencarian jawaban, ternyata jawabannya saya dapatkan pada keseharian kami di AS.

Agar Mereka Semakin Bertoleransi dan Berempati

“Ma, kalau Kakak warna kulitnya apa?” tanya si sulung suatu hari. “Maksudnya, di sekolah Kakak ada yang kulitnya warna hitam, cokelat, putih, dan yang agak putih. Kalau aku apa, Ma? Banyak teman di sekolah bertanya soal warna kulitku”.
Seketika itu juga saya ingat bahwa tujuan saya terus berkarya di pekerjaan ini adalah untuk memberikan pengalaman yang lebih beragam untuk anak-anak saya.
Memberikan mereka kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak orang yang mempunyai latar belakang yang beragam. Memperluas social bubble adalah kiat jitu untuk membangun empati dan toleransi yang lebih tinggi bagi anak-anak.
Pengalaman Halloween Parade pertama si sulung (Sumber: Dok. Pribadi)
Konsep American Dream yang mulai diperkenalkan sejak 1931 oleh James Adams membuat banyak sekali imigran datang ke AS untuk mencari nasib yang lebih baik. Dalam konsep tersebut, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk sejahtera. Ini sebabnya AS menjadi melting pot tempat orang dari seluruh dunia berkumpul.
ADVERTISEMENT
Kembali ke pertanyaan si sulung, saya menjawab demikian, “Tidak masalah kulit kita warnanya apa, Kak. Manusia dinilai dari perbuatannya dan perlakuannya ke orang lain dan sekitar. Tapi kalau pertanyaannya kamu berasal dari negara apa, maka jawablah: Indonesia.”
Saya jelaskan juga bahwa kita tidak bisa mengatur pertanyaan orang lain ke kita, tetapi kita bisa mengatur pertanyaan kita kepada orang lain. Pertanyaan mengenai warna kulit (ras), agama, status, fisik, dan sebagainya adalah sangat personal. Oleh karena itu sebaiknya kita hindari, kecuali mereka sendiri yang memberitahukan kepada kita.
Keragaman perlu dihargai, bukan dijadikan beban atau dasar kita menghakimi orang lain.

Agar Mereka Berpola Pikir Kritis.

Di lain waktu, si sulung kembali cerita, “Ma, tadi di sekolah alarm berbunyi sangat nyaring lalu aku dan teman-teman masuk ke dalam kubikel loker sekolah untuk sembunyi.”
ADVERTISEMENT
Ternyata hari itu sekolah si sulung ada pelatihan keadaan kahar sekiranya ada penembakan massal di sekolah.
Si sulung berangkat sekolah sendiri. (Sumber: Dok. Pribadi)
Kala itu di AS sedang marak kasus penembakan massal di ruang publik, salah satunya di sekolah. Hal yang sangat tidak terbayangkan untuk para orang tua. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk kita menitipkan anak-anak lalu menjadi ladang penembakan.
Ketanggapan para pengajar di sekolah publik AS patut saya acungi jempol. Mereka segera melakukan crisis management dan melatih anak-anak usia dini bagaimana bertindak dalam keadaan kahar. Orang tua pun mendapatkan surel pemberitahuan dari seminggu sebelumnya.
Si sulung bercerita, ketika alarm berbunyi nyaring, ia dan kawan-kawannya harus segera masuk ke dalam kubikel loker dan tidak boleh bersuara sama sekali. Sementara gurunya segera menutup pintu kelas, menguncinya rapat, mematikan lampu dan segera berlindung di dalam lemari peralatan kelas.
ADVERTISEMENT
Mereka baru boleh keluar ketika sudah ada instruksi dari guru kelasnya yang berarti menandakan keadaan sudah aman.
Lantas si sulung bertanya kepada saya, “Kenapa ada orang yang mau menembak orang lain, Mama?”
Saya tidak berusaha mengarahkan si sulung untuk mengikuti pola pikir saya, tapi saya mencoba memaparkan fakta di lapangan dan membiarkan si sulung untuk berpikir dengan caranya sendiri.
Saya jelaskan, “Sulit bagi kita untuk tahu alasan sesungguhnya, Kak. Tapi yang mama tahu, kebanyakan dari mereka punya akar pahit. Dan tidak semua orang beruntung untuk mendapatkan bantuan ketika mereka membutuhkan, Kak.”
Kami berdua pun membahas sedikit mengenai pro kontra regulasi pemilikan senjata api di AS. Kebijakan pembatasan pemilikan senjata api merupakan salah satu komoditi politik yang digunakan kedua belah kubu partai di AS.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari nilai kebebasan individu, saya sampaikan bahwa banyak orang di AS merasa berhak memiliki senjata api untuk melindungi dirinya sendiri dan orang lain. Tetapi natur manusia yang tidak dapat diprediksi membuat kepemilikan senjata api tersebut berbahaya untuk disalahgunakan.
Diskusi kami berdua diakhiri dengan kesimpulan dari si sulung, "Kalau kakak jadi Presiden, lebih baik tidak usah ada yang punya senjata, Ma."
Sure, Kak.

Memori, Bukan Materi.

Sisi positif berpindah-pindah tempat penugasan adalah pelesiran ke berbagai banyak tempat di negara orang. Kebiasaan pelesiran ini pun saya terapkan ketika di Indonesia, karena mereka juga harus tahu mengenai 'rumahnya' sendiri.
Saya mau ajarkan ke anak-anak saya bahwa pengalaman pelesiran adalah memori tak ternilai dengan uang.
ADVERTISEMENT
Maka ketika ditugaskan di AS, saya tidak menunggu lama untuk segera plesiran lewat jalan darat menikmati infrastuktur jalan raya dan konektivitas di AS. Jalan darat di wilayah kontinental AS yang begitu luas sudah terkoneksi sehingga sangat memudahkan untuk road trip dari pantai barat ke timur dan sebaliknya.
Pelesiran kami selama di AS yang sangat berkesan adalah saat kami pergi ke Disneyland dan Grand Canyon. Kami menempuh perjalanan darat sejauh 1573 KM dari Washington, D.C. ke Disneyland di Florida dan 3680 KM ke Grand Canyon, Arizona.
Dua alasan utama saya mengenalkan Disney kepada anak-anak saya adalah: pertama, cerita Disney mengajarkan kemampuan untuk melihat hal positif dan harapan akan adanya kelegaan setelah kesesakan adalah salah satu life skill yang sangat berguna. Kedua, merangsang kemampuan imajinasi anak-anak hingga saatnya nanti mereka berkenalan dengan realita.
Bersama bebebears di Disneyland (Sumber: Dok. Pribadi)
Mereka sangat senang, mamanya lebih senang lagi 😊 Pelesiran ke Disneyland ini bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga inner child saya.
ADVERTISEMENT
Di lain kesempatan, kami road trip lagi ke bagian pantai timur AS dan melihat matahari terbit perlahan menyinari lekukan Grand Canyon.
Bersama bebebears di Grand Canyon, Arizona (Sumber: Dok. Pribadi)
Kami memilih tracking lewat Angel Trail dan mendapati beberapa lukisan tangan suku asli Amerika, Puebloans yang selama ratusan tahun tinggal di Grand Canyon.
"Siapa yang ciptakan semua ini, hayo?" tanya saya kepada anak-anak. "God," sambut si bungsu tanpa ragu.
Saya tersenyum. Bersyukur bahwa kami beruntung bisa merasakan pelesiran di negara orang. Barang dan segala materi bisa tergerus waktu, tapi memori bisa mereka bawa sampai mereka besar nanti.
Tracking dengan si bungsu di punggung. (Sumber: Dok. Pribadi)
Jadi, pit stop saya kali itu berbuah pada peneguhan motivasi diri saya untuk terus mengabdi kepada negara sebagai seorang diplomat.
ADVERTISEMENT
Saya berkarya bukan lagi untuk ambisi saya semata, tetapi untuk anak-anak saya.
Soal kecukupan materi, saya serahkan pada Tuhan. Tapi yang bisa saya lakukan adalah mempersiapkan mereka menuju dunia dewasa sebaik-baiknya.
Pekerjaan ini memampukan saya untuk dapat memperluas horison kehidupan anak-anak saya. Saya yakin di luar sana pasti ada pekerjaan lain yang juga dapat memberikan hal serupa atau bahkan lebih baik. Namun untuk saat ini, inilah yang terbaik yang bisa saya berikan untuk anak-anak saya.
Dengan pengalaman hidup yang beragam dan horison yang lebih luas, semoga mereka bisa lebih bertoleransi, berempati, berpikiran kritis, dan mampu melihat dunia ini di luar nilai materialnya.
Semoga dengan demikian mereka dapat mempunyai hidup yang lebih baik (in their own way) dari pada orang tuanya. Karena membesarkan anak yang pintar lebih mudah daripada membesarkan anak yang bijak.
ADVERTISEMENT
This one is for you, bebebears.