Baiq Nuril dan Masa Depan Perlindungan Hukum Perempuan di Indonesia

Maria Ardianingtyas
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M, Advokat dan Pemerhati Hukum di Indonesia www.malawfirm.net
Konten dari Pengguna
19 November 2018 12:32 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Ardianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Baiq Nuril dan Masa Depan Perlindungan Hukum Perempuan di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sabtu, 17 November 2018, pada pukul 6.30 WIB, dan hari masih gelap di Kota Milan, Italia. Disertai udara dingin musim gugur, saya bergegas mengayuh sepeda untuk menemui bang Hotman Paris Hutapea di seputaran Piazza Duomo Milan. Kebetulan, bang Hotman sedang berlibur bersama keluarganya.
ADVERTISEMENT
Tujuan saya menemui beliau adalah untuk menitipkan surat yang ditujukan kepada Kejaksaan Republik Indonesia yang isinya berupa permohonan penundaan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) nomor 574K/Pid.Sus/2018 (putusan MA) terhadap Baiq Nuril.
Bang Hotman begitu bersemangat dan menaruh perhatian terhadap kasus ibu Nuril ini, sampai saya tidak menyangka akhirnya beliau mengajak saya membuat vlog yang kemudian viral di media massa daring dan sempat disiarkan oleh televisi swasta di Indonesia. Kemudian, kami melanjutkan pertemuan tersebut dengan diskusi soal proses hukum yang dialami ibu Nuril.
Saat ini, kasus ibu Nuril sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Putusan MA yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. (putusan PN Mataram) dinilai sangat tidak adil.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya untuk ibu Nuril, tetapi juga tidak berpihak pada masa depan perlindungan hukum perempuan Indonesia, khususnya yang menjadi korban pelecehan seksual.
Fakta hukumnya, putusan PN Mataram yang dikeluarkan pada 26 Juli 2017 telah memutuskan bahwa ibu Nuril, dengan nama lengkap Baiq Nuril Maknun, tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial sebagaimana yang telah dituduhkan berdasarkan laporan pengaduan dari H. Muslim, mantan atasan ibu Nuril di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
Majelis Hakim PN Mataram yang beranggotakan Hakim Ketua Albertus Usaha, S.H., M.H. dengan Hakim Anggota Ranto Indra Karta, S.H.,M.H. dan Ferdinand M. Leander, S.H., M.H. telah memutuskan bahwa ibu Nuril bebas murni.
ADVERTISEMENT
Namun, terhadap putusan PN Mataram tersebut, penuntut umum Kejaksaan Negeri Mataram (Kejari Mataram) mengajukan permohonan kasasi kepada MA.
Dan pada 26 September 2018, majelis hakim MA yang mengadili permohonan kasasi Kejari Mataram dengan No. 18/Akta-Kas/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. telah memutuskan bahwa ibu Nuril terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,” sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Padahal, putusan PN Mataram telah jelas menyebutkan bahwa berdasarkan validasi bukti digital elektronik sebagaimana catatan data umum hasil pemeriksaan terhadap barang bukti digital nomor 220-XII-2016-CYBER yang terdiri dari 5 (sub) barang bukti oleh Tim Pemeriksa Digital Forensik pada Subdit IT & Cybercrime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri beserta analisis hasil pemeriksaannya, tidak ditemukan data-data terkait dugaan tindak pidana sebagaimana yang diputuskan MA.
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
Menurut saya, putusan MA tersebut sangat tidak tepat dalam penerapan hukumnya, tidak hanya untuk ibu Nuril tapi juga sebagai sebuah Yurisprudensi, mengingat putusan MA bersifat berkekuatan hukum tetap (in kracht) dan dapat digunakan sebagai pedoman Hakim dalam membuat putusan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Walaupun di dalam putusan MA telah mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), jelas majelis hakim MA tidak mempertimbangkan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa hakim dan kakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Memang sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114/PUU/X/2012 (Putusan MK) yang menghapus larangan permohonan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana diatur di dalam pasal 244 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), tetapi tetap saja majelis hakim MA harus mempertimbangkan sejarah dari penghapusan pasal 244 KUHAP tersebut.
Karena sebelum adanya putusan MK, pasal 244 KUHAP mengatur bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MA, kecuali terhadap putusan bebas.
ADVERTISEMENT
Kemudian, putusan MA di atas dikeluarkan dengan tidak berpedoman pada pasal-pasal sebagaimana di dalam peraturan MA nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma Perempuan).
Padahal, Perma Perempuan itu disusun sendiri oleh MA sebagai wujud komitmen dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan di Indonesia, atas akses keadilan yang bebas dari diskriminasi.
Sungguh ironis kasus ibu Nuril ini, karena di saat Perma Perempuan telah lahir, namun faktanya majelis hakim MA yang diketuai oleh seorang perempuan yaitu Hakim Agung Sri Murwahyuni, S.H., M.H. dan beranggotakan para hakim-hakim agung, yaitu Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum. dan Dr. H. Eddy Army, S.H., M.H., telah mengeluarkan putusan MA yang sangat tidak adil bagi ibu Nuril.
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Bahkan menurut saya, patut diduga putusan MA ini telah melanggar Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
ADVERTISEMENT
Faktanya, ibu Nuril adalah korban pelecehan seksual atasannya. Apabila terjadi perekaman secara elektronik, hal tersebut bertujuan untuk membela diri dari aksi pelecehan seksual atasannya serta fitnah perselingkuhan yang beredar di tempat kerjanya saat itu.
Tidak ada maksud dan/atau niat apapun dari ibu Nuril karena memang bukan ibu Nuril yang menyebarkan rekaman yang menjadi alat bukti kasus tersebut. Walaupun ibu Nuril dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke MA, tetap saja PK tersebut tidak serta merta menghentikan proses eksekusi putusan MA yang akan dilaksanakan oleh pihak Kejari Mataram sesuai dengan surat panggilan terdakwa nomor B-1109/P.2.10/11/2018 tertanggal 16 November 2018.
Apakah adil bagi ibu Nuril untuk menjalani hukuman pidana yang diperintahkan putusan MA? Kalau sampai putusan MA untuk ibu Nuril tersebut dieksekusi, hal ini akan menjadi preseden yang sangat buruk bagi peradilan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, saya sangat mengharapkan agar masyarakat Indonesia, khususnya para perempuan Indonesia terus memberikan dukungan kepada ibu Nuril baik berupa surat permohonan penundaan eksekusi kepada Kejaksaan RI dan petisi daring.
Juga permohonan kepada bapak Presiden RI Joko Widodo agar menggunakan hak pemberian Amnesti untuk terpidana dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sesuai dengan pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Melihat sedemikian berlikunya proses hukum ibu Nuril dalam membela dirinya terhadap pelecehan seksual yang dilakukan atasannya, sudah saatnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Dengan demikian, maka para perempuan Indonesia mempunyai dasar hukum yang jelas untuk perlindungan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual di dalamnya.
ADVERTISEMENT
-----------------
Milan, 18 Nopember 2018
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M
Advokat Perempuan Indonesia, saat ini sedang berdomisili di kota Milan, Italia
catatan: Tulisan ini dibuat sebelum Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan pernyataan dukungan Peninjauan Kembali oleh ibu Nuril sebagaimana dimuat di dalam artikel ini https://kumparan.com/@kumparannews/jokowi-baiq-nuril-bisa-pk-jika-tak-dapat-keadilan-bisa-ajukan-grasi-1542601926236472903