Omnibus Law atau Revisi DNI?

Maria Ardianingtyas
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M, Advokat dan Pemerhati Hukum di Indonesia www.malawfirm.net
Konten dari Pengguna
16 September 2019 18:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Ardianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbaikan iklim investasi memang menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo saat ini. Sehingga perlu untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undang yang dirasa menghambat investasi. Hal ini telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, sebagaimana diberitakan di beberapa media daring. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah sedang membuat sebuah rancangan Omnibus Law. Omnibus Law ini diharapkan dapat mengatasi sekitar 74 Undang-undang (“UU’) yang sudah dianggap usang dan tidak relevan lagi untuk saat ini. Malah beberapa undang-undang lahir di zaman kolonial Belanda, sehingga menjadi penghambat investasi yang berupa penanaman modal langsung. Saat ini rancangan Omnibus Law tersebut digodok oleh Pemerintah dalam bentuk RUU Perizinan Investasi.
ADVERTISEMENT
Rencana Omnibus Law tersebut seakan melupakan (sejenak) rencana Pemerintah untuk menerbitkan Revisi Daftar Negatif Investasi (“DNI”) yang berlaku saat ini, yaitu Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016. Revisi DNI tersebut sebenarnya sudah direncanakan akan dikeluarkan tahun 2018 lalu. Terutama sejak World Bank merilis peringkat Indonesia untuk Ease of Doing Business (“EODB”) 2019 yang justru turun dari tahun 2018 yaitu dari peringkat 72 menjadi peringkat 73. Padahal dari tahun 2017 ke tahun 2018, Indonesia lompat 19 peringkat untuk EODB, yaitu dari peringkat 91 ke 72. Sebagaimana diberitakan di beberapa media daring, rencana Revisi DNI tadinya meliputi 54 bidang usaha terbagi dalam empat kelompok yang akan direlaksasi oleh Pemerintah. Yaitu Kelompok A dimana ada 4 bidang usaha yang diusulkan untuk direlaksasi dari kelompok dicadangkan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (“UMKM”). Kemudian Kelompok B dimana ada 1 bidang usaha yang diusulkan untuk direlaksasi dari persyaratan kemitraan. Lalu Kelompok C dimana ada 7 bidang usaha yang diusulkan untuk direlaksasi dari persyaratan Penanaman Modal Dalam Negeri (“PMDN”) 100% menjadi dibuka untuk UMKM-Koperasi (UMKM-K), PMDN atau Penanaman Modal Asing (“PMA”). Dan terakhir adalah Kelompok D dimana ada 17 bidang usaha yang sebelumnya dibuka untuk PMA tetapi memerlukan rekomendasi, menjadi dibuka untuk UMKM-K, PMDN dan PMA.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya sampai tahun 2019, revisi DNI tak kunjung difinalkan Pemerintah. Bahkan menurut kabar di beberapa media daring, Pemerintah saat ini justru memutuskan untuk mengembalikan 5 bidang usaha pada kelompok A dan B, untuk kembali masuk ke DNI. Menurut hemat Penulis, hal ini bisa jadi untuk menghindari benturan dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”) No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Fasilitas Penanam Modal, dimana peraturan BKPM tersebut telah mensyaratkan bahwa PMA harus memenuhi ketentuan total nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah) di luar tanah dan bangunan. Sehingga akhirnya, rencananya dari semula 54 bidang usaha menjadi 49 yang akan masuk ke dalam revisi DNI. Adapun 49 bidang usaha tersebut terdiri dari 25 bidang usaha dibuka untuk 100% PMA dan 24 bidang usaha dibuka untuk PMA dengan pembatasan kepemilikan pemegang saham asing. Timbul kesana bahwa Pemerintah seperti ragu, bahkan mungkin maju mundur dalam memutuskan Revisi DNI yang tentunya membuka lebih banyak bidang usaha untuk PMA, baik dengan kepemilikan 100% asing maupun pembatasan kepemilikan saham asing.
ADVERTISEMENT
Mempertanyakan Efektifitas DNI
Efektifitas DNI dalam usaha meningkatkan iklim investasi di Indonesia memang patut dipertanyakan di era globalisasi saat ini. Apakah sekedar untuk proteksi UMKM, UMKM-K atau PMDN? Atau dalam rangka memenuhi amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945? Apakah DNI justru dipakai untuk melindungi kepentingan usaha kelompok tertentu di Indonesia? Karena ada beberapa bidang usaha yang masuk DNI justru kebanyakan membutuhkan modal yang sangat besar, yang bisa jadi hanya diminati oleh investor asing. Sebagai contoh penyediaan dan pengusahaan pelabuhan, angkutan penyebrangan laut, sungai dan danau, dan angkutan udara niaga. Apabila disyaratkan pembatasan kepemilikan asing maksimal 49% dan modal yang dibutuhkan untuk investasi besar sekali, maka hanya kelompok pengusaha pemodal besar tertentu di Indonesia yang sanggup berpatungan menjadi pemegang saham 51% dari PMA patungan tersebut. Kemudian apakah dengan adanya DNI, justru masih menyuburkan praktek nominee arrangement yang sebenarnya telah dilarang UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
ADVERTISEMENT
Mengenai peningkatan perekonomian Indonesia, apakah dengan adanya DNI justru memicu arus barang impor semakin tinggi? Karena sebenarnya jika bidang usaha yang tertutup untuk PMA tersebut dikeluarkan dari DNI, bisa saja membuat investor asing tertarik untuk mendirikan PMA yang memproduksi barang yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, sehingga angka impor barang dapat ditekan. Tentunya harus dibuktikan terlebih dahulu, baru dapat diputuskan apakah DNI memang masih efektif, karena sudah ada aturan mengenai batasan minimum PMA yang diatur di dalam Peraturan BKPM.
Fokus untuk Revisi DNI
Sambil menunggu diterbitkannya Omnibus Law Perizinan Investasi, hendaknya Pemerintah fokus kembali ke rencana untuk menerbitkan revisi DNI. Hal ini karena Omnibus Law Perizinan Investasi (apabila jadi diterbitkan bulan depan) belum dapat dipastikan apakah dapat efektif penerapannya. Apabila Omnibus Law tersebut lahir dalam bentukUndang-undang, maka posisi dalam hirarki peraturan perundangan-undangan sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akan sama dengan 74 UU yang akan direvisi. Sedangkan sistem hukum di Indonesia sendiri menganut asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis, dimana hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
ADVERTISEMENT
Dengan terbitnya revisi DNI dengan lebih banyak bidang usaha yang dibuka untuk 100% kepemilikan asing dalam PMA, diharapkan akan lebih banyak investor asing yang tertarik menanamkan modal yang besar yang dapat membuka banyak lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Revisi DNI lebih realistis untuk diterbitkan terlebih dahulu daripada Omnibus Law Perizinan Investasi.
Milan, 15 September 2019
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M ([email protected])