Batalnya Kenaikan Iuran BPJS dan Solusi yang Belum Tercapai

Maria Cellina Wijaya
dr. Maria Cellina Wijaya adalah seorang dokter lulusan FK UNAIR yang kini bertugas di Mojokerto, Jawa Timur.
Konten dari Pengguna
6 Juli 2020 20:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Cellina Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Batalnya Kenaikan Iuran BPJS dan Solusi yang Belum Tercapai
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada 9 Maret 2020 lalu, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran BPJS yang dimulai sejak 1 Januari 2020. Namun kenyataannya, hingga saat ini iuran masih mengikuti nominal yang diterapkan pada Peraturan Presiden no. 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk menaikkan iuran BPJS memang sangat kontroversial sejak pertama kali diutarakan oleh pemerintah. Masyarakat tentu merayakan putusan MA yang menggagalkan kenaikan tersebut. Tetapi, saat iuran tak kunjung turun, masyarakat semakin gelisah. Ditambah kepanikan yang merajalela akibat wabah coronavirus, dan ketidakpastian apakah semua terapi orang yang terinfeksi akan ditanggung oleh BPJS. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengucapkan bahwa pandemi coronavirus tidak masuk dalam hal yang bisa dicover BPJS dari iuran. Maka dari itu, pendanaan untuk penanganan pasien coronavirus akan diambil dari APBN atau APBD.
Sejak awal didirikannya BPJS, badan tersebut telah mendapatkan kritik dan reaksi negatif dari publik. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan dari sistem dan manajemen BPJS itu sendiri, yang bermanifestasi sebagai keterlambatan pembayaran kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan, kenaikan iuran setiap tahun, dan budget yang selalu defisit.
ADVERTISEMENT
Mengapa perlu kenaikan iuran?
BPJS telah melaporkan defisit pada budgetnya sejak terbentuknya badan tersebut di tahun 2014. Di tahun 2014, defisit BPJS adalah 1,9 trilyun rupiah. Kemudian, di tahun 2015 defisit mencapai 9,4 trilyun rupiah, yang merupakan kenaikan sebesar 500% dari tahun sebelumnya. Namun, di tahun 2016 defisit berkurang menjadi ‘hanya’ 6,4 trilyun rupiah. Menurut Sri Mulyani, berkurangnya defisit adalah akibat kebijakan untuk menaikkan iuran di tahun 2016.
Di tahun 2017, jumlah defisit naik lagi menjadi 13,8 trilyun, dan lompat menjadi 19,4 trilyun pada tahun 2018. Kementrian Keuangan memprediksi bahwa defisit BPJS akan naik hingga menjadi 28 trilyun rupiah di penghujung 2019.
Sustainable Development Goals (SDGs) diciptakan sebagai tujuan pembangunan untuk menciptakan dunia yang lebih baik tahun 2030. Salah satu tujuan penting terutama di bidang kesehatan adalah tercapainya universal health coverage atau cakupan kesehatan universal. Akan tetapi, salah satu kendala terbesar bagi setiap negara dalam mencapai hal tersebut ialah di bagian keuangan atau financing. Tidak ada negara yang, sekaya apapun, dapat membiayai seluruh pelayanan kesehatan bagi tiap rakyatnya secara berkelanjutan dan sustainable.
ADVERTISEMENT
Bahkan negara maju seperti Inggris juga mengalami kesulitan dalam membiayai jaminan kesehatan nasional mereka, yang bernama National Health Service atau NHS. NHS yang notabene merupakan contoh sistem jaminan kesehatan yang terbaik di dunia, masih memerlukan pinjaman dari pemerintah Inggris untuk menutup budget mereka.
Walau begitu, kita harus menilik permasalahan setiap negara dari sudut yang berbeda. Menurut mantan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, penyebab utama defisit BPJS adalah akibat 50% peserta iuran mandiri tidak tertib dalam membayar iuran.
“Sampai saat ini hanya 50 persen yang bayar (iuran). Pendaftar (hanya membayar) saat sakit dan setelah dapat layanan kesehatan, dia berhenti dan tidak bayar premi lagi,” ujar Mardiasmo pada diskusi bertajuk Iuran Tarif BPJS pada 7 Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini juga diucapkan oleh Sri Mulyani, yang mengkonfirmasi bahwa iuran BPJS terlalu rendah. “Iuran terlalu kecil dengan manfaat terlalu banyak, maka resikonya terlalu tinggi karena peserta juga banyak,” ucap Sri Mulyani.
Tidak diherankan apabila Kemenkeu terfokus terhadap menaikkan iuran BPJS sebagai solusi. Akan tetapi, solusi ini menjadi salah satu yang paling tidak populer, dengan berbagai pihak mengatakan bahwa Kemenkeu tidak dapat memperhitungkan daya beli masyarakat dengan baik.
Fokus Solusi yang Lain
Sebagai tenaga medis, kenyataan yang saya lihat di lapangan ialah beberapa kelompok masyarakat kesulitan membayar iuran BPJS bahkan sebelum kenaikan iuran ditetapkan. Maka dari itu, menaikkan iuran bukan merupakan penyelesaian yang solutif terhadap defisit BPJS saat ini. Kenyataan lain di lapangan juga menunjukkan bahwa masih banyak orang yang baru mendaftar BPJS di saat mereka telah sampai di rumah sakit dan membutuhkan pelayanan saat itu juga. Orang-orang tersebut datang ke rumah sakit tanpa memiliki BPJS, kemudian mereka memutuskan untuk mendaftar di saat mereka membutuhkan terapi yang mahal. Setelah pelayanan selesai, mereka berhenti membayar iuran. Ini merupakan hal yang sering saya lihat saat bekerja di salah satu RS rujukan nasional terbesar di Surabaya. Ketika ditanya, orang-orang ini selalu menjawab, “mengapa kami harus tetap membayar iuran saat kami tidak perlu menggunakan BPJS lagi?”
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih belum cukup mengerti tentang konsep gotong royong dari jaminan kesehatan nasional itu sendiri. Maka dari itu, penyebab defisit yang harus lebih kita telurusi lebih lanjut adalah rendahnya keaktifan peserta BPJS dalam membayar iuran. Kemenkeu (bersamaan dengan Kementrian Kesehatan) harus lebih fokus terhadap menemukan solusi yang inovatif dan jangka panjang untuk menaikkan partisipasi masyarakat dalam membayar iuran. Kita dapat menoleh kepada NHS Inggris lagi sebagai contoh. NHS merupakan sistem jaminan kesehatan nasional yang unik, dimana premi dibayar bukan melalui sistem iuran namun diambil langsung dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Namun, hal seperti ini tentu agak sulit untuk diimplementasikan di suatu negara dimana kesehatan bukan merupakan prioritas dari anggaran.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki manajemen internal dan alokasi sumber daya di dalam BPJS itu sendiri. Selanjutnya, pemerintah harus fokus terhadap meletakkan sistem penarikan iuran yang lebih baik. Edukasi masyarakat juga penting untuk dilakukan, agar mereka paham bahwa mekanisme dasar dari suatu sistem asuransi kesehatan adalah tetap membayar iuran bahkan saat kita sedang tidak membutuhkan ataupun menggunakannya. Lebih lanjut lagi, BPJS dapat memberikan sanksi yang lebih berat terhadap peserta yang tidak membayar iurannya.
Ketimbang menaikkan iuran BPJS, pemerintah harus lebih fokus pada cara-cara untuk meningkatkan tingkat partisipasi pembayaran iuran BPJS. Peserta baru harus berkomitmen untuk membayar iuran terus menerus, begitu pula peserta lama harus membayar iuran tepat waktu. Solusi ini penting untuk memastikan keberlangsungan dari BPJS sendiri sebagai pemenuhan dari SDGs untuk mencapai jaminan kesehatan yang universal pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT