Behind the Scene: Perkara Jenglot Hingga Bau Anyir di Bukit Gombel

14 September 2017 17:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Wik, lihat hantunya, nggak?” “Lu ngerasain apa di sana? Serem gak?” “Ada kelihatan hantunya, nggak?”
ADVERTISEMENT
Guys, rileks. Saya nggak lihat apa-apa (sayangnya). Tapi, percayalah, Bukit Gombel memang bukan “tempat biasa” untuk dikunjungi sesuka hati oleh sembarang orang.
Saya ingat betul kali pertama mengajukan ide untuk membuat liputan khusus bertema misteri. Tak disangka, ide tersebut disetujui dan masuk dalam daftar “tabungan” topik liputan. Hingga akhirnya liputan itu diputuskan dijalankan, dan saya segera “bergerak”.
Saya segera mencari komunitas misteri yang bisa saya jumpai untuk diajak ngobrol--dan melibatkan tim saya dalam ekspedisi bersama.
Setelah melakukan riset kecil-kecilan, menghubungi, dan mengirim pesan ke beberapa komunitas, Semarangker merespons pesan singkat saya, dan dengan senang hati mengundang kami ke Semarang untuk berkenalan dan berkenalan dengan dunia mereka.
“Monggo, untuk sedulur kami selalu welcome…” begitu isi pesan dari Mas Pam, panggilan akrab Pamuji Yuono atau Pamerado, salah satu pendiri Semarangker.
Komunitas Semarangker. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Sambutan hangat itu berujung jadwal “dating” kami, dan berakhir dengan menembus sudut angker kota Semarang di malam hari.
ADVERTISEMENT
Mas Pam dengan semangat memilih Bukit Gombel sebagai lokasi menjelajah. Ia menyebut tempat itu “Grade A” alias amat menyeramkan.
Saya yang sejak kecil terbiasa bermain di kuburan pun dibuat penasaran: seseram apa sih Bukit Gombel dan bangunan mangkrak di sana?
Kami tiba di Semarang hari Kamis, 7 September. Kedatangan kami disambut hangat oleh keluarga Semarangker. Tak cuma itu, kami juga disongsong berbagai koleksi benda bermitos yang disimpan di sebuah kamar khusus di markas Semarangker.
Kamar angker itu diberi nama “collection room”.
Collection Room Semarangker. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Sebagai penggemar serial Jenglot sedari umur 4 tahun, saya sejujurnya terkesima saat melihat satu jenglot terpampang nyata di sudut ruangan koleksi Semarangker.
Ya, jenglot, makhluk misterius berbentuk manusia kecil berambut panjang seperti ijuk, berkuku dan bergigi panjang, dengan tinggi tubuh kurang dari 12 sentimeter.
ADVERTISEMENT
Maklum, saya belum pernah lihat jenglot beneran. Hingga akhirnya, mata saya beralih ke sebuah patung kayu yang ditaruh di pojok ruangan.
Boneka Voodoo. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Cornelius Bintang--videografer andal rekan sekantor saya--dan Mas Pam sudah keluar dari ruangan, ketika saya dengan sok asyik mendekati patung kayu itu, lalu mengamatinya puas-puas.
Sampai akhirnya, perlahan, sayup terdengar suara kayu yang diketuk dan saling gesek di pojok lain ruangan. Bunyinya cukup kencang.
Saya sontak melihat ke arah jenglot dan sebuah mainan kayu di sampingnya. Dan entah mengapa, mainan kayu itu goyang dengan sendirinya :’)))
FYI, ruangan koleksi itu tidak punya jendela dan hanya memiliki satu pintu. Entah dari mana datangnya angin itu, saya juga tidak paham :’)))
Tapi sudahlah, saya pura-pura lupa dan melangkah keluar ruangan pelan-pelan menyusul Bintang dan Mas Pam.
Koleksi barang bermitos milik Semarangker. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Kami pun melanjutkan pertemuan dengan berkoordinasi, wawancara, dan makan bakso (gratis). Usai makan, kami menuju Bukit Gombel pada sore hari untuk survei lokasi guna memastikan daerah tersebut aman untuk dijelajahi pada malam hari.
ADVERTISEMENT
Bukit Gombel dipenuhi semak belukar dan tanaman rambat tebal. Persis seperti hutan. Di sana, berdiri megah sebuah bangunan mangkrak puluhan tahun yang dulunya dipakai sebagai penginapan. Dahulu, bangunan itu dikenal dengan nama Hotel Sky Garden.
Kesan pertama saat tiba di sana: lembab, pengap, plus gatal-gatal. Ditambah lutut bengkak karena jatuh yang membuat langkah saya terasa sedikit berat (uhm, sakit sih lebih tepatnya).
Eks. Hotel Sky Garden di Bukit Gombel. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Selama satu jam, kami melewati belantara semak yang aduhai dan membuat kulit ruam merah, ditambah beberapa sarang laba-laba yang menempel di baju kami bak magnet.
Ya sudahlah, nggak pa-pa, namanya juga kerja…
Survei berakhir sekitar pukul 18.00 magrib. Saya dan Bintang beristirahat sejenak sebelum bersama Semarangker menjelajah menembus malam pada pukul 23.00--satu jam menjelang Cinderella harus pulang dari pesta pangeran tampan di Istana.
Eks Hotel Sky Garden, tempat angker di Semarang. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Waktu senggang menanti ekspedisi mistis saya habiskan dengan melakukan riset tentang apa itu Bukit Gombel? Mencari tahu mitos di dalamnya, dan mencatat sedikit banyak tentang informasi yang saya dapatkan.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan riset dan menyempatkan mengisi perut, saya dan Bintang beranjak menuju kedai Semarangker untuk menjemput beberapa kawan, dan langsung menuju ke Bukit Gombel.
Komunitas Semarangker (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Jarum jam menunjuk pukul 11 malam saat kami tiba di bagian depan bangunan eks Hotel Sky Garden. Jujur saja, saya tidak merasakan apapun, apalagi melihat sesuatu. Mungkin karena sudah “terlatih” sejak kecil bermain dalam gelap area pekuburan, atau ya… karena saya tidak disukai lelembut.
Tapi mungkin karena saya terlihat begitu “pede”, mereka dari dunia lain itu ingin memberi sedikit kenang-kenangan dari Bukit Gombel.
Saat hendak menuju ke bekas kolam renang hotel, saya dikagetkan oleh suara, “HEH! HEH!” dari atas pohon rindang. Saya mendadak terdiam, mengira hanya saya yang mendengar cegatan itu.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya…
“Kamu denger, nggak?” tanya Pakdhe, rekan Mas Pam dan salah satu pendiri Semarangker lain, pada saya.
“Eh, nggak jelas tapi, Pakdhe.. Suara apa itu ya?” saya balik bertanya.
Padahal suara itu jelas terdengar. Hanya saja saya ingin memastikan suara yang kami dengar itu adalah suara yang sama.
“Itu, HEH! HEH! Gitu,” kata Pakdhe.
Ternyata suara yang sama. Dan Mas Pam pun mendengar yang sama.
Lagi-lagi, saya mendadak merinding:’)) tapi tetap mencoba stay cool.
Walau diberi “bonus”, saya tetap mengikuti penjelajahan sampai titik terakhir, yakni lorong kamar hotel. Di sana, terdapat beberapa bekas kamar yang menarik untuk ditengok--sampai akhirnya saya menyesal sudah menengok kamar tersebut.
Eks Hotel Sky Garden, Bukit Gombel, Semarang (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Bekas kamar itu sudah roboh dinding belakangnya. Di dekat pintu masuk, terdapat satu ruangan kecil. Bekas kamar mandi, rupanya. Saya pun masuk ke dalam kamar mandi itu.
ADVERTISEMENT
Masih ada bathtub berwarna merah muda, masih utuh dengan bekas kerannya. Bathtub telantar itu diisi kain dan beberapa kardus.
Awalnya, tidak terasa apa-apa. Hingga setelah 30 detik di dalam kamar mandi itu...
Kok bau anyir ya... Terus anget bener...
Saya lantas mencoba membandingkan dengan bau dan suhu di ruangan kamar. Ternyata berbeda cukup signifikan.
Bulu kuduk mendadak berdiri, apalagi sadar bahwa peserta lain sudah berkumpul di ruangan lain. Saya pun sedikit berlari untuk menyusul mereka--khawatir saya keburu disusul mereka dari alam lain.
Saya berhasil selamat menyusul rekan-rekan ekspedisi.
“Mas, itu kamarnya masih awet ya bathtub-nya,” cerita saya ke Mas Pam guna menutupi rasa merinding disko yang masih kuat terasa.
“Oh, kamar itu. Iya, tahu nggak itu dulu pernah dipakai buat mutilasi, gitu. Ada kasus mutilasi di sana,” kata Mas Pam.
ADVERTISEMENT
Saya tercekat. Ya Semesta, saya salah apa...
Pohon angker di Bukit Gombel. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Sampai saat ini, saya masih ingat betul suara HEH! HEH!, suhu mendadak hangat, hingga bau anyir yang saya hirup di kamar mandi itu.
Belakangan saya ketahui, kamar itu disebut sebagai salah satu titik dengan aktivitas paranormal paling kuat:’))) Saya cuma tertawa kecil sambil menangis dalam hati.
Penjelajahan pun akhirnya--AKHIRNYA--usai pada pukul 01.00 dini hari.
Kami berkumpul di titik awal jelajah, sembari bertukar cerita tentang apa yang dirasakan atau dilihat selama penjelajahan.
Ada yang tiba-tiba dilempari kerikil, melihat bayangan, hingga mendengar suara seperti tapak kaki yang mengejar dengan cepat.
Dan saya cuma bisa tertawa kecil (lagi) mendengar cerita-cerita itu, sambil merenungkan pengalaman saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Ya sudahlah... asal sesekali saja. Eh, tapi menjajal lagi di tempat lain sepertinya asyik. Hmm...
Wisata Mistis di Semarang. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Infografis Pamor Mistis Pasca-Tragedi 1998 (Foto: Bagus Permadi/kumparan)