Catatan dari Future News Worldwide 2017

10 Juli 2017 17:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Delegasi Future News Worldwide 2017. (Foto: British Council Scotland)
zoom-in-whitePerbesar
Delegasi Future News Worldwide 2017. (Foto: British Council Scotland)
ADVERTISEMENT
Dewi Fortuna mungkin sedang berpihak pada saya. Setelah memberanikan diri untuk mendaftar, sebuah kabar baik pun tiba: saya terpilih sebagai satu dari tiga delegasi Indonesia yang diterbangkan untuk mengikuti sebuah konferensi jurnalis dari berbagai negara di seluruh dunia, berkumpul untuk mendiskusikan berbagai topik terkait sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dari 191 pendaftar di Indonesia --dan total 2.000 pendaftar dari seluruh dunia, tiga orang delegasi Indonesia dipilih dan diterbangkan ke Edinburgh, Skotlandia, untuk mengikuti Future News Worldwide 2017 yang diadakan oleh British Council UK. Acara ini berlangsung selama tiga hari, dimulai dari tanggal 5 - 7 Juli 2017. Seluruh pembiayaan ditanggung oleh British Council mulai dari tiket pesawat hingga akomodasi, sehingga kesempatan ini tentu saja tak akan saya lewatkan.
Bersama salah satu delegasi lain, saya terbang ke Edinburgh pada tanggal 4 Juli pukul 20:45. Total waktu terbang hingga sampai di Edinburgh memakan waktu hingga 16 jam. Namun, tentu saja, bayang-bayang keseruan bertemu dengan 90 delegasi lain yang datang dari 41 negara membuat rasa lelah itu sekejap menguap. Terlebih lagi, diskusi sudah terbentuk sebelumnya melalui Facebook dan grup WhatsApp.
ADVERTISEMENT
Konferensi berlangsung dalam beberapa sesi dan workshop yang dibagi dalam dua hari. Di hari pertama (6/7), terdapat beberapa pembicara yang datang dari beberapa media internasional, seperti BBC, The Herald, dan The Economist. Dalam sesi bersama Controller BBC World Service Mary Hockaday, pembahasan banyak berputar pada tren pengemasan produk jurnalisme yang semakin beragam dan kreatif dari waktu ke waktu.
Mary Hockaday, BBC. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mary Hockaday, BBC. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Dalam sesinya, Hockaday berbicara tentang bagaimana kini berita tak bisa hanya sekadar melaporkan kejadian yang terjadi, melainkan kekuatan cerita (story telling) di dalamnya. Kekuatan cerita dapat dihadirkan dalam bentuk audio visual yang menarik nan unik agar pembaca tertarik untuk menikmati sajian konten berita.
Salah satu pengemasan konten menarik yang dihadirkan oleh Hockaday adalah konten perbandingan serangan AS terhadap ISIS, Iraq, Perang Dunia II, dan Serbia. Menggunakan analogi dalam bentuk suara, BBC membandingan frekuensi serangan udara yang dilancarkan AS di tiap peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Video tersebut mampu menghadirkan data yang rumit menjadi begitu mudah untuk dipahami oleh khalayak, tanpa mengurangi konteks dan fakta yang ada di baliknya.
Beberapa video yang menyentuh inovasi dan isu sosial pun menjadi salah satu konten yang banyak diminati oleh khalayak saat ini. Hockaday bercerita tentang sebuah video yang menghadirkan kisah ‘hyena’ di Afrika, seseorang yang dipercaya mampu ‘membersihkan’ anak perempuan yang sudah akil balig dengan cara yang akan membuat anda terperangah: berhubungan seks dengan anak-anak tersebut.
Dalam pembahasan video tersebut, Hockaday menekankan pentingnya kekuatan bahasa lokal untuk tetap ada di dalam video.
“Jangan nihilkan bahasa lokal yang dipakai oleh narasumber. Sebaiknya, cantumkan subtitle untuk menjelaskan arti bahasanya, jangan dub suaranya,” kata Hockaday. Selain itu, video yang menampilkan konten humanis, unik, dengan gaya tutur pula menjadi konten yang diminati dalam jurnalisme saat ini.
ADVERTISEMENT
Sesi lalu dilanjutkan oleh David Pratt dari media Inggris The Herald. Dalam paparannya, ia membahas tentang pengalamannya menjadi wartawan perang di Timur Tengah. Berbagai ancaman, ikatan emosional, hingga serangan yang hampir merenggut nyawa sudah pernah dikecap David selama ia berkarir menjadi wartawan perang.
Ia pun berkisah tentang bagaimana hubungan emosinya dengan para korban serangan yang begitu kuat membawanya untuk terus ingin menyuarakan suara para korban yang kerap kali ‘tertutup’ oleh bisingnya suara ledakan dan tembakan senjata di berbagai sudut.
David Pratt. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
David Pratt. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Selain Hockaday dan David Pratt, hadir pula Anne McElvoy yang menjabat posisi senior editor di The Economist. Senada dengan Hockaday, ia menekankan creative journalism yang mendorong para jurnalis untuk berpikir kreatif dalam menghadirkan konten berita tak melulu dalam rupa artikel, namun juga diimbangi dengan konten audio visual yang menarik. Selain itu, ia pun membahas tentang perempuan dalam posisi yang tinggi yang tak jarang dianggap tak mampu untuk menjabat.
ADVERTISEMENT
Baginya, tak peduli apakah ia perempuan maupun laki-laki, jika ia memperjuangkan apa yang ia percaya secara serius dan konsisten, maka pastilah ia mampu capai dan bertahan di posisi tersebut.
“if you feel it. If you are serious about it, just keep banging the door,” jelasnya.
Sesi diskusi pun dilanjutkan dengan sesi workshop oleh Google dan Facebook. Keduanya memberikan berbagai masukan fitur yang disediakan olek kedua perusahaan besar tersebut. Google, misalnya, menawarkan fitur My Maps dan Earth guna menjelaskan peta perjalanan dalam tampilan 3D.
Konferensi hari pertama tersebut ditutup manis lewat sajian makan malam fancy di The Hub Royal Mile dengan menu Haggis, makanan tradisional Skotlandia yang dibuat dari bahan perut kambing, lengkap dengan segelas anggur merah --cheers!.
Anggur merah dulu, bos. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anggur merah dulu, bos. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Hari kedua pun dibuka kembali dengan sesi oleh Managing Director CNN International Debora Rayner. Dalam paparannya, ia menjelaskan tentang etika jurnalisme yang kerap ditinggalkan demi meraup rating semata. Tak hanya itu, ia melihat banyaknya hal yang dianggap menarik oleh khalayak digital ternyata disia-siakan oleh media itu sendiri.
ADVERTISEMENT
"A lot of what we take for granted is interesting for digital audiences," kata Deborah.
Tak hanya itu, ia pun membahas tentang fake news yang tentu semakin marak tersebar di tengah masyarakat. Sehingga, Deborah selaku bagian dari CNN mendorong medianya untuk melakukan pemberitaan yang berimbang dan sesuai dengan fakta yang dihadirkan.
Sebetulnya, jawaban yang diberikan Deborah dalam sesinya cenderung normatif. Hingga akhirnya, delegasi dari Hungaria Geza melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat seluruh peserta konferensi menjadi riuh.
“Mam, can I ask you a question?” tanya Geza.
Deborah pun mengangguk.
“Is CNN fake news then?”
Pertanyaan itu lalu disambut dengan tawa bahak dan tepuk tangan para peserta. Deborah tak terlihat tertawa, seakan menyiapkan jawaban defensif untuk membela media tempat ia bekerja. Namun, terlepas dari betapa fantastis (aka sarkastik) yang dilemparkan oleh para delegasi, sesi diskusi dengan Deborah berjalan menyenangkan dan informatif.
ADVERTISEMENT
Sesi kedua hari itu dilanjutkan oleh Nic Newman dari Reuters Institute yang menyajikan penelitian mengenai beberapa topik, yakni media sosial sebagai sumber berita, fake news, blok iklan di dalam berita, dan minat khalayak untuk berlangganan berita. Semua hasil penelitian dilaporkan melalui tautan digitalnewsreport.org dalam bentuk video dan file PDF. Sayangnya, Indonesia tak menjadi bagian dari unit analisis di dalam penelitian.
Nic Newman, Reuters Institute. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nic Newman, Reuters Institute. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Bersama Deborah dan Newman, hadir pula Christina Lamb, seorang jurnalis brilian sekaligus penulis buku I Am Malala. Dalam paparannya, ia lebih banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi wartawan untuk isu Timur Tengah. Ia pertama kali menjadi wartawan dan terbang ke Afghanistan pada umur 21 tahun. Lantas, pengalamannya tersebut membuatnya terpilih sebagai young journalist of the year oleh British Press Award di tahun 1988.
ADVERTISEMENT
Rangkaian sesi lalu ditutup dengan wawancara bersama Murdoch Rodgers, seorang wartawan investigatif yang mengungkap berbagai sisi gelap Skotlandia, salah satunya adalah kasus pedofilia dan pelecehan seksual oleh para pastor Katolik terhadap murid laki-laki. Isu ini direkam dan dihadirkan dalam bentuk film dokumentar “Sins of Our Father” BBC Scotland.
Setelah dua hari yang panjang dan sarat dengan diskusi hangat nan informatif, Future News Worldwide 2017 ditutup manis dengan berfoto bersama di Scottish Parliament. Dengan pongahnya, Roman, kawan sarkas saya yang datang dari Rusia, menamai delegasi Future News Worldwide 2017 sebagai The Incredible 100 --walau sebetulnya kami pun belum pernah menghitung persis berapa jumlah peserta.
Namun, apalah arti sebuah label?
ADVERTISEMENT
Bagi saya pribadi, Future News Worldwide 2017 memberikan perspektif baru mengenai lanskap media internasional, permasalahan jurnalisme yang serupa namun sekaligus sangat kontekstual di tiap negara. Pembicara yang dihadirkan pun --uhm, untuk saya yang masih anak kemarin sore-- sangat, sangat, sangat keren! Bertemu dengan pemimpin redaksi The Herald, peneliti di Reuters Institute, hingga managing director CNN Internasional, who would take the opportunity for granted?
Future News Worldwide 2017. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Future News Worldwide 2017. (Foto: Maria Sattwika Duhita/kumparan)
Namun, tentu tak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milih Ia semata. Dalam konferensi ini, topik diskusi yang dihadirkan cenderung bias terhadap media barat. Tentu saja, pembicara yang hadir pun kebanyakan datang dari Eropa dan media Amerika, sehingga diskusi terkait lansekap media Asia maupun Afrika pun tak banyak terbahas. Diskusi konten politik dalam media pun lebih banyak bicara tentang Merkel, Macron, Trump (you don’t say), atau Hillary Clinton.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari biasnya diskusi, tetaplah Future News Worldwide 2017 memberikan begitu banyak pengetahuan baru, terutama dalam bidang jurnalisme. Mudah-mudahan, saya punya cukup kemampuan untuk setidaknya perlahan memperbaiki apa yang perlu dibenahi dalam media di Indonesia dan berbagi ilmu dengan kawan lain.
Tertarik untuk diskusi bersama --ditemani secangkir cokelat hangat? :-)
Editor Video: Cornelius Bintang